Klik disini untuk paragraf sebelumnya,
Seperti yang sudah dijanjikan dalam kisah sebelumnya, kami bertemu di Mesjid Raya Baiturrahman tepat sebelum azan Maghrib, jadi bisa shalat Maghrib berjamaah dulu di Mesjid yang indah kebanggaan masyarakat Aceh ini.
Saya sendiri suka sekali berlama-lama di Mesjid Raya ini sobs, adem gimanaaa gitu. Yang paling saya suka adalah bersujud diatas batu marmernya yang sebesar sajadah ukuran large, yang begitu sejuk.
Jarang saya melihat jamaah yang mempergunakan sajadahnya melapisi marmer ini, sepertinya semua sependapat dengan saya bahwa ada aliran udara menyejukkan mengalir ke dahi kita saat kita bersujud, menempelkan dahi dan hidung kita di marmer yang begitu mengkilat ini.
Halah kok malah jadi review tentang marmer sajadah sih. Emanglah ya… saya tuh kalo udah nulis suka ngalor ngidul dan ga fokus ih.
Well sobats maya tercinta,
Back to Safira’s topic, setelah maghrib-an, dan saat jamaah2 lain satu persatu meninggalkan Mesjid, kamipun menyingkir dan mengambil tempat di sisi kiri Mesjid, disamping pilar kokoh yang menjulang menyangga rumah Allah yang tak habis-habisnya saya kagumi ini. Indah banget sobs.
Ok, mari focus ke Safira. Sungguh kaget saya saat pertama kali bertemu dengannya tadi, setelah lebih dari 2 tahunan tidak pernah lagi bertemu. Safira yang dulu begitu seksi, kini terlihat kurus dan kuyu. Beban hidup yang begitu mendera batinnya benar2 telah menyedot secara perlahan berat tubuhnya, membuat kulitnya yang putih cerah juga jadi kusam dan tidak sekencang dulu lagi. Duh, wanita… begitu sering kita ini menjadi korban kesewenang-wenangan….
Tak banyak bicara ini itu lagi, kami langsung fokus ke permasalahan. Safira membuka laptopnya, dan menunjukkan beberapa table yang telah dibuatnya sesuai permintaan saya via telephone tadi siang.
Tabel pertama menggambarkan tentang problem assessment yang point-pointnya cukup jelas. Saya cukup puas dengan hasil kerja sang dokter ini. Terlihat jelas the current situation of her marriage life. Juga sebuah table tentang kebaikan dan keburukan Rendi juga sudah terisi lengkap.
Kami memulai pembahasan dengan serius. Safira berhasil menepiskan segala kesedihannya dan tampil dengan penuh semangat saat saya memintanya untuk ‘mempresentasikan’ situasi terkini rumah tangganya itu. Dan saya menangkap semangatnya yang menggebu untuk bangkit dan menata kembali rumah tangga dan kehidupannya saat saya mencoba meresponse setiap point dan mendiskusikannya bersama.
Saya bisa melihat, goal yang saya targetkan tadi siang dengan memintanya membuat problem assessment ini telah tercapai. Saya ingin Safira sendiri yang melakukannya, bukan saya, sehingga dia dapat merasakan semangat baru yang mengalir ke dalam tubuhnya, yang sekian lama terpuruk dalam kesedihan dan ketidakpastian.
Inilah point-point yang telah dibuat Fira (dalam huruf hitam) dan response/masukan saya in blue;
Awalnya rumah tangga kami berjalan baik2 saja, manis dan harmonis layaknya rumah tangga baru lainnya. --> ok, no more comment
Kejadian ini (perselingkuhan Rendi) mulai tercium oleh saya saat saya harus meninggalkannya 1,5 bulan, guna melahirkan anak kami. Saya harus pulang ke Jakarta untuk ini, karena di Banda Aceh kami tidak punya siapa2 yang dapat menjaga dan merawat saya paska melahirkan.
--> Baru tercium? Ada kemungkinan gelagat ini juga sudah dimulai lama sebelumnya donk? Harusnya disinilah Rendi membuktikan bahwa dirinya adalah seorang suami yang baik, yang bertanggung jawab dan setia. Walaupun tidak dapat turut serta menemani sang istri saat mengeluarkan sang bayi dari rahimnya (selaku seorang Polis Militer dia tetap harus menjalankan tugasnya), setidaknya Rendi harus bersikap setia. Bukannya malah membiarkan dirinya kecantol dengan wanita lain.
Alih-alih menjadi suami yang baik, dan berusaha setia, apalagi disaat melahirkan, Rendi malah berani main gila dengan seorang perempuan penjaga sebuah café. Bahkan demi perempuan itu, saya akhirnya mengetahui bahwa harta benda kami (mobil dan barang-barang lainnya) kini telah terjual.
--> Komen awal hampir sama dengan di atas. Jatuh cinta kok dengan wanita yang tidak jelas kredibilitasnya? Itu sih namanya penghinaan tingkat tinggi. Masak Safira disejajarkan dengan seorang wanita murahan seperti itu? Sampai harus merelakan harta benda demi wanita itu adalah suatu kebodohan yang tidak dapat ditolerir lagi.
Rendi bukan hanya tergila-gila pada perempuan itu, tapi juga terjerumus pada kecanduan narkoba (shabu2) dimana perempuan itu juga menggunakannya. --> info dari teman-2nya Rendi.
-->; Ini adalah kelakuan yang sudah keterlaluan, kecanduan narkoba mengindikasikan suatu prilaku yang sesat. Apalagi sebagai seorang polisi militer, Rendi sudah tidak dapat berfikir waras, sudah tidak sayang dan tidak peduli lagi dengan keselamatan pekerjaannya, juga sudah tidak peduli pada keluarga dan lingkungan. Kecanduan Narkoba, adalah suatu hal yang sulit sekali disembuhkan, apakah dengan tambahan prilaku ini, Rendi masih punya nilai dimata Safira?
Saya sudah berusaha melaporkan hal ini pada ayah bunda Rendi (mertua saya), tapi mereka akhirnya lepas tangan karena Rendi malah memutuskan hubungan silaturrahmi dengan mereka, dan balik marah-marah pada saya, sebelum akhirnya dia kabur dari rumah.
-->; Hampir sama dengan komen diatas, bahwa Rendi sudah tidak peduli pada keluarga dan lingkungannya, bahkan pada diri sendiripun mungkin sudah tidak peduli. Jika ayah bundanya saja sudah lepas tangan, lantas apakah Fira yang harus membenahi ini semua? Sementara persentase keberhasilannya jelas tidak sampai 15% pun? Masih mau buang waktu untuk ini?
Saya juga mencoba melaporkan pada komandannya Rendi tentang hal ini, dan sang komandan mencoba untuk memberinya teguran tapi juga tidak membawa hasil. Saat dia menghilang pertama kalinya, komandan memerintahkan untuk mencari, menangkap dan akhirnya men-sel-kan Rendi, tapi setelah itu tetap saja semuanya kembali seperti semula. Rendi kembali pada perempuan itu, menghilang dari pekerjaan.
--> Masih mau mencoba mencarinya dan mengembalikannya ke kondisi semula? Sementara sudah terlihat jelas kelakuannya yang semakin memburuk. Pada kariernya pun sudah tak peduli. Masihkah ingin mengharapkan seorang suami yang seperti ini? Untuk apa? Untuk menjadi beban hidup?
Saya melapor lagi pada komandannya, tapi kali ini komandan meminta saya untuk sabar, dan ternyata, ini bukan yang kedua kalinya, bahwa jauh sebelumnya, sebelum menikah dengan saya dulu, Rendi juga sudah berulang kali kena skorsing. (oh My God).
--> Nah Loe, lalu nilai lebih apa yang masih bisa dibanggakan pada diri Rendi?
Saya, karena malu pada tetangga, dan sayang pada Ragil anak saya, mencoba mencari Rendi dengan bantuan info keberadaannya dari teman-teman Rendi. Saya mencoba mengalah pada suami saya dengan harapan dia mau kembali pada kami, saya meminta maaf padanya walau saya yakin saya sama sekali tidak punya kesalahan padanya. Namun Rendi malah marah-marah dan menghina saya habis-habisan ketika berhasil menemukannya. Dihadapan perempuan itu. Rasa malu yang menghantui saya sungguh tak dapat saya lukiskan.
--> See? Bahkan dengan mengalah untuk kebaikanpun tidak membuat hati Rendi bergeming, malah membalasnya dengan suatu penghinaan, dihadapan perempuan itu pula. Masih ingin mengalah lagi? Menyembah laki-laki yang sudah tidak waras itu? Setelah dipermalukan didepan sang rival? Kalo saya, jelas, saya akan dengan rela hati menyerahkan Rendi untuk perempuan nakal itu. Toh ga akan lama lagi dia akan jadi gembel, dan si perempuan itu pun akan berlalu meninggalkannya.
Sejak itu, saya terpuruk dalam kesedihan, merasa sangat terhina, malu pada tetangga, merasa kalah oleh seorang perempuan nakal seperti itu. Saya benar-benar kehilangan semangat dan ujung-ujungnya kuliah saya benar-benar terganggu.
--> Mindset seperti ini merugikan diri sendiri Fir. Harus diubah total. Sugestikan dirimu bahwa para tetangga itu berempati padamu, mereka prihatin pada nasibmu. Tak satupun dari mereka yang memandang rendah dirimu, justru mendoakanmu agar dirimu tabah dan bisa bangkit menyelamatkan hidupmu. Percayalah, justru Rendi yang dipandang sebelah mata oleh mereka. Kamu harus semangat, selamatkan hidupmu, panggil semangatmu. Jangan biarkan rasa rendah diri, rasa malu dan terhina itu menggerogotimu, dan mematikan logika berfikirmu.
Saya benar-benar tidak tau harus berbuat apa sampai pada titik ini.
--> Banyak yang harus kamu lakukan untuk mulai membenahi keruwetan ini. Mari kita bahas satu persatu secara rinci. Dari point-point itu, yuk kita bikin SWOTnya. Kita lihat Kekuatan yang ada, Kelemahannya apa, Peluang untuk memperbaiki keadaan ini seberapa besar dan ancaman (threat)nya seperti apa.
Saya tidak sedang ikut campur urusan rumah tangga orang lain sih, dan juga tidak sedang berusaha mengarahkan Fira pada keputusan menggugat cerai Rendi, tapi saya hanya membantu Fira melihat permasalahan ini dengan hati yang bersih dan pikiran yang sehat.
Saya bukanlah orang yang senang melihat teman-teman saya bercerai, walau saya juga bukan orang yang tabu untuk itu. Jika segala upaya untuk menghindari perceraian sudah tidak dapat ditempuh lagi, haruskan kita berpura-pura dan terus melanjutkan perkawinan kita dalam kebahagiaan semu?
Saya sendiri sudah pernah mengalaminya kok, sudah pernah berupaya menghindari perceraian dan akhirnya terpaksa menempuh jalan itu untuk menyelamatkan hidup saya dan Intan, putri saya.
Segalanya harus dipandang dengan hati bersih dan penuh perhitungan.
Well, back to Fira, sahabat saya ini berhasil memandang bahwa tidak perlu lagi dia merasa malu pada tetangga, atas kelakuan Rendi itu.
Justru dia harus menanamkan bahwa para tetangga kompleks asrama itu berada dipihaknya (hal ini sengaja saya tanamkan agar Fira dapat bangkit penuh semangat, jika sudah didahului rasa minder dan malu terhadap sekitar, maka jangan harap Fira mampu menegakkan wajah menghadapi kehidupan…).
Langkah selanjutnya yang saya lakukan adalah menyadarkan Fira dan menanamkan sugesti kuat ke alam pikirannya bahwa Dokter Safira Suryani adalah TIDAK pantas disetarakan dengan seorang perempuan nakal penjaga café. Itu adalah PENGHINAAN TINGKAT TINGGI yang telah dilakukan Rendi terhadapnya.
Pemikiran ini tentu akan mengarahkan Fira untuk bisa berhenti menangisi nasibnya yang ditinggal pergi dan dicampakkan oleh Rendi.
Jadi saya mengharapkan sugesti tadi mampu menyadarkan Fira untuk tidak meratapi kepergian Rendi, tapi menggantikan ratapan ini dengan sikap bahwa Rendi sudah TIDAK LAYAK lagi untuk ditangisi. Tidak Layak lagi untuk diharapkan kembali. Untuk apa? Untuk menyakiti hatinya lagi? Penghinaan yang dia lakukan saat Fira meminta maaf dan memohonnya kembali ke rumah sudah lebih dari cukup. Untuk mengoyak harga diri seorang dokter Safira.
Saya takjub juga dengan terapi ini, Fira menemukan kembali semangat hidupnya. Dan menyadari, bahwa sudah saatnya dia menghentikan airmatanya yang sudah begitu kerap tumpah sejak Ragil berusia 2 bulan, saat dia dan putranya itu kembali dari Jakarta ke rumah asrama mereka. Dan mendapati sang suami ternyata telah berpaling ke perempuan lain.
Selanjutnya Fira bertekad untuk membereskan kuliahnya (Fira sedang mengambil specialisasi) secepatnya, kemudian ingin kembali ke Jakarta, atau daerah lain selain Aceh.
Namun, disatu saat, airmata itu tiba-tiba mengalir,
‘Mba… tapi aq takut menghadapi semua ini. Terkadang aq merasa begitu malang, aq begitu sedih menyadari suamiku diambil orang. Sampai kapan kesedihan ini akan bersamaku?’
Saya maklum sekali dengan situasi ini. Saya sudah lebih dahulu mengalaminya.
‘Fir, percayalah, pasti kamu akan mampu mengatasi ini. Yang paling harus kamu ingat setiap perasaan sedih ini muncul adalah, ingat penghinaan-penghinaan yang dilakukan Rendi terhadapmu. Bangkitkan ingatan kamu terhadap keburukan2 Rendi, sehingga rasa benci dihatimu akan membantumu mengikhlaskannya pergi. Tapi sebelum itu, jawab saya dengan jujur, apa kamu masih cinta sama dia? Masih mengharapkan dia kembali pada kalian?’
Kalo saya dulu ditanya begitu oleh adik saya, saat saya kalut, jawaban saya adalah TIDAK.
Saya penasaran dengan jawaban yang akan keluar dari bibir Fira.
‘Ga mba, kita sudah bahas tadi, begitu banyak hal menyakitkan yang dilakukannya terhadapku 2 tahun terakhir ini. Dan juga sudah kita bahas tadi, sepertinya memang mustahil mengharapkan Rendi lepas dari narkoba, juga sikapnya sendiri memang tak peduli lagi sama kami. Untuk apa aq mengharapkan orang yang memang tidak lagi mencintaiku. Lagipula, suatu saat jika dia kembali padaku, aq akan siapkan diri untuk menendangnya jauh jauh mba.’
Saya tersenyum dan sependapat dengannya. Orang luar mungkin akan berpendapat, pernikahan harus setengah mati diupayakan untuk diselamatkan.
Tapi kalo saya sih bilang begini sobs, sebuah perkawinan memang harus diselamatkan, dengan syarat kedua belah pihak akan jujur dan bersungguh-sungguh untuk memperbaiki diri masing-masing demi kebaikan perkawinan mereka selanjutnya.
Tapi jika kemudian, mereka hanya berpura-pura saja, bertahan hanya karena sayang anak, tapi keduanya malah hidup dalam kebahagiaan semu, untuk apa? Bukan hanya diri sendiri yang tersiksa, tapi anak juga akan tersiksa. Tidak akan ada anak yang bahagia jika mengetahui ayah ibunya ternyata hanya bersandiwara di hadapannya.
Safira terlihat jauh lebih bersemangat. Pembicaraan kami yang panjang lebar menghasilkan kesimpulan seperti berikut ini (halah, seperti laporan apa gituuuu…. Hehe).
Bahwa Safira akan menunggu sampai Rendi dikeluarkan dari korps (komandan Rendi bilang bahwa dalam masa 1 bulan lagi jika Rendi tak juga kembali, maka dia akan dicopot dari korps nya), menjadi masyarakat sipil biasa, dan kemudian saat sudah ga punya apa-apa lagi, pasti perempuan itu juga tidak akan mau lagi sama Rendi. Barulah Fira akan menuntut cerai.
Saya setuju dengan pendapat Fira, dan juga tidak menganjurkan Fira untuk buru-2 sampai pada tahap cerai itu. Toh Fira tidak akan kemana2, juga tidak akan menikah dengan laki-laki lain (setidaknya untuk tahun ini?), jadi biarkan saja dulu mengalir apa adanya. Yang paling penting adalah, Fira harus menata kembali semangat hidupnya.
Fokus ke kuliah, beri perhatian pada Ragil walau hanya via telephone karena jarak yang memisahkan mereka, tetap jalin silaturrahmi dengan ibunya, yang telah bersedia menjaga Ragil, dan hadapi kehidupan dengan penuh semangat. Untuk sementara, Rendi’s issues singkirkan dulu. Anggap aja Rendi sudah tiada. Untuk amannya juga, saya sarankan agar Fira jangan pindah dari asrama (rencana Fira mau ngekost di dekat kampus kedokteran), sayangkan harus ngeluarin uang lagi buat kost. Juga agar Komandan juga bisa melihat bahwa Fira tidak bersalah, dan masih istri yang baik.
Fira setuju. Satu lagi wejangan (ya ampuuuuun… wejangan bo’) yang membangkitkan Fira dari keterpurukannya, adalah tentang formula kehidupan. Ada yang tau belum nih tentang Formula Kehidupan?
Formula Kehidupan ini saya dapatkan dari adik saya, yang waktu itu langsung menghentakkan kesadaran saya saat galau tidak tau mengambil langkah selanjutnya setelah masalah perkawinan saya berlarut-larut tak tentu arah saat itu.
Ok, jadi formula kehidupan itu adalah begini, (kata adik saya waktu itu),
‘Andaikan total usia kakak adalah 60 tahun, dan sekarang usiamu adalah anggaplah 35 tahun. Berarti kakak masih punya sisa 25 tahun lagi untuk melanjutkan kehidupanmu. Nah, dalam masa 25 tahun kedepan itu, kakak punya beberapa opsi:
1. Melanjutkan kehidupan yang terus terombang ambing seperti ini, karena kakak ga berani mengambil keputusan.
2. Tetap bersama abang, dan berusaha membinanya sekuat tenaga untuk menjadi suami yang baik, dimana tingkat keberhasilan itu dapat kita lihat paling hanya 40%, mengingat upaya2 itu sudah kita lakukan sebelumnya dan sama sekali tidak membawa hasil.
3. Tinggalkan dia dan masa lalu yang kelam itu, melangkah kedepan dengan penuh semangat, mulai hidup baru dengan peluang emas yang terbuka lebar untuk 25 tahun kedepan. Jangan lupa membawa Intan bersamamu kak. (Tutup adik saya sambil berseloroh pada ujung kalimatnya, saya ingat benar intonasi suaranya dan senyum jenakanya mengakhiri kalimat itu).
Saya, jujur waktu itu langsung tersentak mendengar wejangan adik saya ini, dan bagai mendapat suntikan energy baru, mata saya terbuka dan langsung pilih opsi no. 3. Hehehe.
Dan inilah saya kini, Alhamdulillah, bisa melanjutkan hidup saya dengan aman dan damai. Dan beberapa tahun setelah itu berhasil memberikan seorang papa baru bagi Intan.
Hanya sayang, sepertinya kehadiran papa baru ini membuat saya kalah pamor jadinya dimata Intan.
Intan akan selalu membela papanya ini setiap saya marah atau kesal pada sang papa. Hiks..hiks…
Suami saya ini begitu lihai menaklukkan hati putri saya. Tapi saya bahagia melihat keakraban mereka, sementara ayah kandungnya Intan sampai sekarang tak pernah peduli pada putrinya. Biarinlah..
Well, kembali ke Safira, bahagia rasanya melihat wanita ini kembali menemukan semangatnya, senyum manis menghias bibirnya saat berpamitan denganku.
‘Mba, makasih banget, dan jangan bosan kalo aq telp ya, aq butuh banget dukunganmu’.
Saya mengangguk, ‘no worries, call me anytime, tapi juga jangan kecewa kalo ga bisa langsung response in case I am in a meeting or a deadline chasing me, ok?’
Ya Allah, hanya Engkau yang Maha Tau yang terbaik untuk hambaMU, berikan Safira jalan keluar yang terbaik ya Rabbi. Amiin.
Senin, 31 Oktober 2011
Minggu, 30 Oktober 2011
Kisah Sedih di Hari Minggu I
paragraf sebelumnya,
Suara Fira yang begitu sendu langsung menuntun akal fikiran saya bahwa dirinya sedang tidak dalam bahagia. Apalagi awal kalimat pembukanya yang tidak seperti biasanya. Tinggal satu mess dengannya selama lebih dari 1,5 tahun membuat saya cukup mengenal teman/kolega masa BRR dulu yang tentunya serumah dengan saya.
‘Mba Alia, ini Fira, Safira yang di BRR dulu’ kalimat pembuka yang awalnya cukup membuatku bahagia. Mendengar kembali suaranya tentu saja memberikan kesenangan tersendiri toh? Namun nada suaranya yang getir membuat feeling saya berkata lain. Saya jawab segera suara getir itu.
“Eh Fira, apa kabarmu? Kemana aja? Sehatkan?’
‘Mba, aq ga baik, aq ingin curhat. Rendi udah 2 bulan ga pulang, ga ingat pun lagi sama anaknya. Aq butuh bantuanmu mendengarkanku, dan juga nasehatmu mba..’
Aq tentu saja kaget, tapi berusaha mengontrol keterkejutanku dengan berusaha balik bicara setenang mungkin.
‘Lho, kok bisa begitu? Gimana ceritanya? Ok, boleh, tapi saya ga bisa ketemu sekarang Fir, masih ada janji yang harus saya penuhi nih….’
‘Mba, aq ingin banget ketemu mba, tapi please, dengarkan aq via telp aja dulu mba, aq benar2 butuh pendapat dan dukunganmu. Mba dulu berobat dimana saat berantem dengan ayahnya Intan? Bantu aq mba!’ suaranya memelas.
Tapi dua kalimat terakhirnya cukup membuatku kaget dan shock. Berobat? Berobat apa maksudnya? Aq sungguh ga paham.
‘Fir, apa maksudnya berobat? Kami tidak sakit. Saya tidak ditinggal tapi saya yang memutuskan meninggalkannya Fir. Berobat apa maksudnya?’
Fira mungkin menyadari telah salah bertanya, dan suaranya terdengar sedikit gundah,
‘maaf mba, kata mba Vina, waktu itu mba ada berobat ke paranormal untuk ngobatin papa Intan.’
Nah loe!
Sembarangan aja, untung ga ada yang mendengarkan, kalo ga saya bisa malu kan ya? Hari gini main dukun? Ya ampuuun. Ini Vina harus diketok nih kepalanya. Fitnah. Huft, awas aja deh.
“Fir, saya itu ga ada ke dukun2an, untuk apa? Wong saya yang memutuskan untuk meninggalkan papanya Intan kok, jadi ngapain saya obatin dia untuk kembali ke saya? Justru untuk memisahkan diri darinya aja saya butuh waktu proses sampai 8 bulan begitu kok.’
Tak ada sambutan dari seberang sana. Fira mendengarkan. Saya lanjutkan kalimat saya,
'Fir, sekarang gini deh, ceritakan masalahmu, mungkin saya bisa bantu berikan pendapat, tapi kalo ingin menanyakan dukun mana yang bisa membantumu, saya ga punya jawaban untuk itu lho.’
Fira mengiyakan dan mulai bercerita. Saya mendengarkan dengan khusyuk. Satu pelajaran yang terpatri kuat di otak saya adalah bahwa inti utama dari konseling adalah kesediaan kita mendengarkan. Mendengarkan dengan baik dan seksama. Itu yang kini saya lakukan.
Bahwa Rendi telah kepincut wanita lain yang sayangnya wanita lain itu adalah seorang wanita panggilan. (sungguh tidak setara dengan istrinya, alias Fira, yang seorang dokter). Hubungan gelap ini berlangsung pada saat Fira pulang ke rumah ibunya di Jakarta untuk melahirkan anak pertama mereka. Rendi tidak bisa ikut serta karena bertugas sebagai seorang Polisi Militer di Banda Aceh. Bahwa Rendi tak bisa lagi terlepaskan dari wanita itu, bahkan disaat Fira dan putra mereka telah kembali ke Banda Aceh dan tinggal kembali bersamanya.
Para tetangga membisikkan padanya bahwa Rendi memang sering terlihat bersama wanita itu, yang adalah seorang pekerja di sebuah café remang2. Berbagai upaya dilakukan Fira untuk membuka mata dan mengembalikan suaminya ke pangkuan dirinya. Tapi tetap saja tidak membawa hasil, malahan pertengkaran demi pertengkaran semakin penuh menghiasi rumah mereka. Tak sedikitpun Rendi malu jika pertengkaran ini didengar oleh tetangga mereka di asrama itu.
Tindakan Fira yang mencoba minta bantuan ayah ibu Rendi malah membuat Rendi semakin kalap. Juga saat Fira sudah tak sanggup lagi menahan amarah dan melaporkan kelakuan Rendi ke komandannya, Rendi semakin tidak terkendali. Beberapa tindakan scorsing yang dilakukan oleh sang komandan malah bukan menyurutkan sepak terjang Rendi merengkuh si wanita simpanan, melainkan membuatnya semakin jauh dari orbit.
Kali pertama laporan, sang komandan masih menugaskan untuk mencari, menangkap dan menempatkannya di sel, tapi setelah itu kelakuan Rendi tidak juga berubah. Malah disinyalir bahwa pengaruh narkoba (shabu-2) telah merasukinya hingga membuatnya semakin gila. Bahkan laki-laki itu sama sekali tak tersentuh hatinya saat putra mereka (saat itu berumur 9 bulan ) terkena DBD. 3 hari putranya di rumah sakit, Rendi tak pernah menjenguknya sekalipun, konon lagi menemani Fira di rumah sakit. Untung mamanya Fira datang dari Jakarta untuk menemani kepedihan hidup sang putri.
Semakin miris hati Fira saat tau bahwa mobil mereka pun telah terjual oleh Rendi untuk kebutuhannya bayar hutang dan kalah judi, ditambah lagi dengan kebutuhannya akan narkoba. Lengkap sudah penderitaan Fira. Apalagi kini Rendi memang tak diketahui dimana rimbanya. Lelah sudah dia mencari namun tak satu temannya pun yang tau keberadaannya. Fira menangis diseberang sana sambil mengakhiri ceritanya.
‘Beginilah mba nasibku, aq ingin banget bicara denganmu, aq tau mba pernah mengalami hal yang hampir sama, mungkin bisa bantu aq mencari jalan keluarnya, please.’
Saya sungguh terenyuh dengan ceritanya ini, apalagi suaranya begitu mengiris batin. Saya tau persis betapa sulit situasi seperti ini. Saya tidak sedang mencoba bersimpati dengan berkata seperti ini, tapi saya memang tau persis bagaimana rasanya penderitaan Fira. Saya pernah mengalami ini 5 tahun lalu. Mungkin kisah saya tidak lah sama persis dengan kisah Fira, tapi bisa dikatakan hampir ada miripnya.
Judulnya adalah tentang pengkhianatan, ketidaksetiaan dan rasa cinta yang terkikis.
Hm…. Kok hari saya jadi terasa mendung ya? Jadi ikutan sedih. Jadi ingat saat mereka pacaran dulu… Rasanya siang tak akan malam dan malam tak akan siang. Sulit banget terpisahkan. Bahkan sampai2 kami harus memberikan warning pada Safira yang kami pandang sudah melalui batas pacarannya untuk kaca mata Aceh. Yang saya maksud disini adalah karena sudah sulit dipisahkan, jam kunjungan sudah ga jelas, dan kami jadi ga enak dengan tetangga sekitar.
Eh kok sekarang, baru 3 tahun menikah kok iya cinta itu sudah memudar, malah berhasil dicaplok oleh wanita lain??
Saya masih belum tau harus bicara apa saat Fira telah mengakhiri kalimatnya diujung sana, hanya desah napas sedih yang berhasil saya dengarkan.
‘Fir, saya benar-benar prihatin dengan apa yang kamu alami ini. Ingin banget saya membantu kamu. Saya tau persis bagaimana sakitnya rasa ini Fir. Honestly I knew how you feel. Satu hal yang saya ingin tau, apa yang kamu harapkan dari Rendi sekarang ini? Masih cintakah kamu padanya?’
Tidak ada suara dari ujung sana. Sejenak, dua jenak… (emang ada dua jenak? Hush!!) hening.
‘Ga taulah mba… aq benar2 hancur sekarang ini. Malu banget aq sama tetangga mba? Taulah kami tinggal di asrama. Malu sama ibu-ibu itu. Suamiku ga pulang-pulang. Mau mati aja aq rasanya mba…’
‘Fir…. Saya ingin tanya satu hal, dan jawab dengan jujur. Kamu seorang dokter, apa kamu rela disetarakan dengan seorang pelacur? Wanita murahan? Kamu masih mau menerima Rendi kembali setelah penghinaannya terhadapmu. Memacari dan meniduri pelacur adalah suatu penghinaan kelas tinggi tuh Fir.’
‘Ya aq sakit hati banget mba, masak sainganku seorang pelacur. Dan tau ga mba, aq dengar perempuan itu juga pemakai shabu mba.’
‘Nah, apa kamu masih mengharapkan Rendi untuk kembali padamu? Setelah tau persis kelakuannya? Satu pertanyaanku yang belum kamu jawab Fir, masih cintakah kamu padanya?’
‘Mba, aq tuh udah sakit hati banget sama dia, aq terhina, aq malu, tapi aq kasian Ragil kalo sampai ga punya bapak….’ Suara tangisan dari seberang sana.
‘Fir…. Jangan pernah membawa-bawa anak dalam urusan seperti ini Fir. Saya sudah pernah mengalami hal ini. Saya juga punya anak. Tapi jangan jadikan anak sebagai penghalang kamu mengambil langkah ke depan untuk menyelamatkan dirimu dan anakmu.’
Saya sengaja diam, membiarkan dia berfikir dan saya yakin dia pasti bingung dengan kalimat saya.
‘Maksudmu mba?’
‘Maksudku begini. Keadaanmu masih jauh lebih mujur dari saya dulu. Kamu masih ada ibu yang siap memberi kasih sayangnya dan menjaga anakmu. Nah, berarti Ragil aman. Sekarang saatnya kamu bereskan dulu urusanmu. Tapi jangan tergesa-gesa. Makanya tadi saya tanya, sebesar apa sisa cintamu pada Rendi. Jawab pertanyaan ini dengan jujur, agar kamu bisa tentukan langkah selanjutnya.’
Masih terdiam, mendengarkan.
‘Kalo kamu ga bisa jawab sekarang, nanti malam coba kamu renungkan baik-baik Fir, tanya hatimu yang paling dalam. Minta jawaban paling jujur. Jika hatimu bingung untuk menjawab, bantu dia dengan membuat sebuah table dua kolom. Kolom kiri berisi list kebaikan Rendi dan kanannya tentang list keburukan. Masih ingat analisa SWOT kan? Nah, analisa SWOT tidak hanya untuk project, tapi juga untuk kehidupan. Karena kehidupan juga sebuah project sebenarnya.’ (gilee juga kalo dipikir2 ceramah saya, hehe).
‘Bener juga ya mba? Terus gmn mba?’
‘Nah nanti berdasarkan list itu, kamu akan menemukan arah. Kamu coba lihat, lebih banyak mana, mana yang unggul antara dua list itu. Jika ternyata kebaikannya lebih besar, kamu masih boleh memaafkannya, peluang untuk berobah ke arah kebaikannya masih terbuka. Tapi jika keburukannya ternyata unggul, maka, kamu sudah bisa membujuk hatimu untuk meninggalkannya.‘
Saya hentikan sementara pembicaraan saya menanti sahabat saya diseberang sana mencerna pembicaraan kami.
‘Iya mba… aq ingin mendengar lebih jauh lagi pandanganmu..’
‘Ok, tentang rasa malumu pada tetangga, coba singkirkan dulu. Tanamkan dalam jiwamu bahwa ibu-ibu itu tidak mencemoohmu, bahwa sebenarnya mereka bersimpati atas apa yang kamu alami, bahwa justru yang mereka pandang buruk adalah suamimu. Bukan kamu. Sejauh kamu sendiri tidak macam2 means you are still a good wife, maka yakinlah bahwa mereka tidak memandang negative terhadapmu. Saya yakin kok, mereka itu kasian padamu."
"So kamu itu HARUS membangun dan mempertahankan positive thinking di dalam jiwa kamu Fir. Jangan berikan sedikitpun celah bagi sisi lain hati kamu untuk menjatuhkan mentalmu. Hanya kamu sendiri yang bisa menolong membenahi mental mu yang down, yang terpuruk ini Fir. Saya bisa bilang begini karena sudah mengalaminya beberapa tahun yang lalu. Sulit sekali untuk tetap bersemangat, untuk tetap positive thinking Fir. Tapi HARUS bisa dan Yakinlah pasti BISA.’
Saya rasakan pembicaraan saya begitu berapi-api, ibarat sedang memberi ceramah motivasi dimana gituu… hehe. Saya lanjutkan karena Safira mendengarkan dengan khusyuk di seberang sana.
‘Jadi Fir, hanya kamu sendiri yang harus segera mengambil tindakan. Jangan buang waktumu untuk terus menangisinya. Jangan sedihkan hatimu dengan berfikir anakmu akan kehilangan bapak. Itu urusan nanti. Apa anakmu akan bangga dengan seorang ayah yang sama sekali tidak peduli padanya? Apa anakmu akan senang dan bahagia mengetahui ayahnya seorang pecandu narkoba, tukang main perempuan dan penjudi?"
"Dia tidak akan kehilangan ayahnya kok, selagi masih hidup di dunia, suatu saat nanti dia akan bertemu dengannya kok, terlepas bagaimana kondisi ayahnya. Ayah tetap ayah, dan tugas kita ibunya adalah menceritakan apa adanya dan siapa ayahnya, nanti jika saatnya. Jadi jangan buang waktumu untuk berfikir hal2 seperti itu. Sebenarnya sebelum membuat table dua kolom itu, yang pertama harus kamu lakukan adalah membuat list of priority. Atau gini Fir, coba buat dulu analisa SWOT kehidupanmu. Kebayang ga?’
Safira menjawab dengan antusias.
‘Mba, kapan aq bisa ketemu denganmu, bantu aq membuat analisa SWOT ini, aq ga bisa sendirian, aq hanya seorang sekretaris, ga paham benar langkah-langkahnya, kapan bisa ketemu mba? Please…’
Oops…. Waktu untuk ketemu ini yang sulit. Senin besok saya masih punya deadline untuk interview dan recruitment consultant untuk project qanun development, terus juga masih harus berkutat dengan beberapa perjanjian kerjasama yang masih belum juga kelar.
Safira masih menunggu penuh harap.
‘Ok say, gimana kalo nanti malam saja kita ketemu. Dimana enaknya ya? Yang tenang dan kita bisa corat coret, kita harus bikin problem assessmentnya dulu, biar gampang. Nah gini, tugasmu sebelum kita ketemu, coba tolong kamu rumuskan dulu point-point persoalan yang kini kalian hadapi, terus juga bikin table dua kolom tentang kebaikan dan keburukan Rendi ya… jadi nanti waktu kita ketemu, kita ga habiskan waktu untuk merumuskan hal itu lagi, tinggal kita review aja, dan lanjut ke SWOT.’
‘Baik mba, aq akan kerjakan sekarang, ntar aq kirim ke emailmu ya mba, in case you have time to read first before we meet.’
Pembicaraan via telephone ini pun kami akhiri setelah janjian akan ketemu di Mesjid Raya nanti malam. Hehe, akhirnya milih Mesjid Raya deh, lebih adem dan menginspirasi, juga saya berharap jika pertemuannya di Mesjid Raya Baiturrahman, Allah akan member saya hidayah agar input-input yang saya berikan nantinya bisa menjadi berkah. Amiin.
Duuuh, kok kayaknya saya ini seorang counselor ya? Padahalkan saya seorang tukang sampah, yang mengurusi masalah persampahan. Hehhe. Ga nyambung deh ih.
Langganan:
Postingan (Atom)
Bawa Aku Pulang!
credit Aku punya rancangan khusus untukmu, aku yakin kamu pasti akan suka deh. Aku kangen banget sama kamu Shin! Jangan lupa lho, beso...

-
paragraf sebelumnya , Suara Fira yang begitu sendu langsung menuntun akal fikiran saya bahwa dirinya sedang tidak dalam bahagia. Apalag...
-
Paragraf sebelumnya klik disini yaaaa Fadjri, Bapak sedih, terharu dan bangga terhadapkamu nak…. Sedih karena kamu jauh sangat deng...
-
Kisah sebelumnya..... Seekor anak kerang menangis sendu, mengadu pada sang bunda. “Ibu, badanku sakit sekali…. Perih dan ngilu….. ...