Cemeti Untukmu

Nada 'hampa hatiku' nya pasha ungu bergema meriah di hape Winda. Membuat beberapa rekan kerjanya usil meliukkan badan mengikuti irama itu. Disambut tawa meriah teman-teman lain tentunya. Winda hanya tertawa sambil menjawab panggilan sahabatnya, Rika.
"Win, can we meet now? I can't stand anymore..., " suara diseberang sana penuh isak tangis. Winda tak lagi kaget mendengarnya. Hal ini sudah kerab terjadi. Paling-paling berantem lagi sama suaminya. Dan Winda, tempat curhat kepercayaan Rika, saat ini dibutuhkan untuk menampung keluh kesah sang sahabat, walau setelah itu, nasehat/input positif darinya hanya masuk kuping kiri keluar kuping kanan saja bagi sahabat karib itu. ……



"Oke, kamu dimana nih? jemput aq dikantor?" 

"Gak bisa Win, Aq ga bisa pergi, ga bisa bangun, Ady mukul Aq sampai ga bisa bangun...!"

Tangisannya pecah lagi diseberang, dan kali ini Winda benar-benar terkejut. Gila! si Ady, udah mulai mukul sampai babak belur begitu... Winda memang tau kalo Ady itu ringan tangan, tamparan dan jambakan sudah kerab singgah di pipi dan rambut Rika, dan belum sekalipun Rika membawa kasus ini ke pihak yang berwajib walau disana sudah terbentuk sebuah unit bertajuk KDRT unit. Pertimbangannya? Kasihan suaminya...(klasik amat).

Sebenarnya Winda sudah tak mau ikut campur lagi urusan ini, karena dia sendiri merasa ga enak sama Ady, apalagi dengan tanggapan Rika, setelah mengadu, ditanggapi dan diberi saran, tak satupun saran itu yang dilaksanakan. Sia-siakan? 

Sejak saran terakhirnya bulan lalu tak ditanggapi Rika, Winda bertekad tak akan mau lagi ikut campur urusan rumah tangga mereka. Jangan-jangan memang sudah tabiat/karakter Ady seperti itu. Dia menikmati kekerasan demi kekerasan yang dilakukannya terhadap istrinya. Toh sejak masih pacaran pun dia sudah sering melihat dan mendengar perlakuan kasar Ady terhadap Rika, tapi dasar cinta, Rika tetap saja mempertahankan hubungan mereka hingga akhirnya berujung ke pelaminan.

Dan kini, setelah seorang bayi mungil lahir dan berumur 6 bulan pun, tingkah polah kekerasannya itu kok malah makin menjadi dan meninggi grafiknya.

"Ya udah, Ka, Aq ntar ke rumahmu ya..., Ady nya mana?"

"Udah pergi..., bawa tas segala, minggat tempat ibunya kali?"

Winda menghela napas kesal. Dan hampir satu jam kemudian dia langsung terhenyak menyaksikan keadaan Rika. Sebelah mata bagian kiri bengkak, pelipis kanan membiru, dan ujung bibirnya pecah, dengan darah yang masih tersisa. Cairan darah yang mongering juga terlihat di dalam lubang hidung wanita itu. Sungguh memprihatinkan.

"Gila, apa2an sih si Ady? apamu lagi yang sakit Ka?"

Rika tak mampu bangkit, hanya bisa menunjuk ke kakinya yang kemungkinan keseleo. Winda geleng-geleng kepala, gemas.

"Ka, loe masih mau hidup dengan Ady? Loe masih cinta sama dia?"

Rika terpana. Tak menyangka pertanyaan ini yang akan muncul dari bibir sahabatnya ini. Dicoba bertanya pada hatinya, masihkah dia mencintai suaminya? Yang begitu kerap memberinya tamparan, jambakan dan terjangan? Belum lagi kekasaran-kekasaran lainnya di tempat tidur? Tangis bayinya yang tiba-tiba adalah irama lain yang menggugah hatinya.. Haruskah dia minta cerai di saat buah hati mereka telah lahir? Lantas bagaimana kelanjutan hidup mereka berdua jika dia minta pisah dari Ady…, anaknya tentu butuh kasih sayang seorang ayah….

Rika benar-benar tak mampu bangkit, sehingga Winda harus turun tangan mengangkat Rifky dari ayunan dan memberikannya pada Rika. Hatinya terenyuh…. Sahabatnya ini dulunya seorang wanita yang tangguh, ulet dan mandiri. Lantas kenapa jadi seperti ini? Kemana si pekerja keras itu? 

Rika menyambut bayinya dengan penuh kasih, membelai, memangku dan meyodorkan ASInya ke mulut mungil Rifky. Sungguh iba hati Winda menyaksikan pemandangan itu, tanpa menunggu lagi, dihubunginya suaminya untuk menjemput mereka, Rika harus segera diantar ke tukang urut. 

Dan benar saja, Rika menjerit sekuat tenaga saat si tukang urut membenarkan tata letak tulang kakinya yang memang keseleo. Namun aneh bin ajaib, tukang urut rekomendasi ibundanya itu benar-benar luar biasa, Rika yang tadinya tak mampu menggerakkan kaki kirinya kini malah sudah bisa dan berani melangkah, walau dengan sangat perlahan tentu saja. 

Adam, suami Winda hanya bisa angkat bahu ketika Winda minta pendapatnya tentang prilaku aneh Ady. Sebagai pria, sungguh tak masuk akal baginya jika setiap persoalan diselesaikan dengan kekerasan seperti itu. Apalagi terhadap istri, pendamping hidup kita. Masak harus dipukul sih? Wanita kan makhluk lemah? 

“Minta aja Rika mengadukannya ke polisi Win, kalo dibiarkan terus, bisa merajalela tuh si Ady…, heran juga mas ngeliatnya, kok gak malu sih mukul wanita?”

“Udah beberapa kali aq saranin mas, tapi dasar Rikanya aja yang keras kepala, alasannya kasian Ady lah, kalo sampai masuk sel, ya macam-macam begitulah…”.

“Susah juga sih ngebantuinnya kalo Rika sendiri tak ingin mengambil tindakan. Mau gimana lagi coba? Besok lusa pasti akan terulang lagi…, liat aja. Mas yakin, tuh Ady udah ketagihan dengan aksinya. Sepertinya dia punya kenikmatan sendiri dengan aksinya itu Win…”.

“Jadi gimana donk solusinya mas? Harus diapain tuh si Ady?”

“Winda sayang…. Kita ga bisa apa-apa, paling yang harus bertindak itu Rika. Tapi mo gimana coba, lapor ke polisi dia ga mau. Ke mertuanya, kamu bilang, orang tua Ady malah lebih belain Ady, gimana donk?”

Keduanya terdiam….tapi pikiran mereka menerawang mencari solusi terbaik buat Rika. Hingga kemudian Winda muncul dengan ide setengah gilanya.

“Mas, aq tau, gimana kalo kira-kiranya mas yang jadi Ady, tiba-tiba, saat mas ingin mukul aq, kenyataan berbalik. Mas aq hadapi dengan penuh keperkasaan? He..he, gimana mas?”

“Maksudnya? Emang Rika bisa karate? Bisa bela diri?”

“Kan tadi seandainya mas? Menurut mas gimana? Kira-kira Ady akan kaget dan shock ga ya dipukul dan ditendang istrinya?” Winda menyeringai melihat reaksi Adam yang keheranan, namun ekspressi itu berubah menjadi senyum kegirangan.

“Bener juga tuh, pasti Ady akan kaget dan ga pernah nyangka akan kemampuan istrinya. Tapi apa Rika sekuat itu? Emang Rika bisa bela diri ya?”

“Ngga sih mas, belum bisa. Tadi aq mikir seandainya. Tapi kan bisa aja jika Rika mau belajar mas. Emang butuh berapa bulan sih agar bisa menguasai jurus2 dasar bela diri? Jurus-jurus dasar aja dulu. Yang penting kan semangat dan keberanian mas?”

Dan Winda membutuhkan waktu lebih dari satu minggu untuk membangkitkan kembali semangat juang sahabatnya yang telah keburu padam akibat perlakuan Ady sejak mereka pacaran hingga telah berumah tangga saat ini. 

Tak mudah mendongkrak kembali semangat gagah berani itu. Rika telah teracuni sikap superior suaminya, hingga karakter pemberaninya yang dulu begitu dikenal teman-teman mereka di kampus, padam sirna. 

Dan bukanlah Winda namanya jika surut undur melihat Rika menggeleng dan apatis. Dihasutnya sahabatnya, diungkitnya kebencian (walau kesannya licik) agar keinginan balas dendam muncul dalam diri Rika. Rika harus bangkit, membela dirinya sendiri, agar mata Ady terbuka, bahwa dirinya adalah makhluk Tuhan, belahan jiwa yang harus disayangi, bukannya diperlakukan sesuka hati seperti itu. 

Upaya Winda akhirnya mengena di hati Rika. Tak tanggung-tanggung, demi menemani sahabatnya, Winda juga ikutan bergabung dengan sebuah perguruan bela diri dan tenaga dalam yang sudah sangat terkenal di kota ini. Kesungguhan keduanya benar-benar patut diacungi jempol. Walau dalam masa itu, Ady tetap dengan karakternya yang sudah mendarah daging itu. Rika mencoba untuk bersabar, meredam amarah yang kini sudah menyala dan menyambar, ingin segera meredam tingkah polah suaminya yang telah melewati batas itu. Namun dia masih harus bersabar. Belum semua jurus pamungkas itu dikuasainya… Sabar Rika, sabar….

Hatinya sebenarnya sudah teramat muak dengan tingkah laku Ady, yang selalu saja memperlakukannya tidak senonoh terutama di atas ranjang. Ady memang memiliki kelainan seks yang selama ini selalu ditutupinya, bahkan Winda pun tak pernah tau jika Ady adalah pengidap seks maniac. Yang selalu harus memulai permainan dengan kekerasan terhadap istrinya. Semakin istrinya menjerit takut dan sakit, semakin meningkat gairahnya, semakin puaslah dia.

Rika sudah bertekad untuk segera mengakhiri semua itu. Cukup sudah dia menjadi budak suaminya. Yang sebenarnya, disaat normal, sangat menyayanginya. Tapi siapa yang bisa tahan, jika setiap malam harus mengalami perlakuan aneh dan kasar seperti itu?

Timun, Terong, Cemeti, dan beberapa sex toys adalah alat-alat kegemaran Ady sehari-hari. Kini tekadnya sudah bulat untuk memaksa Ady say good bye pada benda-benda laknat itu. 
Dan benar saja, kala waktunya tiba….

Ady benar-benar kaget alang kepalang. Istrinya yang lemah gemulai dan penurut itu berubah bagai singa gurun yang telah berbulan-bulan tidak bertemu daging mentah. Sebuah cemeti yang lebih besar dari yang selama ini dimilikinya berayun gagah, menciptakan bunyi desir yang menyeramkan. 

Wanita lemah lembut itu kini tampil tak ubahnya seorang pemain blue film yang sex maniac. Bikini hitam dari kulit melekat erat di payudaranya yang montok penuh air susu, kencang menantang. Segitiga mungil hitam yang menutupi alat vitalnya juga tak kalah menarik perhatian. 

Namun aneh, keindahan itu justru berkesan menyeramkan di matanya. Jelas saja, Rika telah berhasil menghardik saraf ego dan kejantanan Ady. Pemandangan ini sungguh di luar dugaan. 

Apalagi saat tadi Ady ingin memulai adegan kesukaannya, menyeret Rika dari pinggir tempat tidur Rifky, tanpa diduga wanita itu berkelit dan secepat kilat berhasil memelintir tangannya ke belakang, memukul tengkuknya hingga dia kehilangan kesadaran, entah berapa menit, hingga kemudian dirinya tersadar dalam keadaan kedua tangannya terikat di besi tempat tidur, bugil, tanpa sehelai kain pun menutupi tubuhnya. 

Lebih mengagetkan lagi, istri nya yang pemalu itu kini tampil sexy penuh percaya diri. Persis seperti wanita yang ada di film blue yang sering ditontonnya itu. Namun yang ini lebih sadis, karena kesan dendam jelas membara di wajah Rika.

Dalam keadaan terikat, jelas Ady tak mampu berbuat apa-apa. Apalagi ketika Rika mengayunkan cemetinya ke tubuh polos suaminya. Tak ada sedikitpun rasa iba yang hadir di hatinya mendengar jeritan suaminya. Dendam yang membara di tubuhnya ternyata telah mampu menutupi rasa kasih yang selama ini berhasil dipertahankannya. 

Dipuaskannya hatinya untuk membalas dendam. Tak hanya melecut suaminya dengan cemeti itu, tapi tendangan kakinya yang sudah mulai terlatih berulang-ulang singgah di perut Ady, tamparan dan jambakan juga tak kalah gesitnya. Ady benar-benar semaput dibuat oleh istrinya.

“Sakit mas? Sakit? Itu yang selama ini aq rasakan…! Biadab! Bangsat! kamu kira aq dibesarkan ibuku untuk kamu siksa mas? Ha????!” Tamparan itu berulang-ulang.

Ady hanya bisa mengaduh. Kamar yang sengaja didesign kedap suara itu kini ibarat senjata yang sedang memakan tuannya. Tak ada yang akan datang untuk mengulurkan bantuan. Karena itulah ide dari rancangannya itu. Dalam keadaan terikat, jelas Ady tak mampu membela dirinya. Darah mulai mengalir dari bibirnya, badannya, sementara wajahnya sengaja dijaga Rika agar tidak tergores. Cukup memar biru saja yang akan menghiasi wajah suaminya itu.

“Gimana mas? Ingin melawanku kali ini? Ok, aq akan lepaskan ikatanmu, ayo kita bertanding, terserah mas mau kita berdua tetap hidup atau salah satu dari kita mati. Ayo!” Rika melepaskan ikatan tangan Ady.

Ady jelas tak ingin melawan, melihat kebencian yang tak pernah hadir di wajah istrinya sebelumnya, laki-laki itu gentar. Hati nuraninya berbisik, ini semua karena kesalahannya. Rika tak pernah kasar pada siapapun selama ini, apalagi terhadap dirinya, suaminya. Ini tentu ada sebabnya, dan sebab itu adalah dirinya. Tingkah lakunya. 

Dengan kedua tangan yang sudah bisa bergerak bebas, Ady tak ingin memanfaatkannya untuk melakukan pembalasan, tapi laki-laki itu malah bangkit dan memeluk ke dua kaki Rika yang sedang berdiri menantangnya di atas tempat tidur.

“Sayang, ampun…. Maafkan mas…..!” 

Sungguh kata-kata yang di luar dugaan Rika. Perlakuan Ady yang memeluk kuat kakinya, sejenak membuatnya terpana. Namun pikirannya membisikkannya untuk tetap waspada. Untuk tak mudah terkecoh. Mungkin suaminya sedang berpura-pura. Ditariknya kakinya yang semakin kuat dipeluk Ady. Laki-laki itu tak hanya memeluk, tapi kini mencium kedua kakinya….

“Ma, maafkan papa, ampun, papa telah khilaf selama ini…, papa sudah nyakitin mama….ampun ma…!” 

Isak tangis itu menghentikan Rika. Tangan yang akan terayun itu turun perlahan. Dilepasnya cemeti itu ke lantai. Tapi tak semudah itu dia terenyuh. Dengan tangan kanannya ditariknya rambut suami yang sedang bersujud di kakinya, hingga laki-laki itu tengadah. Namun air mata itu benar adanya. Benar keluar langsung dari bola mata Ady. Rika terenyuh. Tatapan keduanya bertemu.

“Ampuni papa ma, papa khilaf, papa telah berdosa pada mama… ampuni papa…. Papa janji ga akan seperti itu lagi….plz ma…maafin papa….!”

Rika terenyuh…. Tapi hatinya terlanjur sakit, tak segampang itu dia memaafkannya, walau sebenarnya jauh di lubuk hatinya, maaf itu telah tersedia sejak tadi.

Ady memelas. Airmatanya kian berderai mengingat kekejiannya selama ini terhadap istrinya. Tuhan, betapa nistanya perlakuannya terhadap Rika selama ini. Melecehkan istrinya dengan alat-alat laknat itu. Tuhan, betapa malam ini matanya telah terbuka, betapa dia tak ingin kehilangan wanita yang sesungguhnya amat dicintainya ini.

“Ma, ampuni papa….papa janji akan berubah. Papa sayang sama mama. Sama kalian berdua…!”

Rika masih berdiri, tegak, dengan kedua kakinya masih dipeluk suaminya.

Tangisan Rifky adalah pencair ketegangan suasana ayah ibunya. Bayi mungil ini dikirim sebagai penghubung perdamaian orang tuanya. Keduanya menoleh ke tempat tidur Rifky. Tangisan keras dan pilu itu memanggil ayah ibunya untuk segera beranjak. Rika hampir melompat dari tempat tidur jika Ady tidak memeluk kakinya semakin erat. 

“Let me take him dear!” Ucapnya, sigap dia turun dari tempat tidur. Mengangkat bayinya dan mengantarnya pada ibunya. Tersungging senyuman di bibir Rika melihat pemandangan di hadapannya. Seorang pria polos tanpa busana, mengantarkan bayi mungil ke tangannya. 

Tanpa sadar, ada getar-getar birahi bergerak naik, menggelitik sarafnya. Disambutnya Rifky lembut, dicium, peluk dan disusuinya hingga bayi mungil itu kembali tertidur lelap. 

Kemudian, sekali lagi Ady, menggendong Rifky, mengantarkannya kembali ke box baby, dan kembali ke hadapan sang istri. Getar-getar birahi menari indah bak senar-senar kecapi, mengalunkan melodi indah, memancing dan menggiring keduanya untuk memulai sebuah kehidupan baru yang lebih indah dan beradab. 

Malam ini adalah malam normalisassi dan harmonisasi hubungan mereka ke arah yang lebih baik dan indah.







4 komentar

  1. waw...cerita yang keren neh..sampai2 yg baca ikut terbawa emosi...

    BalasHapus
  2. awal yg mengerikan akhir yg membahagiakan, beneran ne true story..

    BalasHapus
  3. ini hanya cerita rekaan kok, ingin banget kaum wanita bangkit dari keterpurukan dan penganiayaan, ayo bangkit, hanya kita sendiri yang bisa memperjuangkan hak kita!

    BalasHapus