Jumat, 09 Maret 2012

Dongeng Kehidupan II



Kisah sebelumnya di Dongeng Kehidupan I

Sebenarnya Surya sudah familiar dengan kondisi kejiwaan wanita yang sedang hamil. Tiga kali sudah dia menghadapi kehamilan istrinya (kini sudah mantan), dan dia hapal benar sikap ngidam, temperamental dan berbagai perubahan psikis istrinya di masa-masa kehamilan. Sekuat tenaga dia mencoba mentoleransi dan memahami, bahkan mampu meningkatkan rasa kasihnya pada istrinya (dahulu).

Namun, dengan istrinya yang ini? Sungguh Wani membuatnya kewalahan. Sikap cemburunya semakin menjadi-jadi. Sedikit saja dia telat sampai di rumah, setelah mentoleransi durasi kemacetan lalu lintas, Wani pasti mengamuk dan mencerewetinya. Mencurigainya. Bahkan terang-terangan menuduhnya berselingkuh. Tak jarang dan semakin sering kata-kata kasar keluar dari bibir sexy istrinya ini, bahwa Surya sengaja pulang terlambat karena sudah tak suka lagi dengannya yang kini telah berperut besar, buncit dan bertubuh melar. Sudah tidak menarik lagi dan tak mampu lagi memberinya kenikmatan.

Kata-kata yang awalnya membuat Surya malah ingin tertawa, namun juga ingin memeluk mesra istrinya. Mencoba memahami sikap istrinya yang memang masih terlalu muda untuk usia masa kini. Jika di zaman ibunya dulu, mengandung di usia 20 dianggap sudah sangat-sangat pantas, maka mungkin di masa kini, menikah di usia 20 tahun masih termasuk sangat muda. So, he tries to understand her wife feeling lah.
Maka dia tak banyak melawan kata-kata itu, dicobanya untuk menjelaskan sebaik mungkin, searif mungkin, sesabar mungkin. Sambil dalam hati berfikir, itulah resiko menikah dengan wanita yang masih terlalu muda. L

Namun, kadang kala, sikap Wani membuat control emosi nya tak terkendali, ini sering terjadi saat Surya membawa ketiga anaknya dari perkawinan pertamanya, ke rumah ini. Sebagai ayah yang baik, tentu dia rindu donk dengan anak-anaknya, dan ingin mengundang mereka menginap di rumahnya. Ingin juga dirinya selaku ayah, ber-akrab ria dengan darah dagingnya sendiri. Namun, sikap Wani sungguh tidak terpuji. Tak pernah sekalipun istrinya ini mencoba beramah tamah dengan anak-anaknya. Sikap Wani benar-benar mencerminkan sikap ibu tiri zaman dahulu, walau tidak sekejam ibu tirinya Cinderalla sih. Namun sikap tak sukanya itu, jelas membuat anak-anaknya juga tak suka pada Wani.

Sering Bella, putri terkecilnya yang masih berumur 3 tahun, langsung mengajak pulang tak lama setelah mereka tiba di rumah papanya ini. Alasan Bella adalah kangen mama. Padahal jelas-jelas Bella baru saja bersama mamanya. Tentu Surya merasa sangat kecewa dengan sikap Wani. Dia sangat berharap agar Wani tidak menganggap anak-anak ini sebagai saingannya. Bahwa anak-anak hanya akan mengambil kasih sayang Surya sesuai porsinya. Dan Wani tetap akan memperoleh kasih sayang Surya sesuai porsinya pula. Namun Wani tetap saja dengan sikap kekanak-kanakannya itu. Surya hanya bisa mengelus dada, apalagi mengingat Wani sedang berbadan dua.

Pagi ini, Wani kembali mengamuk, sebabnya? Karena sebuah sms di HP Surya…

“Ardo sehat Oom, Alhamdulillah, udah baikan kok Oom, tapi oleh mama belum dibolehin sekolah”

Sms ini membuat Surya menjadi tawanan. Diinterogasi sedetil-detilnya oleh istrinya. Dia sungguh heran, bagaimana mungkin istrinya yang sedang hamil ini, punya kekuatan luar biasa, mencak-mencak tak karuan dan hilang sopan santun seperti ini ya? Ditengah perang batinnya melawan kemarahan oleh rentetan peluru kata-kata dari bibir indah sang istri, batinnya tersentak dan takjub oleh kata-kata pamungkas istrinya itu.

“Jangan-jangan Ardo ini anakmu dengan perempuan lain pula! Makanya begitu akrab!!”

Sadis benar kata-kata itu, diucapkan dengan kata-kata pedas melebihi cabe rawit. Namun kok mengena pula. Surya tak ingin membalas, tak hendak menjawab. Capek deh, pikirnya. Dia lanjutkan aktivitas paginya, menyiapkan pakaian kerjanya sendiri, karena kalo sudah mengamuk, istrinya ini tak akan lagi menyiapkan apapun untuknya.

Justru sikap diam tak melawannya ini, ternyata malah semakin memicu kemarahan Wani. Membentak dia, menghadang Surya yang hendak ke kamar mandi.

“Kenapa mas hanya diam? Ayo ngaku? Siapa dia? Ngomong mas, ngomong!!”

Surya merapatkan gerahamnya. Tuhan, bagaimana mungkin ada seorang wanita hamil yang begini temperamental. Jangan turunkan emosi tak terarah ini pada anakku ya Tuhan… batinnya.

“Dik… tolong jangan marah-marah begitu donk. Mas takut anak kita nanti jadi pemarah seperti ini, please…. !”

Ternyata kalimatnya ini malah semakin memancing si singa menambah amukannya.

“Apa? Bilang aja mas memang ga senang lagi denganku, mas ga cinta lagi denganku kan?” Dan istrinya ini kini menangis tersedu. Surya kewalahan. Oh my God, I need a counselor!

Diraihnya lembut sang istri. Dipeluk dan belai mesra.

“Sayang, mas menikahi kamu karena mas cinta sama kamu. Mas malah makin sayang dan cinta sama kamu sayang, dan ga sabar menanti kelahiran bayi kita. Kamu harus percaya sama mas, dan tolong, beri yang terbaik untuk baby kita… mas mohon. Jangan marah-marah… mas ingin baby kita jadi anak yang tenang, sabar dan cerdas. Be a good mom ya sayang…”

Diciumnya istrinya yang mulai tenang. Surya menghela napas diam-diam. Lelah sebenarnya batinnya, mengingat periodic kejadian seperti ini semakin singkat waktunya. Perulangannya semakin sering saja. Huft.

Tak sabar dia ingin segera barada di ruangan kantornya yang nyaman.
Pekerjaan kantor yang banyak, ditambah sikap Wani benar-benar membuatnya jenuh. Lelah. Maka hanya curhat pada sahabat serta chatting dengan Maya adalah pelariannya. Keakrabannya dengan Maya semakin terjalin sejak tabir itu tersingkap. Tak dapat dipungkiri, pada Maya, ada dua darah dagingnya yang merindukan kasih sayangnya. Yang membuatnya semakin sering berkomunikasi dengan mantan kekasihnya itu. Situasi Maya yang kini menjadi single parent sejak sang suami berpaling, membuatnya prihatin. Terlebih prihatin lagi, karena ayah si kembar sebenarnya adalah bukan si lelaki yang berpaling itu, tapi dirinya. Yang seharusnya bertanggung jawab meringankan beban Maya selaku single parent. Yang berjuang keras membiayai si kembar. Terlebih Ardo, yang lemah dan sering sekali sakit. Prihatin sekali hatinya memikirkan hal ini. Andai berita tentang si kembar lebih dahulu terungkap, dia tak perlu susah-susah mencari calon istri dan menikahinya (Wani). Tentu akan lebih ringkas dan bijaksana menikahi Maya, yang telah melahirkan darah dagingnya. Tapi siapa yang bisa menebak situasi seperti ini? Huft. Pusing kepalanya jadinya.

Apalagi ketika tadi Maya bercerita via telephone, bahwa Ardo kambuh lagi tadi malam, dan Maya berkeinginan untuk membawa putranya itu berobat ke Penang. Ingin rasanya dia menyertai mereka kesana, untuk memastikan semuanya akan baik-baik saja. Kasian Maya, pasti akan sangat sulit jika harus seorang diri disana. Ardi akan ditinggal di Medan karena juga harus terus bersekolah.

Surya sedang memutar otak mencari alasan yang akan diutarakan pada Wani, untuk bisa berangkat ke Penang, ketika matanya menangkap Alaika is online di layar laptopnya.
Ditangkapnya segera. Biasanya wanita yang satu ini selalu mampu melapangkan hatinya, mencerahkan pikirannya yang sedang mendung tingkat tinggi.

“Dik… can I catch u, please?” ditunggunya sejenak. Belum ada tanda-tanda Alaika is typing a message dari seberang. Ditunggunya dengan sabar. Mencoba mengingat-ingat kebiasaan sahabatnya yang satu ini. Walau belum pernah ketemu secara langsung, tapi banyak kebiasaan wanita yang satu ini diketahuinya. Semisal menghidupkan laptop, semua diset sign in automatic, dan yang punya laptop wara wiri ke tempat lain. Mengambil ini dan itu. Laptop ditinggal mengaktifkan diri sendiri…

Benar saja, beberapa menit kemudian,

“Hai mas….. maaf, aku baru sampe dari meeting di luar, nih baru nyalain laptop, seperti biasa, aku nyalain dan tinggal ke toilet. Kok mau tangkap aku? Emang aku salah apa mas? J

Tak sanggup dia membalas canda ini. Sebuah icon murung ditampilkannya. L

“Ok mas, whats up? Semuanya baik-baik aja kan? Ardo sehat?”

“Ga dik… Ardo semakin sering sakit. Jantungnya sering kambuh… Maya berencana membawa Ardo ke Penang…”

Icon murung dikirim Alaika untuknya. Ditunggunya Alaika is typing a message itu selesai, tak sabar ingin membaca pesan apa yang terhantar begitu tombol enter di hit.

“Perawatan dan pengobatan disana memang lebih baik daripada disini mas… terus dengan siapa Maya akan kesana? Pasti mas risau ya? Ingin mendampingi tapi Wani juga sedang butuh mas?”

“Iyaaaa…”

“Aku bingung harus ngomong apa ke Wani dik.”

“Gimana kalo berterus terang?” Ide spontan yang membuat Surya melonjak.

“What? It sounds crazy dik. Mana mungkin. Bisa lahir sebelum waktunya nanti anak mas!”

Eh Alaika malah tertawa, icon ngakak pun dikirim, tak tanggung-tanggung, 6 icons. Surya ikutan geli. Dia tau Alaika hanya bercanda. Pikirannya jauh lebih waras darinya malah, dia yakin itu.

“Gila kamu dik. Ayo donk, kasih saran… mas nyesal ga ngawinin kamu. Kalo kamu terima mas waktu itu, tentu masalah ga serumit ini. Kamu pasti akan terima Deny, Alif dan Bella dengan suka cita, dan pasti akan menyayangi mereka….”

“Hush… ga baik ngomong begitu mas. Kita ga jodoh. Buktinya, aku malah kawin dengan masku kan? Ga denganmu, hehe….aku hanya sayang padamu, tidak cinta, ingat itu mas... Aku anggap mas sebagai sahabat, dan klien, cukup donk itu? Ayo mas, ga baik menyesali langkah yang telah diambil.”

“Kamu itu bijaksana banget dik. Harusnya aku mengawini kamu!” eh malah ngeyel. Emang laki-laki ya… sukanya begitu kali ya?

“Udah… yuk balik ke topic. Jadi mas ingin bagaimana? What will you do?”

“Dik, aku bingung banget nih. Aku ingin banget dampingi Ardo. Memberinya semangat agar bertahan dan kuat melawan penyakit yang menggerogotinya… tapi bagaimana caranya?”

“Mas, kalo mas memang ingin dampingi, aku rasa gampang saja. Dengan kapasitasmu sebagai kepala cabang, tentu mas wajar-wajar saja menghadiri rapat di Penang… atau kunjungan dinas kek…. Aku rasa justru Wani harus tau mas ke Penang, karena jika mas mengaku tugas hanya keluar kota, handphonemu ga bisa bohong lho. Menggunakan nomor Indo di sana, jelas akan kena roaming, dan mahal banget. Mending jujur aja tentang keberadaan mas, ya tentu ga perlu bilang menemani Ardo donk…., what do you think?”

Surya langsung setuju. Sebenarnya jalan keluarnya simple, so simple, tapi otaknya yang kalut tak mampu lagi melihat celah jalan keluar. Apalagi karena pertengkaran dengan Wani yang terjadi setiap pagi, sudah seperti kebiasaan dan kebutuhan bagi istrinya itu, sungguh membuat dirinya hampir gila.  Maka saran Alaika dilahapnya mentah-mentah. Segera dia hubungi Maya, membicarakan kemungkinan untuk terbang segera membawa Ardy ke Island Hospital, Penang.

Wani boleh saja marah dan mengamuk, tapi ini menyangkut kesehatan Ardo, darah dagingnya. Rasa berdosa telah menelantarkan kedua darah dagingnya itu tertanam begitu dalam, membuat rasa berdosa ini berhasil mengkontaminasi seluruh rasa lainnya, menghunjamnya, dan membalikkan rasa itu menjadi sebuah rasa ingin menebus kesalahan yang kian menjadi-jadi. Ya, tak ingin dilewatkannya kesempatan ini, memberikan kasih sayang bagi putranya yang lemah digerogoti penyakit. Yang kuat ya nak, batinnya.


~ BERSAMBUNG ~



Kamis, 08 Maret 2012

DONGENG KEHIDUPAN I


Hujan masih terus mengguyur bumi. Deras, sejak pagi tadi. Angka digital di sudut kanan bawah monitor laptopnya sudah menunjukkan angka 12.05 wib. Lunch time 5 menit sudah berlalu. Dan only 55 minutes more left. Surya menatap sekeliling, tak satupun koleganya yang beranjak. Enggan menantang hujan yang garang menyirami dunia.
Iseng jemarinya men-double click salah satu teman yang akhir-akhir ini hampir setiap hari saling terkoneksi.

Antonie: alow sayang, gi ngapain? Dah lunch?

Ditatapnya layar menanti if there is a …. Maya is typing a message. Satu menit, tak juga tulisan itu muncul.
Di buzz nya, plus icon smile.
Yes. Maya is typing a message muncul di layar.

Maya: ni sapa? Teman mama ya? Mama lagi di toilet.

Wah, anaknya? Tapi Maya ga pernah cerita kalo dia punya anak…, tapi dia juga ga pernah nanya detailnya sih. Jadi bukan salah Maya lah.

Antonie: Nie anaknya mama ya? Kenalan donk… namanya siapa?"

Maya: "Iya…, anak mama. Om Antonie ya?"

Antonie: "lho kok tau nama Om Antonie? Nama kamu siapa?"

Maya: "ya tau lah, kan keliatan di ym nya…, nama aku ardyan. Om tinggal dimana? Kok Ardy ga kenal?"

Antonie: "Om di Jakarta, iya, Om teman lama mama kamu. Udah lama banget Om ga ketemu sama mama kamu. Umur kamu berapa? Punya adik? Kakak?"

Maya: "o, pantesan aku ga pernah ketemu Om, umur aku 8 tahun, aq punya adik kembar, namanya Ardo, kami cuma berdua, belum punya adik Om. Habis papa juga udah pergi sih… ninggalin kami untuk pacar barunya…"



Deg! Jantung Surya bagai tertohok. Anak umur 8 tahun sudah mulai mengenal dan tahu arti perpisahan dan perselingkuhan… Tuhan… kasihan. Tapi Maya tak pernah bercerita tentang dua makhluk mungil ini. Tak pernah cerita bahwa dia punya anak. Kembar pula…


Pertemuan terakhir dengan Maya via email kira-kira setahun yang lalu, saat dirinya masih menduda dan Maya masih dengan suaminya, kemudian keduanya terputus oleh kesibukan masing-masing hingga sebulan lalu situs pertemanan fesbuk mempertemukan mereka kembali. Dengan info terbaru dari Maya bahwa dirinya diselingkuhi. Setelah itu hampir setiap hari mereka terkoneksi, dan tak dapat dipungkiri masa-masa indah yang terkubur nun jauh di relung terdalam sisi hati, kini mulai terungkit kembali. Binar-binar indah terkadang lupa diredam hingga memendar dan memancarkan sumringah di keduanya. Namun Maya kini jauh lebih dewasa, tau diri dan tak ingin mengganggu kehidupan rumah tangga orang lain. Apalagi tau Surya baru saja menikah lagi dan sang istri sedang hamil muda.

Sebagai wanita masa lalu yang sempat punya arti dalam kehidupan Surya, tentu saja membuatnya sulit untuk dilenyapkan dari ingatan. Walau telah pernah kesepakatan keduanya untuk saling mengubur dalam-dalam indahnya pelangi kehidupan mereka, namun kini harus diakui, sulit sekali menekan bayangan keindahan masa lalu yang nakal menyeruak ke permukaan itu.

Hari ini, tak seperti biasanya BB Maya dipegang oleh orang lain, yang ternyata adalah anaknya. Dan sungguh diluar dugaan, sianak adalah kembar dan berumur 8 tahun. Wait..8 tahun? 8 tahun? Come on… Delapan tahun yang lalu, bukan delapan tahun, tapi sembilan tepatnya adalah kisah saat keduanya sepakat untuk mengakhiri hubungan cinta kasih mereka dan sepakat pula untuk mengakhiri denyut kehidupan seorang calon manusia yang sedang bertumbuh di dalam rahim Maya. Ya. Itu adalah sembilan tahun yang lalu. Sembilan tahun yang lalu dirinya berangkat ke Amerika, melanjutkan studi meraih S2, yang oleh karenanya membuat dirinya harus mengesampingkan rasa tanggung jawab terhadap buah dari apa yang telah mereka tanam.
Sampai pada analisa ini, Surya merasa degup jantungnya berpacu lebih kencang. Ada desir aneh mengalir di relung hatinya. Tuhan…. Tunjukkan kebenaranMU hari ini…, benarkah bisikan yang mengalir di hati ini? Bahwa si kembar ini adalah anakku?

Bunyi buzz di layar monitornya membuat perhatiannya tersita kembali ke layar.

Ditunggunya Maya is typing a message mengantarkan message untuknya. Dan ini dia,

Maya: Hai mas, masih disana? Ngobrol dengan anakku yach? :-) Ardy ga nakal kan?

Antonie: "Hai sayang, lama banget di toiletnya. Kamu baik-baik aja kan?"

Maya: "ah, ga pa2 kok mas, I m fine kok. Hanya sedang ga kerja nih, cuti, anakku Ardo sakit. Harus dirawat di rumah sakit.
Deg!! Jantung Surya berdetak kencang. Sejak analisa tadi, perasaan seorang ayah di dirinya bergema nyaring, seolah dia merasa yakin sekali bahwa si kembar itu adalah darah dagingnya. Sakit? Oh Tuhan, sakit apa sampai harus dirawat dirumah sakit?"


Antonie: "sakit apa May? Di rumah sakit mana?"

Maya: "Ardo memang sering sakit mas, daya tahannya tak sekuat Ardi, dokter sih mengatakan ada kelemahan di jantungnya, tadi pagi, tiba-tiba saja saat sedang upacara bendera, pingsan, untung segera dibawa ke rumah sakit."


Tuhan… selamatkan Ardo, iya atau bukan dia sebagai anak hamba, selamatkan dia ya Tuhan… pintanya penuh harap.
"Antonie: rumah sakit mana May?"

Maya: "RS. Gleni."

Antonie: "oke, mudah-2an cepat sembuh ya May, bagaimana keadaannya sekarang?"

Maya: "Thx mas. Udah jauh lebih baik kok. Ga pa2, mungkin dalam dua hari lagi udah boleh pulang kok. Thx for your attention. Mas, dokternya masuk nih, aq pamit dulu yach.."

Antonie: "Ok may, keep me inform ya, wishing him all the best. Salam untuk keduanya. Nanti aq boleh ngobrol lagi dengan kamu kan?"

Maya: "Pasti mas. Thx".


Setelahnya, Surya tenggelam dalam campuran aneka rasa. Resah, kuatir, melo dan bingung. Tak secuilpun rasa bahagia disana. Tuhan…. Tunjukkan kebenaranMu. Benarkah mereka darah dagingku? Tapi dia ingat sekali saat Maya memintanya uang untuk aborsi, dan dia memberikannya sejumlah dana untuk itu. Mungkinkah kemudian Maya malah mengubah keputusan itu dan melanjutkan kehamilannya? Tak ada berita tentang Maya lagi, bukan hanya karena dirinya jauh di negeri orang, tapi juga karena kemudian Maya memutuskan untuk pindah ke Sumatera Utara. Disanalah kini dia menjalani kehidupannya, tanpa seorangpun dari sahabat masa lalu mereka yang punya berita terkini tentangnya.

Surya tak sanggup terlalu lama dihinggapi rasa prihatin dan penasaran. Namun tak masuk akal bagi istrinya jika dia harus mengatakan bahwa dia ditugaskan kantornya untuk ke Medan sore itu juga. Langkah paling aman adalah berangkat besok pagi.
Bandara Polonia, penuh sesak bukan hanya oleh para penumpang, pengunjung, supir taksi, pedagang dan orang-orang terkait lainnya, tapi juga sesak oleh suara dan bahasa khas Medan (logat Batak) yang cukup dikenal orang.

Sebuah taksi mengantarkannya langsung ke RS. Gleni, dan setelah mendapatkan info dari pusat informasi, di sinilah kini dia berada. Di sebuah kamar dengan seorang bocah 8 tahun terbaring sebagai pasiennya. Di atas sprei putih khas rumah sakit. Maya sungguh terkaget dan setengah shock mendapati Surya telah berdiri tegak di depan pintu saat dia membukanya tadi. Sungguh diluar dugaan. Allah, inikah kontak batin antara ayah dan anaknya? Hatinya menangis…Haru, pilu.
Maya merasakan tenggorokannya perih, terluka, menahan isak tangis yang hendak pecah. Belum sepatahpun kata yang meluncur dari mulutnya sejak kedatangan Surya tadi, dan dia yakin, tak perlu penjelasan dari bibirnya, karena sepertinya Surya sudah dapat menemukan kebenaran yang telah delapan tahun dicobanya untuk selubungi.

Ardyan yang setia disamping tempat tidur adiknya, menatap Surya sopan. Ramah. Disalaminya tangan Surya santun. Airmata Maya jatuh menitik, menyaksikan kebenaran itu. Ya, hanya dia yang tau pasti kenyataan yang sebenar-benarnya. Bahwa laki-laki ini lah ayah biologis kedua putra kembarnya. Yang telah memberinya uang delapan tahun lalu untuk biaya aborsi janin yang sedang bertumbuh di rahimnya (yang ternyata adalah dua anak kembar ini). Yang oleh lidah lembut dokter yang didesaknya untuk menolongnya aborsi, malah mampu membuka mata hatinya, bahwa adalah lebih baik meneruskan kehamilan itu, memberikan mereka hak hakikinya untuk menghirup udara bumi. Apalagi mengingat usia kehamilan itu juga sudah riskan untuk diaborsi. Jadilah dirinya nekad melanjutkan kehamilan dan memutuskan untuk membuang diri jauh ke rantau orang.

Ardo masih terbaring lemah, tapi kondisinya sudah jauh lebih baik. Tak ada lagi alat bantu medis yang melekat di tubuh maupun pernapasannya, senyum sopan itu terpancar tulus menyambut Surya. Terlebih saat tangan kanan Surya membelai lembut kepala Ardo.

“Apa kabar nak?”, parau suara itu.

Lagi, Maya menitikkan airmata. Tak perlu penjelasan sama sekali, tapi semua sepertinya paham benar peranan yang harus mereka lakonkan. Tuhan, ini panggung sandiwaraMu. Harus seperti apa endingnya?

Suasana saat itu benar-benar hening, baik Maya maupun Surya sama-sama merasa tercekat tenggorokannya, sementara kedua bocah tampan itu tak menyadari cerita yang sesungguhnya. Hanya saja seperti ada nuansa lain, kedekatan yang begitu mengayomi, dari laki-laki yang baru hadir ini.

“Baik Om. Om siapa?”
“Ini teman mama sayang, udah lama banget ga ketemu, ya kan Om Surya?” Maya menjelaskan segera.
“Iya, Om Surya, teman mama waktu di Jakarta dulu, Ardy apa kabar? Ingatkan kita chat kemarin? Yang mama sedang ke toilet?”

Senyum ramah terkembang di bibir keduanya, mengangguk.

“Jadi Om baru dari Jakarta? Sedang tugas ya Om?” Ardy yang melanjutkan.

“Iya, Om langsung dari Jakarta, khusus menjenguk kalian kok.” Jujur jawabnya.

“Wah, teman mama baik banget ma, jauh-jauh mau nengokin kita. Makasih ya Om!”

Ardo yang berkomentar. Suaranya masih lemah, tapi jauh lebih bersemangat.

Maya hanya mengangguk-angguk, berusaha meredam rasa mello yang menyeruak, hatinya ingin sekali menangis, tapi putra kembarnya tak boleh melihat kepedihan itu. Surya menatapnya penuh simpati, meneduhkan. Ingin sebenarnya dia menyeret wanita itu keluar ruangan, sejenak saja, untuk sebuah kalimat yang jelas tergambar di bola matanya. ‘Mereka anak-anakku kan?’
Tapi tak mungkin melakukan itu melihat bocah-bocah manis itu masih diam-diam memperhatikannya. Hidup, betapa anehnya kehidupan ini. Oh Tuhan. Tak sabar hamba untuk menyingkap kebenaran ini. Tak sanggup lagi menahan rasa, sms menjadi media komunikasi.

‘Tell me dear, Ardy and Ardo are my sons, aren’t they?’
Muncul di layar BB Maya. Tak pelak lagi, Maya sudah tak ingin menghindar lagi, tak ingin menambah penat dan lelahnya memendam sebuah rahasia besar itu semakin lama lagi. Maka ‘Yes mas, they are yours, sorry to cancel the abortion, they have right to survive. Used ur money for their milk’ muncul di layar BB Surya.

Cukup sudah bagi Surya. Walau sudah berada dalam dugaan, dan 80 persen keyakinannya dugaannya benar, namun tetap saja kebenaran ini membuahkan rasa takjub luarbiasa dalam dirinya. Oh Tuhan, sungguh hidupku bagaikan cerita sinetron. Bagaikan kisah dongeng. Tapi kini cerita itu adalah milik hamba ya Tuhan. Milik ku dan Maya. Oh Tuhan. Tak mampu dia berkomentar. Tak ingin dia menjawab sms Maya. Ditatapnya kedua bocah itu penuh kasih. Kini, dihadapannya, adalah dua lagi darah dagingnya. Total dia memiliki 5 anak. 3 dari perkawinan terdahulu, dua dari Maya, dan beberapa bulan kedepan, satu lagi dari Wani, istrinya kini. But how to present them (the twins) to Wani? And Others? Will their accept them? Kalo dirinya, sudah jelas, dia merasakan kasih sayang besarnya menjelma sudah untuk keduanya. Tak akan dia bedakan mereka dengan anak-anaknya yang lain. Tapi masalahnya adalah, bagaimana caranya memperkenalkan/membawa mereka dalam kehidupannya.

Sebuah sms lagi muncul di layar hpnya. ‘saya mohon, mas tidak masuk dalam kehidupan mereka, setidaknya saat ini, sulit untuk menjelaskan siapa dirimu mas, mengapa baru sekarang muncul, dan sebagainya. Saya tidak ingin mereka menilai negative dirimu. How ever, u r their daddy. They have to pay respect on you. Makanya masuk ke kehidupan mereka tidak sebagai ayah, please. I promise that one day, I will tell them the truth.’

Tuhan…. Semua ini terasa bagai dongeng dalam kehidupan hamba. Tunjuki hamba jalan keluar yang baik ya Allah. Beri kami petunjukMu. Lindungi kami dan tuntunlah kami di jalanMU. Amien.
Hanya itu yang mampu dipanjatkan Surya, tak ada lagi kata yang mampu mewakili hiruk pikuk perasaannya, campur aduk rasa hati yang bergolak di dada, dan haru birunya kesedihan yang dirasakannya. Ada kebahagiaan menemukan kembali buah perbuatan masa lalu yang sempat diduganya telah sirna secara paksa, namun ternyata di hadapannya kini keduanya. Walau tak mungkin merengkuh ketiganya, karena Wani jelas telah menjadi pembatas keleluasaannya, namun dia bersyukur, Maya telah memberikannya sebuah kejutan diluar dugaan. Subhanallah.



BERSAMBUNG kesini (tamat)


Bawa Aku Pulang!

credit Aku punya rancangan khusus untukmu,  aku yakin kamu pasti akan suka deh. Aku kangen banget sama kamu Shin! Jangan lupa lho, beso...