Senin, 26 Desember 2011

Hari ini, tujuh tahun yang lalu

paragraph sebelumnya ada disini ya sobs..

Pagi itu, Fachry dan putra putri mungilnya sedang menikmati acara TV pagi hari, sembari menanti sang istri menyiapkan sarapan pagi yang baru mereka beli dari Blang Padang selesai mereka berolah raga.
Adalah kebiasaannya dan keluarga melakukan jogging di setiap Minggu pagi, dan rencananya selesai sarapan di Minggu itu, Fachry akan mengajak anak2nya mandi di laut yang hanya beberapa ratus meter dari rumahnya.

Fachry memang sangat mencintai pantai dengan segala pemandangan indahnya, bertolak belakang dengan sang istri yang sedikit trauma dengan pantai. Itu juga sebabnya sang istri merasa keberatan untuk pindah ke rumah baru yang lokasinya sungguh di bibir pantai. Namun mengikuti suami, sang istri patuh sambil membujuk hati nuraninya untuk mulai bersahabat dengan lingkungan barunya itu. No more complaint. Just follow.

Awalnya Minggu pagi cerah itu sungguh berjalan normal sampai kira-kira jam 8 kurang beberapa menit gempa mengguncang. Awalnya pelan, semakin kuat dan diiringin suara gemuruh dari dalam tanah.
Fachry segera mendekap kedua buah hatinya dan membawa mereka seraya memanggil istrinya untuk segera bergabung bersamanya diluar rumah. Tetangga mereka yang lain juga sudah berkumpul di luar rumah mereka masing-masing. Bahkan mereka tetap berkumpul di luaran hingga gempa telah berhenti, tak satupun dari mereka berani beranjak bahkan untuk men-cek keadaan di dalam rumah.

Gempa kali ini sungguh dasyat dan diluar dugaan. Pikiran resah yang hadir di benak mereka masing-masing benar-benar menimbulkan kecemasan. Mereka tetap bertahan, hingga sebagai penghuni bibir pantai, mereka menjadi saksi pertama sebuah gelombang hitam yang tampak dari kejauhan, yang dalam sekejab telah berdiri menyeramkan, suara menggemuruhnya sungguh menakutkan, dan dalam sekejap telah menyergap, menyeret dan menghempaskan mereka kearah yang tak beraturan. Sekuat tenaga Fachry menggenggam erat tangan istrinya di sebelah kiri dan tangan putra sulungnya di sebelah kanan, sementara putri kecilnya berada di gendongan sang istri, yang ketat dililit kain gendongan.

Sebuah gelombang maut, tak ayal menghantam dan menggulung tubuh mereka dan membuat pegangan tangan mereka saling berlepasan. Saat itulah mereka terpisahkan dan hanya Allah yang tahu kisah nyata mereka selanjutnya. Dirasakannya bahwa gelombang yang menghantamnya lebih dari satu kali hingga akhirnya membuatnya kehilangan kesadaran.

Perkiraannya gelombang pertama saat itu sekitar dua meter, namun gelombang kedua menghantam lebih dasyat lagi sebelum dirinya sempat menyadari segalanya. Dapat diperkirakan ketinggian air saat itu mencapai 30 meter apalagi itu adalah kawasan bibir pantai. Tak lagi kelihatan apapun saat itu selain air laut hitam kelam yang dipenuhi puing dan lumpur. Hanya dalam hitungan menit, gelombang itu merangsek ke arah kota dan membenamkan se¬mua manusia, rumah, toko, dan en¬tah apa lagi yang dilindasnya.

Cukup lama dirasakan dirinya terseret dalam gelombang maut yang arusnya luar biasa kuat, sembari beberapa kali dirinya termi¬num air laut yang penuh lumpur itu terombang ambing entah berapa lama hingga akhirnya terdampar dengan baju compang camping tanpa alas kaki di daerah Lamteumen yang jaraknya kurang lebih 3,5 km dari rumahnya di Ulee Lheu.

Dicobanya berjalan tertatih melewati air berlumpur yang telah mulai surut itu, yang penuh dengan puing dan tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan. Pedih hatinya, beberapa orang dari yang selamat adalah orang-orang yang dikenalnya dan secara bersama mereka mencoba melakukan pencarian terhadap anggota keluarga mereka yang berhilangan.

Dengan tubuh lelah dan penuh luka, berbekal semangat yang masih menyala untuk menemukan anak istrinya, dibalikkannya setiap mayat yang tertelungkup dengan doa bahwa si mayat adalah bukan orang yang dikenalnya, apalagi anak dan istrinya. Tak henti dipanjatkannya permohonan pada Ilahi agar disisi lain tanah ini, anak dan istrinya masih diberi kesempatan untuk melanjutkan kehidupan.

Pencarian demi pencarian tidak memberikan hasil yang memuaskan, apalagi saat dia mencapai lokasi rumahnya keesokan harinya, yang telah tak berbekas, tenggelam dalam lautan, perih hatinya.... hilang sudah harapannya, sekuat apa istri dan anaknya melawan gelombang maha dasyat itu? Dia sendiri hampir saja menghadap sang pencipta jika memang tidak diberikan kesempatan kedua oleh Ilahi...

Namun kata ‘kesempatan kedua’ ini menerbitkan harap di kalbunya. Semoga anak istrinya juga diberi second chance oleh sang Pencipta. Tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang kian lemah, dia mencoba menelusuri tumpukan demi tumpukan mayat, mencoba mendeteksi sambil berharap agar si mayat tetap bukan orang yang dikenalnya. Dikunjunginya camp pengungsi demi camp pengungsi, rumah sakit demi rumah sakit, namun yang dicarinya tidak juga kunjung bertemu.

Pencarian itu begitu melelahkan, terutama kelelahan batin yang menderanya tak mampu dilukiskan. Siang malam bayangan ketiga wajah manusia terkasihnya itu muncul di pelupuk mata dan menghiasi tidurnya yang tak lagi sempurna. Jeritan minta tolong anak dan istrinya seakan tak pernah sirna, selalu setia mengunjungi di setiap tidurnya.

Sekuat-kuatnya Fachry, dia tetap manusia biasa, sama seperti manusia senasib lainnya (wanita maupun pria), trauma kehilangan anak dan istri/suami menjadi penyakit utama yang setia mendampingi. Hampir saja dia menjadi gila jika tidak mendapatkan trauma healing dari sebuah NGO yang memang specialist dalam melakukan pengobatan psikis akibat trauma.

Pertemuan yang sangat kebetulan di sebuah mesjid antara Fachry dan salah satu staff NGO ini, membawanya berkenalan dengan seorang psikolog luar negeri yang pada masa itu sedang gencar-gencarnya membantu para korban tsunami. Perlahan Fachry berhasil memaafkan dirinya sendiri, dan bersedia untuk kembali memberi dirinya kesempatan melanjutkan kehidupannya, kembali pada pekerjaannya, mencoba menata kembali kehidupannya yang porak poranda.

Fachry dan keluarganya (ayah dan ibunya serta adik-adiknya) yang semuanya berdomisili di luar Aceh, sungguh bersyukur dengan pencapaian Fachry, yang kini telah mampu merajut kembali kehidupannya, kembali pada pekerjaannya, walau untuk membina kembali sebuah rumah tangga, Fachry belum berani.

Ingatannya pada anak dan istri yang telah dibawa gelombang tsunami, membuatnya ingin tetap setia pada mereka, dan tidak ingin membuka pintu hatinya bagi wanita lain dan calon buah hati lainnya.
Miris memang, dan rasanya mustahil ada kenyataan yang seperti ini. Biasanya para pria, yang bernasib  seperti Fachry, banyak yang sudah memulai rumah tangga baru, dan telah ikhlas meninggalkan almarhum anak dan istri mereka. Namun Fachry masih terpaku pada masa lalu. Dan Fachry akan sangat marah jika hal ini diungkit dan diluruskan, karena dia merasa, dia cukup bahagia dengan keadaannya saat ini.

Dan hari ini, tepat pukul 3.25 dini hari, Fachry tersentak kaget, terbangun dari tidurnya, karena mimpi yang sama, yang telah mendatanginya secara berturut-turut setiap tahun setelah peristiwa tsunami, kini kembali hadir. Tak ada yang berubah pada mimpi itu. Persis. Sama persis. Oh Tuhan, apa artinya ini? Masih hidupkah mereka? Beri hamba petunjuk ya Allah....

Hampir gila rasanya Fachry menerjemahkan mimpi ini, apa artinya ya Allah? Beri hambaMu petunjuk ya Allah. Laki-laki itu bangkit dari tidurnya, berlari ke kamar mandi, berwudhu, dan shalat. Bacaan demi bacaan shalatnya dilakukan sambil menangis....

Sungguh menderita batinnya, mimpi itu datang lagi, sungguh jelas, tapi sulit sekali ditebak artinya. Semua yang terlihat di mimpinya persis seperti video recording sebuah kejadian. Kejadian saat gelombang maut itu menggulung mereka. Terlihat jelas dalam mimpi itu saat dia menggendong kedua anaknya dan memanggil istrinya untuk bergabung dengannya diluar rumah. Kemudian rentetan kejadian saat mereka diterjang gelombang hingga akhirnya genggaman tangan mereka saling berlepasan.

Kemudian dalam mimpinya itu terlihat jelas dirinya terseret arus dan terdampar di Lamteumen, sementara istri dan kedua anaknya terombang ambing, terseret ke tengah lautan. Ingin dia melihat lebih jauh, namun selalu saja detik berikutnya setelah istri dan anaknya menangis meminta tolong, dirinya pun terbangun dari mimpi itu.
Oh Tuhan, apa artinya ini? Kemana gerangan mereka ya Allah, masihkah mereka hidup? Jika iya, dimana? Mengapa tiada kabar untuknya? Kalaupun sampai terhempas ke negara lain, pasti istrinya akan mengabari. Atau mungkin terjadi amnesia? Mungkinkah? Oh Tuhan........

Fachry merasa akan menjadi gila setiap mimpi itu mendatanginya. Dan ini adalah kali yang ke ketujuh. Dan tetap tanpa tambahan informasi.
Laki-laki itu menangis tersedu di atas sajadah, tak sanggup berfikir jernih. Nina, adik perempuannya yang kebetulan sedang berkunjung mendengar tangisan itu, dan menyeruak masuk dan memeluk sang kakak.

Sebagai seorang psikolog, si adik sangat faham derita batin yang mendera kakaknya itu. Dibiarkannya sang kakak menangis dipelukannya, menumpahkan segala kepedihan hatinya, baru nanti dia akan mencoba untuk berdialog dengan sang kakak.
Benar saja, tanpa sungkan, Fachry bercerita tentang mimpi yang telah setiap tahun hadir di malam kejadian tsunami. Dan tercengang sang adik mendengarnya...

Sungguh aneh mimpi ini, pertanda apakah? Oh Tuhan... Hanya Engkau yang Maha Tau apa yang sebenarnya telah terjadi pada anak-anak dan istri Fachry. Nina tidak menemukan solusi pemecahan persoalan ini, belum pernah ada kasus yang seperti ini dan terlebih dia sendiri kurang begitu percaya dengan mimpi-mimpi, tapi mendengar cerita Fachry, sungguh membuat wanita ini terpengarah, ada apa dibalik semua ini?

Sangat dipahaminya jika sang kakak menjadi so blue, besok adalah hari kejadian itu, hari dimana kakak tercintanya ini kehilangan 3 orang penting dalam waktu yang bersamaan dari kehidupannya. Akan ditemaninya si kakak melaksanakan ritual tahunannya besok pagi. Mengunjungi kuburan massal di Blang Bintang dan Ulee Lheu, menaburkan bunga serta membacakan yasin disana.

Setiap tahun Fachry memang rutin melakukan hal ini, mengunjungi semua kuburan massal yang ada, karena dia tidak tau persis, di kuburan massal yang mana anak-anak dan istrinya bersemayam. Tapi terlebih dahulu, Fachry melakukan ritual pembacaan yasin nya di Mesjid Raya Baiturrahman, baru dilanjut dengan berkunjung ke kuburan massal.

Hari masih pagi, 6.25 Wib. Nina telah bersiap diri, takut ketinggalan oleh kakaknya yang ternyata sesuai dengan dugaannya memang menjadi lebih pendiam, tak banyak bicara. Wajah tampan itu sangat murung. Perih hatinya menyaksikan kemurungan itu. Tak akan percaya dia jika hal ini bukan menimpa kakaknya, bahwa masih ada seorang suami yang begitu setia walau telah tujuh tahun ditinggal mati oleh istrinya. Masih setia tidak ingin menikah lagi. Hari gini? Masih ada? Jika dia tidak menyaksikannya sendiri, dia akan jawab, hari gini? MANA ADA!

Kuburan massal Blang Bintang terlihat ramai dikunjungi para keluarga yang kehilangan anak istri, suami, orang tua, kakak, adik maupun saudara lainnya yang merupakan korban tsunami, yang tidak berhasil terdeteksi keberadaan mayatnya.

Nina mengikuti langkah Fachry, menuju ke sudut kanan pemakaman dan meletakkan untaian melati kesukaan almarhumah istri kakaknya itu disana. Fachry telah mempersiapkan dua untaian melati untuk dua pemakaman massal yang akan dikunjunginya. Nina tak mampu meredam rasa haru yang menyesakkan dadanya. Ini adalah kali pertama dirinya mengikuti ritual tahunan kakaknya sejak sang kakak menjadi seorang duda, duda tsunami....

Fachry bersimpuh, membuka yasin kecil yang tampaknya memang akrab ditangannya itu. Mulai membacanya. Nina hanya menemani sambil melayangkan pandangannya ke berbagai penjuru. Tampak olehnya disudut lain, seorang wanita cantik juga duduk bersimpuh seorang diri, kusyuk membaca sebuah buku kecil ditangannya. Nina yakin itu adalah yasin yang sama seperti yang dipegang kakaknya. Disudut lain lagi, terdapat beberapa keluarga yang juga dengan wajah sendu sedang kusyuk berdoa. Semakin sesak rasa di dada Nina menyaksikan pemandangan syahdu itu, haru yang membiru.......

Tuhan, tabahkan para keluarga yang telah ditinggalkan ini, beri mereka kekuatan untuk melanjutkan kehidupan di the second chance you gave them ya Allah, seperti juga tabahkan dan beri kekuatan pada kakak hamba agar dapat melanjutkan kehidupannya, bukakan pintu hatinya ya Allah agar dapat menemukan dan menerima wanita lain sebagai pengisi dan pendamping hidupnya.

Getar handphone di kantong Nina membuat doa dalam hati itu terhenti sejenak, diambilnya hp dan dibacanya pesan yang ternyata dari sang ibunda yang menanyakan kabar dan kondisi Fachry. Tentu saja bunda sangat kuatir dengan keadaan kakaknya, dan sebagai ibu, tentu bunda dapat merasakan kegelisahan kakaknya sejak tadi malam. Itu juga yang membuat bundanya sudah mengirimkan puluhan sms padanya sejak malam tadi, menanyakan kabar kakaknya itu.

Nina memberikan laporan pandangan mata tentang situasi di kuburan massal dan juga keadaan kakaknya pada sang bunda, dan kemudian melanjutkan perjalanan bersama sang kakak ke kuburan massal lainnya. Juga dengan ritual yang sama. Nina mengikutinya dengan ikhlas dan penuh kesabaran dan kasih sayang. Matanya tersentak saat menangkap bayangan wanita cantik yang tadi dilihatnya kusyuk berdoa di salah satu sudut kuburan massal Blang Bintang kini juga telah hadir di kuburan yang satu ini. Mungkinkah wanita cantik ini juga mengalami nasib yang sama seperti kakaknya?

Helaan nafas panjang Nina adalah ekspressi batin akan kepasrahannya akan garisan nasib yang telah ditakdirkan oleh Sang Pencipta. Siapa yang bisa meramalkan dengan pasti setiap langkah, rezeki, pertemuan dan maut untuk setiap individu? No one, Just Allah the Mighty! Subhanallah ya Allah.....




Selasa, 20 Desember 2011

ilustrasi kisah kehidupan

paragraf sebelumnya ada disini ya sobats,
Seorang dokter yang sedang bergegas masuk ke dalam ruang operasi...


Ayah dr anak yg akan dioperasi menghampirinya:
"Kenapa lama sekali anda sampai ke sini? Apa anda tidak tau, nyawa anak saya terancam jika tidak segera di operasi?", Labrak si ayah.

Dokter itu tersenyum dan berkata,

"Maaf, saya sedang tidak di Rumah Sakit tadi, tapi saya secepatnya ke sini setelah ditelepon pihak Rumah Sskit."

Kemudian ia menuju ruang operasi, setelah beberapa jam ia keluar dg senyuman di wajahnya.
"Alhamdulillah...keadaan anak anda kini stabil." Tanpa menunggu jawaban sang ayah, dokter tersebut berkata:
"Suster akan membantu anda jika ada yang ingin anda tanyakan." Dokter tersebut berlalu.
"Kenapa dokter itu angkuh sekali? Dia kan sepatutnya memberikan penjelasan mengenai keadaan anak saya!" Sang ayah berkata pada suster.

Sambil meneteskan airmata suster menjawab:
"Anak dokter tsb meninggal dlm kecelakaan kemarin sore, ia sedang menguburkan anaknya saat kami meneleponnya untuk melakukan operasi pd anak anda. Skrg anak anda telah selamat, ia bisa kembali berkabung."

JANGAN PΕRNΑН TERBURU2 MENILAI SESEORANG... 
Tapi maklumilah tiap jiwa di sekeliling kita yang menyimpan cerita kehidupan tak terbayangkan di benak kita... 
Αdα air mata dibalik setiap senyuman... 
Αdα kasih sayang dibalik setiap amarah... 
Αdα pengorbanan dibalik setiap ketidak pedulian... 
Αdα harapan dibalik setiap kesakitan... 
Αdα kekecewaan dibalik setiap derai tawa... 

Semoga bermanfaat! Semoga kita menjadi manusia dg rasa maklum yang semakin luas dan bersyukur dg apa yg telah miliki dlm hidup ini. Ingat, kita bukan satu2nya manusia dg segudang masalah...

Sabtu, 10 Desember 2011

Ganti Template Ah....

paragraph sebelumnya ada disini sobs
Bener dugaanku, si mba tensinya rendah banget, 90/70. Dan asam lambungnya kumat, makanya pusing, dan mual2. Selidik punya selidik, ternyata sudah seminggu si mba ga sarapan dan makan siang, jadi dia hanya makan di malam hari saja, saat aku dan Intan pulang ke rumah. Barulah kami makan malam bareng. Dasar bandel. Alasannya malas keluar rumah. Sejak elpiji jadi barang langka tapi ga antik, dapurku gagal untuk berasap sobs. Setiap hari kutinggalkan sejumlah rupiah untuk si mba membeli sarapan dan makan siangnya. Sementara Intan, sarapan dan makan siang memang sudah disediakan di sekolah. Sementara diriku sendiri, gampang banget, kantin di kantor kami available sampe sore. Aman lah.

Nah si mba? bisa-bisanya ga makan. Efeknya ya begini? lemes, lesu, pusing dan mual. Komplit deh. Kalo ga kupaksa ke dokter tadi pagi, tetap aja dia tahan-tahankan sakitnya itu.

Well, selesai diperiksa dan mendapatkan obat, aku dan si mba ga langsung pulang, masih harus cari sarapan dulu, biar si mba bisa minum obat setelah itu. Barulah kemudian, saat telah di rumah, aku langsung buka laptop, dan mulai lanjut utak-atik sambil chatting dengan sang misua yang ternyata udah ga sabar mau lihat istrinya yang cantik dan seksi. HALAH..... GR banget ih Alaika.


Nah sobats, aku yakin pasti sobats semua juga merasakan hal ini. Bahwa rasanya sulit banget berpindah dari layar monitor jika kita sedang ngulik2 blog kita kan? saking asyiknya, ga terasa matahari telah meninggi. Jarum jam juga telah berpindah beberapa angka ke arah yang lebih besar. Ampun deh. Ini juga yang aku alami sobs.

Dari tadi malam, mata dan pikiranku tersedot habis oleh blog Sea of Life ku ini, yang tanpa angin tanpa hujan, kemarin siang aku tilik, kok tampilannya ringsek, Blog kumpulan fiksi dan kumpulan kisah kehidupan ini, yang tadinya bertemplate seorang wanita yang berdiri dibawah pohon, kok bisa2nya terputus pinggangnya. Siapa yang berani2nya memenggal pinggangnya??? Oh may...

Akhirnya, mau tak mau, aku harus merepair template itu, sebelum merusak penglihatan para sobats maya yang berkunjung.

Dan... jadilah aku tenggelam dalam utak atik template itu sepanjang malam tadi. Tenggelam bukan saking ahlinya sih sobats. tapi justru karena diriku bukahlah seorang maestro dalam utak atik berbagai kode html, CSS or opo meneh lah iku. Melainkan karena aku hanya seorang blogger awam, yang tidak begitu mengerti akan hal itu.

Akhirnya, terpaksa minta bantuan maha guru, sopo meneh sobs, yo mbah Google dunk. Hehe.
Terinspirasi oleh header template 'My Virtual Corner' yang murni menampilkan foto diri. Aku terpancing untuk designing another header for my Sea of Life.

Maka setelah utak atik sekian lama, bekerja di dua laptop, (terpaksa sobs, ternyata untuk bikin header menggunakan Xheader software, harus balik lagi ke laptop lama, HP kantorku, karena XHeader software ternyata belum compatible di mac). Akhirnya, beginilah template Sea of Life ku kini.

Ga bikin sakit mata kan sobs? cukup menarikkah?

Tentang cara membuat Header template seperti yang kita inginkan, akan aku posting di artikel berikutnya ya... itu juga jika sobats berminat lho....

Senin, 05 Desember 2011

When he had to say Good Bye


Klik disini untuk paragraf sebelumnya yaa..,

Jadilah Kania ikut aku sejak saat itu, dan Alhamdulillah tak lama setelah kedatangannya dan sering kubawa ke kantorku, terbuka juga sebuah peluang baginya untuk bisa bergabung menjadi salah satu pekerja kemanusiaan di tempatku bekerja. Mendapatkan gaji yang sangat lumayan, sehingga dia bisa mulai membantu ayah ibunya. Perjalanan hidupnya semakin baik dan cerah, berbanding terbalik dengan kehidupan rumah tanggaku yang akhirnya berhasil aku patahkan setelah berjuang cukup lama di pengadilan, membebaskan diri dari prahara rumah tangga yang tak lagi mampu terselamatkan.

Aku menyayangi Kania setulus hatiku. Bagiku, dia tetap keponakanku walau hubunganku dengan Oom nya, adik kandung ibunya telah resmi putus. Kania masih kubawa kemanapun aku tinggal hingga kemudian dia menikah. Menikah dengan Raja yang juga bekerja di lembaga yang sama. Aku adalah orang pertama yang diinterogasi oleh ayah ibunya saat Kania memberitahu mereka bahwa kini dia pacaran dengan Raja. Aku adalah orang pertama yang diserahi tanggung jawab untuk menjaga Kania. Karena akulah yang membawanya kemari.

Dan aku adalah orang pertama yang berbahagia mengetahui Raja meminang Kania, dan merencanakan untuk menikah ditahun berikutnya. Aku tulus mencintai keduanya, bahkan hubunganku dengan Kania terasa lebih akrab dibandingkan hubunganku dengan adik2ku sendiri.
Kedekatan hubunganku dengan Kania, dan keakrabanku dengan mantan kakak-2 iparku, justru membuat ayah Intan marah dan memusuhi mereka. Hingga tak mau hadir saat pernikahan Kania dan Raja dilangsungkan.


Kuhantar mereka ke pelaminan. Kusaksikan bahagianya sorot mata keduanya saat aku meng-capture foto2 perkawinan mereka di kamar tidur.


Kepindahan Kania ke rumah suaminya, telak membuatku kesepian, karena Intan masih tinggal di Medan kala itu. Aku otomatis tinggal seorang diri di rumah yang kami sewa. Kania juga terasa jauh sejak itu, namun kucoba memaklumi karena pasti dia sedang menikmati rumah tangganya yang baru saja dia masuki.

Tentu keindahan dan kebahagiaan yang mewarnai kehidupan mereka membuat pikiran tak sempat lagi terbagi. Ada sebuncah kesedihan ditinggalkan, tapi aku tentu tak boleh cemburu. Kebahagiaan mereka adalah hal utama, apalagi kemudian Kania diterima bekerja di sebuah perusahaan Negara terkemuka di negeri ini. Kantor kami selesai masa baktinya. Aceh dan Nias selesai direcovery. Maka kamipun harus pindah haluan. Mencari pekerjaan baru untuk melanjutkan kehidupan.

Kania kemudian pindah ke Palembang, sementara Raja menjadi dosen di sebuah Universitas terkemuka di Banda Aceh ini. Kesibukan semakin membuat kami tidak pernah lagi saling menyapa. Bahkan di yahoo messenger pun aku jarang mendapatkan sapaan hangat dari keponakanku itu. Mungkin dia sibuk.
Hingga kemudian kudengar berita, bahwa Raja sakit. Leukemia. Berita itupun kudapat dari Sonya, mantan adik iparku (yang sampai kini masih seperti adik kandungku sendiri), dan sayangnya juga telah lama dilupakan oleh Kania. Padahal setauku Sonya juga sangat sayang pada Kania.

Tak satupun dari kami, juga teman2nya yang pernah menyangka bahwa Raja mengidap penyakit maut ini. Sewaktu di lembaga kami yang dulu, Raja terlihat begitu sehat, gagah, ceria dan sigap. Sungguh diluar dugaan jika Leukemia ini ternyata telah mencengkramnya diam-diam. Pilu hatiku mendengarnya. Apalagi saat Sonya menginfokan padaku bahwa ibunya Kania sudah menangis tersedu karena dokter telah memvonis bahwa Raja tak akan mampu bertahan lama lagi.

Perjalalan hidup seorang anak manusia memang telah diatur sedemikian rupa. Raja mampu bertahan, pasang surut dalam penderitaannya. Sayangnya aku hanya berkesempatan bertemu dengannya sekali dua kali saja, karena walaupun Kania telah kembali pindah ke Banda Aceh, tapi hubungan kami tetap sejauh dulu, saat dia di Palembang.
Aku berusaha untuk tidak berkecil hati, walau sebenarnya hatiku pilu. Bukan. Bukan aku ingin mengungkit budi baikku terhadapnya. Bukan. Hanya sedih saja, karena aku menyayanginya setulus hati. Namun aku tetap berusaha menyakinkan dan membujuk hatiku bahwa Kania sedang sibuk. Banyak hal yang harus dihadapinya. Jadi aku harus maklum. Apalagi suaminya sedang sakit.

Bisa dihitung dengan jari pertemuan kami, walau sebenarnya jarak tempat tinggal kami sangat dekat. Bahkan di hari raya Idul Fithri maupun Idul Adha pun, keduanya tidak lagi mengunjungiku atau setidaknya Umiku, orang yang telah menerimanya saat pertama kali masuk kota Banda Aceh ini. Orang yang telah merawatnya kala asam lambungnya kumat. Ya sudahlah, mungkin dia sibuk. Mungkin Raja sakit, makanya Kania ga bisa bergerak kemana-mana.

Hari ini, kali ketiga aku kembali ke rumah ini. Rumah Kania yang indah.
Kali pertama aku hadir disini adalah untuk mengantar dirinya yang saat itu jadi pengantin. Aku sebagai ‘tante’nya tentu harus hadir.
Kemarin adalah kali kedua rumah ini aku kunjungi. Untuk melayat setelah mendapatkan kabar duka, bahwa Raja telah berpulang ke rahmatullah.
Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun.

Bahkan kabar duka ini tidak aku dapat dari Kania, melainkan dari Sonya di Medan. Aku maklum, mungkin Kania kalut, panic. Tak perlu aku berkecil hati, apalagi ini masalah dukacita. Segera kujemput Umiku untuk mengunjungi rumah duka kemarin.

Barulah aku dapat info lengkap, bahwa Raja telah sepuluh hari di Penang sana, untuk Kemoterapi. Kali ini kepergian Raja ditemani oleh ibundanya, karena bulan lalu sudah ditemani oleh Kania. Tentu Kania tidak bisa sembarangan meninggalkan pekerjaannya, sehingga haruslah bergantian dengan sang ibu mertua dalam menemani Raja berobat ke Penang sana.

Dan dua hari lalu, setelah Kemo, Raja merasakan dadanya sesak, sehingga segeralah ibundanya membawanya ke rumah sakit yang butuh waktu 1 jam an untuk mencapainya. Sayangnya di tengah perjalanan, Raja tak mampu lagi bertahan. Menghembuskan napas terakhirnya dan menghadap sang Pencipta.

Hari ini, kali ketiga aku kembali ke rumah ini.
Menetes airmataku menatap ketabahan Kania. I still love you dear. I do care for you….


Tak tahan rasanya membendung airmata ini, apalagi saat mba Ira, tantenya Kania, mantan kakak iparku membisikkan bahwa tadi siang Kania sempat pingsan, saat BB Raja diserahkan ibu mertuanya pada Kania. Membuka dan membaca beberapa sms2 terakhirnya yang sudah terkirim padanya, langsung dari sumbernya.
Merinding rasanya mendengarkan isi sms2 itu yang diantaranya Raja meminta agara Kania nanti dandan yang cantik saat dia kembali. Agar Kania tersenyum manis menyambut kedatangannya.
Oh My God, sepertinya dia telah tau bahwa dia akan segera pergi. Pantas saja Kania pingsan.

Penunjuk waktu di BBku telah menunjukkan angka 6.25 pm saat bunyi sirine ambulance di luar rumah. Kami menanti dengan perasaan tak menentu. Aku duduk disamping kedua mantan kakak iparku (mba Ira dan Mba Silvi, mamanya Kania), sementara Kania duduk di samping mamanya diapit oleh ibu mertuanya di sebelah kirinya.
Di hadapan kami telah terbentang sebuah kasur yang dipersiapkan untuk menerima peti jenazah yang sebentar lagi akan masuk.
Kuyakin Kania telah bersiap untuk memberikan senyum terindahnya bagi suami tercinta, sebagaimana juga dia telah berdandan cantik sesuai permintaannya.


Salut dengan kekuatan dan ketabahan yang dimiliki oleh Kania. Tak kulihat lagi setetespun air mata di pipinya. Justru airmata itu kini pindah ke mataku. Merebak dan berjatuhan tak terbendung. Intan menggenggam jemariku, juga tak mampu menahan airmatanya. Segera kuhapus airmataku, takut tertular pada Kania. Sementara airmata yang lebih deras mengalir dari pipi ibunda Raja dan kakak perempuannya yang duduk di sebelah kiri.

Peti jenazah diusung perlahan, dan kini tepat dibaringkan disamping kasur, sedianya nanti, tubuh Raja akan diangkat dan dibaringkan sejenak di atas kasur di hadapan kami.
Kutatap peti yang terbungkus rapi oleh kain putih itu. Seseorang yang tak kukenal kemudian menyerahkan passport dan beberapa berkas lainnya milik Raja pada Kania. Wanita itu menyambutnya sementara tangan kirinya tak lepas memindahkan biji tasbih dari satu ke yang lainnya. Berzikir menguatkan hati agar tangisnya tak tumpah.

Tutup peti jenazah kemudian dibuka, dan serta merta menyeruak bau yang agak menyengat. Aku sama sekali tak menutup hidungku. Beginilah akhir perjalanan kita, pada saatnya nanti. Bau menyengat tentu saja, mengingat Raja baru berhasil sampai di rumahnya ini setelah tiga hari menghembuskan napas terakhirnya.

Perjalanannya cukup panjang. Setelah ditinggalkan oleh ruhnya sekitar jam 5 sore waktu Malaysia, jasadnya harus menjalani berbagai proses prosedural untuk bisa kembali ke tanah air. Jasad ini harus menempuh perjalanan panjang dari Penang ke Kuala Lumpur, urusan prosedural di KBRI Kuala Lumpur, lalu harus menunggu pesawat yang available membawanya ke Medan. Tak ada pesawat airbus yang available membawanya langsung ke Banda, sehingga harus via Medan. Dari Medan harus pindah pesawat lagi, ke Banda Aceh. Hingga baru di hari ketiga inilah, jasad Raja berhasil sampai di rumahnya, untuk disemayamkan sejenak di rumah duka, lalu lanjut ke masjid untuk dishalatkan, baru kemudian dibawa ke peristirahatannya yang terakhir.

Pilu hatiku menyaksikan ini semua. Apalagi saat pihak keluarga memutuskan untuk tidak jadi mengeluarkan jasad Raja dari dalam peti untuk dibaringkan di atas kasur, mengingat ini sudah hari ketiga, kasian jika harus diangkat2 berulang kali. Maka akhirnya, peti jenazahnya lah yang akhirnya ditempatkan di atas kasur, untuk kemudian dibuka kain kafan bagian wajahnya, agar Kania, ibunda Raja dan keluarga dekat lainnya dapat melihat dan mencium untuk terakhir kalinya.
Tak mampu kutahan airmataku saat Kania, dengan tabah tanpa setetes airmata pun mencium kening dan wajah suaminya yang terlihat membiru.
Justru aku yang tersedu sedan. Kutahan isak tangis sekuat tenagaku. Ingatanku melesat jauh. Aku yang membawa Kania kesini, dan mempertemukannya dengan Raja, kini Raja telah pergi, dan Kania tinggal seorang diri. Oh Tuhan….


Dulu kuhadir di pesta meriah perkawinan mereka, kini ku hadir lagi setelah sekian lama tak pernah saling bersua, untuk menghantar kepergian Raja, selamanya.


Pedih hatiku. Sesak dan sakit tenggorokanku menahan isak tangis yang menyiksa ini.
Kania masih mampu bertahan, dengan tabah ikut serta mengikuti jenazah yang diangkat oleh beberapa pemuda, menuju masjid. Aku yang sedang tidak boleh Shalat), Intan, mba Ira dan mamanya Kania memutuskan untuk tinggal di rumah, bersama beberapa sanak keluarga Raja yang lainya.

Sungguh kami salut dengan ketabahan Kania menghadapi musibah ini, dan mempersembahkan senyum termanisnya untuk sang kekasih hati. Mba Silvi dan mba Ira bilang bahwa mereka memang menguatkan Kania sejak dia siuman tadi dengan beberapa sugesti. Bahwa Kania harus kuat, karena sayang banget jika sampai pingsan, artinya Kania ga akan punya kesempatan untuk melihat Raja terakhir kalinya. Apalagi Raja berpesan agar Kania memberinya senyum manis saat dia kembali, artinya Kania harus mampu meluluskan permintaan terakhir Raja…

Aku setuju dengan semua itu, dengan kebanggaan itu. Karena aku sendiri juga bangga dengan ketabahan Kania. Tapi aku kuatir, dibalik itu semua, dibalik keteguhan dan ketegarannya, Kania justru sedang menghadapi reruntuhan hatinya yang porak poranda. Ilmu trauma healing yang diajarkan oleh atasanku di Medical Team International dulu cukup membekas di hati. Bahwa seseorang bisa saja bersikap tegar, menunjukkan sikap kokoh, tapi seorang manusia, sekuat apapun dia, sehebat apapun dia, pasti akan hancur hatinya jika harus kehilangan seseorang yang dikasihinya.

Jadi adalah sangat lumrah, jika ekpressi kehilangan itu disalurkan keluar, baik melalui tangisan, tulisan, atau media lainnya. Yang penting disalurkan keluar. Tidak dipendam di dalam hati, karena itu akan menjadi bibit penyakit yang siap untuk menghantam dan menghancurkan dirinya.
Itu juga sebabnya, kenapa kami menggelar kegiatan trauma healing bagi para korban tsunami kala itu. Karena para korban tsunami yang telah mengalami bencana dan kehilangan satu, dua, tiga atau bahkan seluruh anggota keluarganya itu, perlu difacilitasi untuk bisa menyembuhkan trauma batin itu. Ya itu tadi, dengan memancing, memfasilitasi agar deraan batin ini bisa disalurkan keluar.

Kuutarakan hal itu pada kedua mantan kakak iparku, bahwa, sebaiknya, besok lusa, atau bahkan nanti malam, jika Kania mengutarakan rasa hatinya, kegalauannya, kesedihannya, jangan dilarang untuk menangis, biarkan dia mengeluarkan kepiluan batinnya. Agar rasa sakit kehilangan itu bisa keluar dan tidak mengendap menjadi penyakit batin yang justru dapat membahayakan jiwanya. Kalo perlu pancing dia untuk bisa menangis, tapi tentu jangan sampai keterlaluan donk.


Kucontohkan sebuah kisah yang pernah kubaca, bagaimana seorang istri yang begitu tabah mengantar kepergian sang suami selamanya, dengan sebuah senyum ikhlas, ketegaran yang membuat siapapun berdecak kagum, tak pernah menangis. Wanita itu berubah menjadi seorang yang pendiam, kosong pandangannya, dan akhirnya menjadi sakit jiwa.

Mba Silvi sangat kuatir mendengar kisahku itu, dan berjanji akan menjaga Kania dengan baik dan akan memancingnya untuk mengeluarkan segala kepahitan dan kepedihan yang dirasakannya.

Penunjuk waktu di BB ku telah menunjukkan angka 8.45 malam, saatnya aku mengantar mba Ira ke terminal bus, karena beliau harus kembali ke Medan, besok harus kembali bekerja. Dan ternyata mba Silvi, malah minta ikut segala karena takut sendirian berada di kamar Kania dan Raja. Para pengantar jenazah tentu masih lama kembali,

Aku geleng-2 kepala, Intan tertawa geli sampai aku cubit lembut tangannya agar berhenti tertawa. Gak enak kan di lihat keluarga Raja, orang musibah kok ketawa2. Gimana ga coba sobs, masak mba Silvi, sama menantunya kok takut. Emang mba yang satu ini terkenal penakut. Apalagi sama hantu. Masalahnya ini kan menantunya gitu lho. Masak takut sih.

Well sobats, setiap kita memang telah punya kisah perjalanan tersendiri, yang bahkan kita sendiripun tak mampu menebaknya. Kehidupan kita adalah sebuah lakon kehidupan, yang hanya diketahui persis oleh sang penulis skenerionya, sang Maha Kuasa, Allahu Rabbi. Semoga goresan kisah kehidupan kita hendaknya dapat berakhir indah ya sobats… dapat meninggalkan manfaat bagi sanak keluarga, handai tolan, agama dan bangsa ini. Amin.

Kepada keponakanku Raja, semoga amal ibadahmu diterima Allah SWT, lapangkanlah kuburnya ya Allah, tempatkan dia di tempat yang layak disisiMu ya Rabbi. Berikan juga ketabahan dan kekuatan bagi Kania dan keluarga keduanya dalam menghadapi cobaan ini. Amin Ya Rabbal Alamin.

Rest in peace my dear nephew...

Bawa Aku Pulang!

credit Aku punya rancangan khusus untukmu,  aku yakin kamu pasti akan suka deh. Aku kangen banget sama kamu Shin! Jangan lupa lho, beso...