Rumah Fiksi Alaika Abdullah
  • Home
  • Download
  • Social
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Contact Us
credit
"Ngga, apa ga bisa difikirkan lagi nak? Mau apa   kamu ke Cairo ? Papamu bagaimana? Kamu baru saja mulai membantunya di perusahaan kita? Apa kamu ada konflik dengan Papa?"

Wanita itu tak habis pikir mengapa putra pertamanya itu nekad untuk hengkang hingga keluar negeri, ke Cairo pula. Tanpa woro-woro terlebih dahulu pada dirinya dan suaminya, selaku orang tua Angga.

"Ma, Angga enggak punya konflik dengan Papa, hanya Angga menemukan bahwa ternyata passion Angga bukan di bidang itu Ma. Angga kurang tertarik untuk bekerja di perusahaan Papa. Angga ingin mandiri. Ingin lepas dari bayang-bayang Papa."

Dialog panjang itu tak mampu mengendurkan kekukuhan pendirian Angga. Tak peduli akan diijinkan atau tidak, dia tetap akan melanjutkan niatnya. Hijrah ke Cairo, dimana beberapa temannya telah menanti, menyediakan tempat baginya, dan mencoba memulai hidup barunya di sana.

"Angga, apa Mama dan Papa punya salah sama kamu nak? Bicarakan baik-baik, jangan main pergi seperti ini? Dan juga, Papamu belum tau tentang hal ini. Hargai Papamu, bicarakan dulu dengannya. Ada apa sih Ngga, kok kamu ngeyel banget?"

Angga hanya bisa mengurut dada. Jauh di lubuk hatinya, dia masih sangat ingin tinggal bersama keluarganya. Tidak ada konflik sama sekali yang mengharuskan dirinya angkat kaki dari rumah di mana dia telah menghabiskan masa kanak-kanaknya hingga masa kini. Namun, dia harus segera pergi. Hanya ini satu-satunya jalan untuk menyembuhkan diri. Berita yang disaksikannya di televisi tadi, sungguh membuatnya takut. Tidak, dia tidak ingin mengalami kejadian seperti itu. Jangan Tuhan, selamatkan hamba, sembuhkan hamba, batinnya.

Ibunya masih berwajah duka. Mencoba terus membujuknya namun tak berhasil membuka mulut putranya itu untuk sebuah alasan akurat. Juga sang ayah, yang begitu heran dengan keputusan mengejutkan yang disampaikan putra pertama, penerus perusahaan keluarga ini.

"Pa, Angga sama sekali ga punya masalah dengan Mama-Papa, dengan Fira mau pun Ardi. Hanya saja Angga ingin belajar mandiri. Passion Angga bukan di perusahaan Papa, Angga ingin berusaha di bidang yang Angga minati."

Kalimatnya terdengar tegas, tak ingin dibantah, hingga akhirnya sang ayah tak sanggup lagi menahan diri.

"Ok, Papa enggak melarang kamu belajar hidup mandiri Ngga, apalagi kamu sudah besar, sudah dewasa, kamu punya hak untuk memutuskan langkah kehidupanmu sendiri. Silahkan?"

Tajam suara itu namun nada kesedihan terdengar nyata. Terselip kekecewaan tiada tara di balik nada tajamnya. Angga sungguh merasa batinnya tersayat. Di satu sisi, dia begitu ingin memenuhi harapan ayah ibunya. Namun di sisi lainnya, dia harus menyembuhkan dirinya sendiri. Ini sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Penyakit ini semakin membuatnya terluka dan was-was. Apalagi berita tadi siang di televisi, sungguh membuat nyalinya ciut. Malam harinya, setelah memastikan luggagenya telah dipacking sempurna, diputuskannya untuk menyalakan laptopnya. Sebuah email yang akan dia set untuk terkirim besok pagi pun dia persiapkan.


Ke haribaan Mama dan Papa,

Assalammualaikum Wr. Wb,
Maafkan Angga, yang tak berhasil menjadi anak kebanggaan Mama-Papa, seperti yang Mama-Papa idamkan selama ini. Angga minta maaf yang sebesar-besarnya, karena telah menjadi anak 'sakit jiwa' dengan hati yang tersesat. 

Ma, Pa, tak cukup keberanian Angga untuk berterus terang pada Mama-Papa. Angga malu dan takut. Angga sudah berusaha keras untuk meredam rasa ini Ma, Pa. Tapi Angga tak mampu. Rasa ini begitu aneh, liar dan jelas nyeleneh. Angga tau ini terlarang, dan terkutuk. Namun Angga tak kuasa meredamnya. 

Angga sudah browsing di internet, mencari tau apa hanya Angga yang mengalami hal ini? Ternyata tidak Ma, Pa. Kelainan/penyakit terkutuk ini menghinggapi 15 persen penduduk dunia. Mencintai saudara kandungnya sendiri secara seksual! Dan penyakit itu kini menghinggapi anak Mama-Papa ini. Ampuni Angga Ma, Pa, yang sudah bikin Mama-Papa kecewa. Angga sudah berusaha meredam rasa ini, Angga berusaha merubah kasih sayang dan cinta Angga terhadap Fira, layaknya cinta dan kasih seorang kakak terhadap adiknya. Namun Angga tidak berhasil Ma, Pa. Menjadi pengawal Fira kesana kemari selama bertahun-tahun, membuat kedekatan itu, kasih sayang itu, berangsur berubah arah. Dua tahun sudah Angga berperang melawan rasa ini, berusaha keras mengembalikannya pada jalur yang benar, namun Angga belum mampu. Sisi buruk hati Angga sangat mencintai Fira, dan ingin sekali menjadikannya sebagai kekasih. Dan Angga tau persis itu adalah SALAH dan TERLARANG.

Kemarin sore, Angga melihat berita di TV, tentang seorang adik yang dibunuh oleh kakak kandungnya karena si adik menolak cinta si kakak. Ya Allah, betapa menjijikkan kenyataan itu. Dan Angga jadi takut sendiri. Angga harus menjauh dari Fira Ma, Pa. Ijinkan Angga pergi, mencoba menyembuhkan diri Angga. Doakan Angga. Angga ingin menjadi anak kebanggaan Mama-Papa, as always.

Pesan Angga, jangan ciptakan kebersamaan antara Ardi dan Fira BERLEBIHAN, karena begitulah awal kisah ini terjadi. Tidak, Angga tidak menyalahkan Mama-Papa. Tidak ada yang patut disalahkan dalam hal ini. Doakan Angga ya Ma, Pa. Semoga di negeri baru nanti, Angga bisa mengubah rasa nyeleneh ini menjadi rasa yang seharusnya untuk Fira. Angga cinta dan sayang banget pada Mama-Papa, Fira dan Ardi.

Wassalam ananda,
Angga Ryanto.


Written by Alaika Abdullah
Inspired from  kata kunci 'cinta terlarang'
Bandung, 7 Maret 2013



gambar dikirim oleh seorang teman ke wall fb penulis
Dua orang itu terpana menatapku. Aku juga tak kalah heran. Ini orang, udah ngebunyiin bel dan dibukain pintu kok malah bengong ya?

"Maaf Pak, mencari siapa ya?" Akhirnya kuputuskan untuk memecah situasi vakum yang membingungkan itu. Si bapak sambil masih meletakkan tangan kanannya di atas bahu anak perempuan usia ABG itu, menyunggingkan senyuman.

"Assalammualaikum nak. Maaf jika kami mengganggu... hm.... apa ibu pemilik rumah ini masih tinggal disini?"
Sungguh sebuah pertanyaan yang aneh, yang diucapkan dalam bahasa Indonesia berlogat Aceh yang begitu kental.

"Hm... maksud bapak? Ibu yang mana ya?"
Jawabku balik bertanya, menggunakan bahasa Aceh agar si Bapak gampang berkomunikasi. Namun aku meningkatkan status kesiagaan. Siaga I. Secara akhir-akhir ini kan banyak sekali penipuan. Aku mulai menjaga jarak, jangan-jangan tukang gendam or hipnotis deh ini. Hiii, serem. Tapi menatap wajahnya yang terkesan ndeso itu, gaya bahasanya serta putrinya yang lugu itu, keping hatiku meredam prasangka buruk itu berkembang jauh.

"Maaf nak, bapak tidak tau persis siapa nama ibu itu, karena juga belum pernah ketemu, anak bapak ini... delapan tahun yang lalu, selamat di teras rumah ini dari hempasan gelombang tsunami. Dan dirawat dengan baik oleh ibu pemilik rumah ini sampai akhirnya dijemput oleh tim penyelamat."

Penjelasan itu serta merta membuat aku sungguh merasa bersalah atas prasangka jelek yang telah terlanjur tercipta tadi. Oalah, Astargfirullah ya Allah..., aku langsung teringat cerita ibuku, bahwa di teras lantai dua rumah kami ini, dulu sempat selamat 10 orang yang terbawa oleh gelombang tsunami.

"Sebentar ya Pak, mari masuk dulu... saya panggil ibu saya."

Kupersilahkan keduanya masuk, dengan hormat seraya menyalahkan hatiku yang syakwasangka tadi.

"Ma, mama... ada tamu nih ma..." Aku berseru, masih enggan meninggalkan kedua tamu yang kini telah duduk di sofa ruang tamu. Bukan apa-apa, di jaman sekarang ini, waspada kan harus ya?

"Iya, sebentar." Suara ibuku terdengar lembut, seperti biasanya. Ga lama, wanita enam puluhan tahun itu pun muncul.

"Ayah... benar ini neneknya...!"

Si anak perempuan itu berseru kegirangan, seraya bangkit menyerbu ibuku. Disalaminya ibuku seraya memeluk beliau erat. Kesan kaget terlihat nyata di wajah ibuku, apalagi dia belum bisa melihat wajah si anak perempuan itu, yang terus saja memeluknya erat.

Si bapak tua bangkit, menyalami ibuku yang masih saja dipeluk erat oleh anak perempuan tadi. Barulah kemudian si anak melepaskan pelukannya ketika tangan ayahnya menggapainya lembut. Ibuku masih terlihat kaget, juga sepertinya daya ingatnya belum mampu untuk mengingat si anak perempuan yang memanggilnya nenek itu.

"Ibu, saya ayahnya Siti, dan Siti adalah anak yang sempat diselamatkan tiang teras rumah ibu waktu tsunami dahalu. Kami tinggal di Tibang bu, dan waktu itu saya sedang melaut, Siti dan ibunya di rumah ketika tsunami datang. Siti hanyut hingga kesini dan menggapai tiang teras rumah ibu untuk menyelamatkan diri."

Kini wajah ibuku terlihat sangat mengerti. Dengan sempurna kini memorynya memaparkan tentang Siti. Anak yang kala itu usia delapan tahunan, ditemukannya sedang menggigil, terbaring di lantai teras atas rumah ini. Tak hanya menggigil, tapi anak itu terkena diare hingga pakaian dalamnya terkena kotorannya sendiri. Mengigau memanggil ibu dan ayahnya.

Suasana memang sangat mencekam kala itu. Tsunami baru saja melanda, merampas nyawa-nyawa manusia dan hewan ternak, serta meremukkan apa saja yang menghadang di hadapannya. Ibuku sendiri, kala itu malah memutuskan untuk lari meninggalkan rumah, bersama ayahku, yang memilih untuk menyelamatkan diri di Musholla berlantai dua, tak jauh dari rumah. Dan disanalah mereka berdua serta warga lainnya selamat dari hantaman gelombang.

Dan saat mereka telah aman dan kembali ke rumah yang telah porak poranda lantai bawahnya, penuh lumpur dan banyak ikan yang terkapar tewas, ayah dan ibuku menemukan ada 10 survivor di lantai atas rumah kami. Kesepuluh orang yang selamat itu, dalam deritanya masing-masing. Ada seorang ibu yang sedang hamil tua, terbaring lemah sama sekali tak mampu bergerak. Ada anak balita umur 2 tahun yang sedang menangis dan ditenangkan oleh seorang pemuda yang adalah bukan kerabatnya. Ada bapak tua yang kakinya patah. Ada juga si anak ini, Siti, yang dibaringkan di lantai teras, karena masih mengucurkan kotoran akibat diare.

Kedatangan ibu dan ayahku selaku pemilik rumah, menambah perasaan senasib sepenanggungan dengan kesepuluh survivor itu. Dari semua yang ada disitu, hanya ibuku yang staminanya masih prima, karena hanya beliau yang tak tersentuh gelombang, sementara ayahku sendiri, sempat terombang ambing dihanyutkan gelombang, hingga kemudian beliau tersangkut di atas sebatang pohon kuda-kuda sebagai tangan Tuhan, penyelamat hidupnya.

Jadilah malam itu, yang gelap gulita dan hanya diterangi cahaya lilin yang memang tersedia di lantai atas itu, ibuku bertindak sebagai perawat. Terutama bagi Siti yang menggigil dan terus diare, juga bagi si ibu yang hamil tua, yang juga mulai demam, juga bagi si bocah kecil dua tahun yang menangis minta susu. Malam yang menyentuh kalbu, menyayat hati dan menimbulkan kenangan tak terlupakan.

Dan kini? Siti, salah satu survivor itu, hadir di hadapan ibuku, setelah delapan tahun tragedi itu berlalu. Berlinang air mata ibuku menatapnya.

"Apa kabar kamu nak? Sehatkan? Sudah kelas berapa?" Tanya ibuku, Siti memilih duduk disampingnya.

"Alhamdulillah sehat nek. Siti udah kelas 2 SMU." Senyum hormat tersinggung di bibirnya, menjawab pertanyaan ibuku.

"Bu, kami datang untuk berterima kasih pada ibu. Allah menyelamatkan anak saya melalui rumah ibu, dan terima kasih banyak, ibu sudah merawat Siti malam itu dengan sangat baik. Sebenarnya kami sudah lama ingin kesini, tapi karena kami tidak lagi tinggal di Banda, dan saya selalu melaut, jadi ga sempat turun kesini bu."

Si ayah yang berbicara. Aku sungguh terharu mendengarnya. Kuyakin ibuku pun memiliki perasaan serupa. Sungguh kehadiran mereka sama sekali tak pernah kami duga. Bahkan tak pernah kami kira jika kemudian salah satu dari the survivor akan kembali ke rumah ini, untuk berterima kasih pada ibuku. Subhanallah.

"Subhanallah... Alhamdulillah pak, saya sungguh gembira bisa bertemu lagi dengan Siti. Sungguh sama sekali tidak menyangka akan bertemu kamu lagi nak. Nenek senang sekali mendapat kunjungan kamu dan Bapak. Oh ya, bagaimana halnya dengan ibu Siti pak?" Tanya ibuku kemudian.

"Hm.... sayangnya, Ibunya Siti tidak selamat Bu, kami menemukan jenazahnya di kampung sebelah. Gelombang membawanya hanyut sampai kesana." Lirih suara itu.

"Innalillahi Wa Innailaihi Rajiun." Aku dan ibuku serempak melafazdkan kalimat itu.

"Dan sekarang Bapak dan Siti tinggal dimana Pak?" Tanya ibuku lagi.

"Kami di Aceh Selatan sekarang Bu, makanya jarang sekali turun ke Banda Aceh. Dan ini juga karena Siti telah menabung sekian lama, katanya uang tabungannya ingin dipakai untuk mengunjungi Ibu dan melihat rumah ini."

Masyaallah. Sungguh tersentak dan terharu hatiku. Juga aku yakin ibuku merasakan hal serupa. Seorang anak muda, anak seorang nelayan, yang mungkin untuk mencukupi kehidupan mereka sendiri pun sulit, tapi bertekad kuat untuk kembali ke rumah ini, untuk bertemu dengan pemilik rumah yang telah merawatnya kala itu. Subhanallah ya Allah, masih ada anak muda yang seperti ini, yang selalu mengingat jasa orang lain.

Ibuku terlihat begitu terharu dan sulit untuk berkomentar. Hingga kemudian suara lembutnya berujar,

"Aduh Siti, kenapa harus repot-repot kesini nak... Asal Siti dan Bapak sehat, kami sudah cukup bahagia. Terus di Banda tinggal dimana pak? Kapan datang?"

"Kami baru sampai bu, langsung kesini, itu pun meraba-raba dulu, karena Siti ga begitu ingat lagi. Yang dia ingat adalah dekat kantor Brimob, jadi bayangan saya, adalah disini. Cuma Siti juga ga ingat sama sekali nomor rumah ini, jadi hanya mengandalkan daya ingatnya saja."

"Iya nek, Siti ingatnya tiang rumah ini. Masih sama seperti dulu." Imbuh Siti riang.

"Kami berencana untuk langsung pulang malam ini bu, karena besok saya harus melaut lagi. Hari ini sengaja prei, untuk mengantar Siti. Sudah lama sekali dia ingin kesini."

Sungguh sebuah penjelasan yang semakin membuat kami terharu.

"Pak, apa ga bisa tinggal disini barang semalam? Jangan buru-buru kembali, kan capek di dalam perjalanan tadi malam pak? Menginaplah di tempat kami nanti malam, besok baru pulang kembali..." Bujuk ibuku tulus.

"Iya pak, lagian Siti kan juga ingin jalan-jalan di Banda kan? Wong udah sampe sini kok pak, masak secepat itu kembali?" Tambahku.

"Maaf bu, nak, inginnya begitu, tapi maklum lah, saya hanya nelayan, yang mengandalkan penghidupan dari hasil melaut. Kalo banyak prei nya, nanti kami ga makan, hehe."

Jawaban yang membuat kami bungkam. Tertohok rasanya hati ini mendengar perjuangan mereka. Aku sungguh terharu.

"Iya nek, kami pulang nanti malam saja. Ayah harus melaut, dan Siti kan harus sekolah besok. Juga Siti jualan kue-kue lho nek, dititipkan di kantin sekolah." Penjelasan yang bernada riang itu, semakin membuatku terenyuh. Betapa mereka menghadapi hidup ini dengan penuh perjuangan dan ikhlas.

Dan pertemuan yang sungguh tak pernah diduga oleh ibuku, apalagi olehku itu, berakhir setelah keduanya makan siang, istirahat sejenak dan kemudian mereka pamitan, ingin mengunjungi bekas kampung halaman mereka, baru malam harinya, singgah sebentar di rumah kami, dan kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke kampung mereka yang baru.

Subhanallah... sungguh Tamu istimewa telah Engkau kirimkan kepada kami ya Allah. Bagaimanakah nasib ke 9 survivor lainnya? Wallahu Alam.




credit
Mobil yang sedang dikemudikan Fachry itu melaju kencang, sementara Dian yang duduk disampingnya ikutan melantunkan lagu yang sedang diperdengarkan oleh salah satu radio dengan hati riang. Fachry juga ikutan bersenandung, riang dan gembira. Hingga di sebuah tikungan jalan, keduanya menangkap prilaku aneh seorang pemuda seusia Fachry, yang sedang berjalan kencang seraya meloloskan satu-satunya penutup tubuh bagian bawah miliknya.

Mata keduanya terbelalak, bukan saja oleh perlakuan aneh dan nekad si pemuda, tapi karena tubuh dan wajah si pemuda itu terasa begitu familiar di hati dan mata mereka.

"Mas! Itu Indra! Indra itu mas!" Seru Dian, kaget, kendaraan yang sedang melaju kencang itu serta merta diperlambat Fachry, seraya memutar kepalanya untuk meyakinkan pemandangan yang baru saja disaksikan oleh matanya.

"Ya Allah, bener Di, itu Indra! Masyaallah, kenapa dia jadi seperti itu?"

Secepat kilat dipinggirkannya kendaraan, dan sigap keduanya turun. Mengejar si lelaki yang telah telanjang bulat dan berjalan cepat bak anak panah yang dilepas dari busur itu. Kencang sekali Indra berjalan, hingga mata Fachry dan Dian kehilangan jejak. Fachry mencoba menelefon kantor mereka, yang diterima oleh security unit, dan langsung menerima laporannya dan akan segera mengirimkan bantuan.

"Mas, kita naik mobil aja, balik arah, kencang banget si Indra jalannya, kayak dikejar setan!" Usul Dian ngos-ngosan. Selain sudah lama tak berjalan dengan cepat, jarak Indra juga sudah terentang jauh, sehingga akan mudah bagi mereka mengejarnya dengan mobil saja.

Kerumunan orang di dekat pos polisi itu memberi sinyal keberadaaan Indra. Pasti Indra yang sedang dikerumuni orang-orang itu, batin keduanya. Dan benar saja, terlihat Indra dengan wajah aneh, sedang berdiri, meronta minta dilepaskan. Dua orang polisi sedang membujuknya untuk duduk, dan mengajaknya bicara. Namun Indra berkeras minta dilepas, katanya dia ada janji dengan seorang wanita di mesjid raya, padahal dirinya adalah seorang non muslim. Ya ampun, kesurupan apa dia?

"Maaf Pak, ini teman kami, kalo boleh biar kami antar pulang saja." Ucap Dian, mendekati kedua polisi  yang langsung menarik napas lega.

"Oh, mba mengenalnya? Orang mana ini mba?"

"Namanya Indra pak, salah satu kolega kami di PT. Anugerah Alam Perkasa, di jalan M. Thamrin 26 Pak, kami sudah laporkan juga pada security unit, tentang hal ini pak, dan kebetulan kami yang paling dekat dengan lokasi, maka biar kami saja yang membawanya pulang."

Dian memperlihatkan name tag dirinya selaku staf di perusahaan yang disebutkan olehnya tadi, juga Fachry turut memperlihatkan name tagnya, membuat kedua polisi itu yakin dan dengan senang hati menyerahkan Indra pada mereka. Tak lama, sebuah Toyota Innova Silver berhenti, yang ternyata adalah dua orang security guard yang dikirim oleh kantor mereka untuk menjemput Indra.

Indra masih meronta, tak ingin masuk ke mobil dan inginnya jalan kaki saja. Katanya dia telah ditunggu di Mesjid Raya oleh seorang gadis.

"Ndra, coba lihat diri kamu, masak mau ketemu seorang gadis kamu pake sarung seperti ini? Malu donk... ayo kita pulang dulu ke rumah kamu, ganti pakaian, baru kamu ke Mesjid Raya.. yuk!" Bujuk Dian. Saat itu Indra telah dibekali selembar kain sarung oleh pemilik warung yang berada dekat pos polisi tadi.

"Tapi saya sudah ditunggu jeng!" Aneh sekali nada suara Indra. Dan panggilan Jeng itu, sungguh aneh. Indra belum pernah memanggilnya Jeng, biasanya cuma manggil Di saja. Dian menatap Fachry yang juga tak kalah herannya. Bergidik bulu kuduk Fachry menyadari pemikirannya sendiri. Jangan-jangan Indra dirasuki makhluk halus. Hiiii.

Selain itu, tubuh Indra mengeluarkan bau tak sedap yang aneh. Membuat Dian dan yang lainnya harus mengernyitkan hidung mereka berkali-kali. Akhirnya, setengah paksa, berhasil juga mereka menaikkan Indra ke dalam mobil. Di dalam mobil dia masih meronta dan meracau. Katanya gadis yang akan ditemuinya telah lama menunggu di pintu mesjid raya. Hiii.... Aneh.

Mereka tak membawa Indra pulang ke kost, melainkan melarikan Indra ke rumah sakit jiwa. Ya, Indra, yang suhu tubuhnya begitu panas dan berkeringat yang baunya sungguh tak sedap itu, terus saja meracau, hingga satu-satunya jalan keluar adalah membawanya ke rumah yang satu itu. Pada Indra sendiri, mereka tak menyebutkan akan ke rumah sakit jiwa, melainkan ke rumah pak Eddy, salah satu guard yang ikut di dalam mobil mereka. Untuk mengambil baju bagi Indra biar cepat bisa ke Mesjid Raya. Indra patuh tapi terus meracau.

"Ayo Pak Indra, masak udah sampai ke rumah saya Pak Indra ga mau mampir... ayo masuk dulu atuh pak!" Bujuk Pak Eddy berlagak sebagai tuan rumah. Akhirnya Indra menurut dan ikut berjalan ke pelataran rumah sakit dan masuk ke dalam. Yang telah ditunggu oleh beberapa petugas, yang telah diberitahu via sms saat mereka masih dalam perjalanan tadi.

"Ndra, kamu capek banget deh, ayo sambil menunggu pak Eddy ke dalam ambil berkas, kamu istirahat dulu deh disini... tuh bisa tiduran disitu tuh Ndra... kan kamu capek, tuh lihat, tubuh kamu aja keringatan begitu... " Dian begitu piawai membujuk dan mensugesti. Anehnya, Indra patuh, berjalan ke tempat tidur beroda yang telah disiapkan oleh petugas. Dan begitu lelaki itu membaringkan tubuhnya, petugas pun membawanya ke sebuah ruangan untuk diperiksa secara medis.

Ternyata, Indra tak hanya mengalami kondisi psikis yang memprihatinkan, tapi juga fisiknya sangat lemah. Hasil pemeriksaan darah yang dilakukan menunjukkan lelaki yang begitu down staminanya itu terkena typus, dan harus dipulihkan terlebih dahulu sebelum kemudian dilakukan pengobatan terhadap jiwanya yang sedikit terganggu. Penjelasan psikiater, bahwa kondisi seperti ini bisa menimpa seseorang yang sedang mengalami stress berat atau depresi, membuat Fachry mencabut dugaannya bahwa Indra kesurupan atau diganggu makhluk halus. Penjelasan medis, membuka wawasannya, bahwa banyak fikiran, stress, depresi dan kegagalan mengelola emosi dan kejiwaan bisa berakibat seseorang menjadi seperti orang gila. Ih, jangan sampai deh, batinnya.

"Mas Fachry, Mba Dian, makasih banget lho mba, mas, atas bantuan dan perhatiannya terhadap Indra. Kalo tidak mas temukan waktu itu, mungkin kami akan kehilangan Indra untuk entah sampai kapan. Kan sering tuh kita dengar, ada orang yang menjadi sakit jiwa, dan menghilang dari rumah dan hilang jejaknya karena tidak membawa identitas... Ih, ga terbayang deh gimana jadinya jika Mas Fachry dan mba Dian ga melihat Indra waktu itu." Kakak perempuan Indra, yang terbang hari itu juga ke Palangkaraya, dimana Indra berada, tak henti berterima kasih pada Dian dan Fachry, dan membuat keduanya sedikit jengah.  Bukankah itu gunanya sahabat, jadi tidak perlu lah berterima kasih sampai berulang kali...

"Sama-sama mba, jangan terlalu banyak makasihnya... hehe. Itu sudah kewajiban setiap orang, setiap sahabat. Kebetulan Tuhan menuntun Indra melalui kami. Jadi mari kita berdoa semoga Indra bisa kembali sehat seperti semula ya mba... ." Fachry menjawab dengan santun.

Indra masih terkulai di atas tempat tidur rumah sakit, dengan tangan yang berinfus dan pandangan setengah kosong. Masih perlu waktu dan penanganan baik secara fisik [medis] maupun psikis [jiwa] untuk mengembalikan lelaki ini ke Indra yang dulu. Yang penuh semangat dan ceria.

"Ngeri juga ya mas, kalo stress yang berlebihan seperti itu. Kayaknya Indra stress oleh masalah uang yang kebobolan itu deh." Dian mengutarakan pemikirannya, saat mereka kembali dari menjenguk Indra di suatu hari.

"He eh, awalnya mas kira, Indra kesambet atau kesurupan gitu deh. Ternyata karena terlalu banyak beban jiwa ya... Makanya kamu tuh jangan terlalu banyak pikiran.... jangan terlalu dipaksa, harus banyak rileks...dan harus sering-sering sama mas!"

Ujung kalimat Fachry langsung menimbulkan protes dari wanita cantik itu.

"Yeee.. apa hubungannya dengan sering-sering sama mas? Malah sering-sering sama mas bikin kita sering berantem. Emang mas senang bersamaku?"

"Ya senang banget donk... Di, can I say something?" Nada Fachry mulai serius. Dian mulai curiga dan deg-degan. Tatapannya mengiyakan dan menanti kelanjutan kalimat lelaki itu.

"Will you be mine, please? I love You."

Dian terpana. Apa? Fachry baru saja mengatakan cinta, di sebuah perjalanan pulang dari rumah sakit, di dalam mobil dan sungguh bukan dalam suasana romantis? Ooooh!

Namun, debar hati itu, semakin terasa, dan binar indah itu membuat wajahnya sumringah dan bibirnya tersenyum merekah. Fachry menggenggam jemari Dian dengan tangan kirinya, lembut. Dibawanya ke mulutnya dan dikecupnya dengan mesra.

"Will you babe?" Anehnya, kalimat itu jadi terdengar begitu romantis, tempat pernyataan yang hanyalah di dalam sebuah mobil, tak lagi terasa penting. Yang dirasakannya, hatinya begitu indah berbunga.

Anggukan dan tatapan lembut itu adalah jawaban IYA atas pertanyaan Fachry.

written by Alaika Abdullah
Bandung, 2 Maret 2013


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Kejutan Manis di Sabtu Pagi
  • Tirai Yang Tersingkap
  • Cukup Sudah
  • DONGENG KEHIDUPAN I
  • Ya Ampun, Mati Kita Nak!!
  • Gempa dan tsunami lagi? Oh No!! (tamat)
  • Alkisah; THE POWER of LOVE
  • Hari ini, tujuh tahun yang lalu
  • When he had to say Good Bye
  • Pangeran dari negeri Maya

Categories

  • cerbung 9
  • cerbung: Dongeng Kehidupan 2
  • cerbung: Kisah Sedih di Hari Minggu 2
  • cerita pendek 20
  • cerpen 1
  • edisi kangen Intan 1
  • Flash Fiction 1
  • Gaya Gay 1
  • gempa bumi 3
  • just a note 1
  • Kisah Hidup 6
  • lesson learnt 1
  • non fiksi 3
  • renungan 3
  • rupa-rupa 1
  • true story 1

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Arsip Blog

  • Desember 2017 (6)
  • Oktober 2017 (2)
  • Juli 2017 (1)
  • Juni 2016 (1)
  • April 2016 (3)
  • Maret 2015 (1)
  • Juni 2014 (1)
  • Juni 2013 (1)
  • Maret 2013 (3)
  • Februari 2013 (3)
  • Desember 2012 (1)
  • November 2012 (2)
  • Oktober 2012 (3)
  • Juli 2012 (1)
  • Juni 2012 (1)
  • Mei 2012 (1)
  • April 2012 (2)
  • Maret 2012 (2)
  • Januari 2012 (2)
  • Desember 2011 (4)
  • Oktober 2011 (2)
  • September 2011 (1)
  • Agustus 2011 (2)
  • Desember 2010 (1)
  • November 2009 (2)
Diberdayakan oleh Blogger.

Kisah yang tertuang di halaman ini terinspirasi dari cerita sahabats, imajinasi dan berbagai hal lain yang terjadi dalam kehidupan.

Happy Reading sobs!

Laporkan Penyalahgunaan

Home

  • Home
  • About
  • Cerpen
  • Cerbung
  • Virtual Corner
  • Zona Misteri

Mengenai Saya

Foto saya
Alaika Abdullah
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Popular Posts

  • Lusina 1
  • Kisah Sedih di Hari Minggu I
  • When he had to say Good Bye
  • Alkisah Chapter I

Labels

Copyright © Kinsley Theme. Designed by OddThemes