Dokter bilang ibunya terkena depresi. Surat cinta ini kah penyebab semua ini?
Courtesy Alaika Abdullah |
Siapa sebenarnya si Kapten Bhirawa ini? Kekasih masa lalu? Jauh sebelum ayah menikahi ibu? Atau selingkuhan ibu? Astargfirullah! Tersadar akan buruk sangkanya, gadis belia itu ber-istirgfar beberapa kali, namun tak urung, misteri surat itu kian mendorong hatinya untuk menyelidiki. Untungnya dia menemukan surat ini di dalam laci meja rias ibunya. Telah remuk dengan amplop yang sudah amburadul. Bermodalkan alamat dan nomor telefon yang tertera di sana, mulailah dia menginterogasi dan berinteraksi dengan sang kapten Bhirawa yang ternyata berdomisili di kota Surabaya. Dan hasilnya? Kini ibu tiri yang dia sayangi itu terbelalak dan hampir saja meledak. "Farida? Untuk apa lelaki itu datang kesini? Beraninya kamu menerimanya. Bawa dia keluar! Pergi dari sini!"
Intonasi suara Marni sungguh melengking. Amarahnya terlihat nyata. Gemetar wanita itu meraih kursi rodanya, bersusah payah untuk turun dari ranjang dan pindah ke kursi roda yang telah menjadi teman setianya sekian tahun sejak kecelakaan itu. Kecelakaan yang disebabkan oleh wanita simpanan Arief, yang mendorongnya dari anak tangga paling tinggi rumah mereka. Dan akibatnya adalah cedera tulang ekor yang berujung pada kelumpuhan kedua kakinya. Lalu mampukah dengan gampang dirinya melupakan dan memaafkan perbuatan mereka? Terutama Arief, yang malah memilih untuk pergi mengikuti wanita laknat itu? Untung saja Tuhan mengirimkan ayah Farida sebagai malaikat pengganti baginya, walau kemudian Tuhan memanggilnya kembali. Farida terbelenggu dalam diam, dengan tetesan air bening yang langsung mengaliri pipi. Terlebih melihat perlawanan ibunya, yang menolak dibantu oleh si Kapten Bhirawa untuk pindah ke kursi rodanya.
"Sayang, ampuni aku, lepaskan dendam itu. Aku yang salah, sayang. Aku yang salah. Tolong, beri aku kesempatan untuk berbakti kepadamu. Hanya kepadamu. Aku masih sangat menyintaimu. Sungguh!" Suara itu terdengar nyaring, bergetar. Bahkan Farida sendiri dapat mendengar getaran itu. Marni yang masih meronta, juga menangkap hal senada. Terdiam hatinya. Menelaah kalimat yang tiba-tiba saja berhasil menggetarkan jiwanya. Ah, benarkah apa yang dirasakannya ini? Dendam itu mencair begitu saja? Tidak mungkin! Dirinya tak boleh memaafkan begitu saja, bisik sisi buruk hatinya. Namun sisi baik hatinya, masih mencoba untuk bereaksi positif terhadap senandung cinta yang baru saja didendangkan. Benarkah The Power of Love tak butuh logika?