Rumah Fiksi Alaika Abdullah
  • Home
  • Download
  • Social
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Contact Us
pict from here
Annisa duduk diam menatap halaman facebook yang terpampang menantang di layar monitor laptopnya. Wanita itu terlihat online kini. Tak sabar dia hendak menyapa dan memarahinya. Memberondongnya dengan beragam kecaman dan cercaan. Karena menurutnya hanya itu yang pantas diberikan kepada wanita penggoda. Yang telah menggoda dan membuat suaminya kehilangan perhatian padanya. Yang telah membuat suaminya menjauh darinya dan sepertinya juga telah berpaling.
Namun, misinya akan gagal total jika dia segera mewujudkan bisikan amarah itu. Investigasinya akan kacau sempurna membuahkan nihil, jika dia tak mengajak hati panasnya untuk berkompromi. Andai saja bisa memasukkan sebongkah es ke dalam hatinya, akan dilakukannya dengan segera, sehingga dia bisa menjalankan misi ini dengan hati dan kepala yang dingin.
Dihirupnya napas dalam-dalam melalui hidungnya, dan melepaskan secara perlahan melalui mulutnya yang membentuk huruf O. Perlahan ada kelegaan terasa di lubuk hati. Diulangnya kembali langkah itu, merasakan kelegaan yang mulai membesar. Kelegaan semakin nyata kala terapi itu berlanjut beberapa kali, dan siaplah dia kini untuk memulai investigasi yang memang telah dirancangnya dua minggu silam.
Wanita itu kini telah menjadi temannya di facebook. Tanpa curiga menerima ajakan berteman darinya dan bahkan menyatakan begitu gembira memiliki teman dari Aceh. Langkah awal yang mulus, batinnya kala itu.
Kini investigasi akan segera dimulai. Berbekal password Indra, sang suami, login lah dia ke akun suaminya. Mencoba mengundang kembali Ningsih (yang telah dengan sengaja dikeluarkannya dari list pertemanan Indra seminggu lalu), meng-add nya kembali tentu akan memungkinkan mereka bisa berkomunikasi langsung atau chat kembali.
Kembali tanpa ragu Ningsih menerima ajakan pertemanan itu dengan gembira. Sebuah pesan manja langsung nangkring di inbox suaminya, yang sukses membakar kembali api cemburu yang tadinya mulai padam di hati Annisa.
Pesan yang di mata orang lain, adalah pesan biasa yang tak ‘bermuatan’, namun di matanya yang diamuk emosi, adalah sangat membakar jiwa. Dibiarkannya pesan itu tergeletak begitu saja, hingga sapaan Ningsih menyapa ‘Indra’ (yang sedang diperankan oleh dirinya sendiri).
“Mas…. Kok jarang online sekarang? Sibuk terus kah?”
“Iya nih, banyak banget pekerjaan akhir-akhir ini. Jadi jarang buka fb deh”. Balasnya meniru gaya bahasa Indra.
“Sudah kuduga mas sibuk banget. Untung saja mas masih sempat menyapaku via sms. Kalo tidak, aku akan sangat kangen denganmu mas!”
Kalimat ini sukses membuat mata Annisa terbelalak. Satu informasi dicatat sudah di memory nya. Bahwa ternyata Indra sering ber sms-an dengan Ningsih. Dan ini mengindikasikan bahwa pengakuan Indra mentah sudah, bahwa antara dia dan Ningsih sudah tak ada hubungan istimewa lagi, hanya sekedar silaturrahmi antar sepupu. Instingnya benar. Ada udang di balik batu.
“Kalo sms kan ga harus konek ke internet, cukup ketak ketik di hp saja.” Jawabnya datar, tak rela menyelipkan kata-kata mesra dalam kalimat itu.
“Iya sih mas…. Bisa sambil tiduran lagi, hehe..” Terbayang dimatanya senyum Ningsih pasti mengembang mengetikkan kata demi kata itu.
“Iya donk, bisa sambil tiduran dan hayalin kamu!” Balasnya, merelakan hatinya teriris oleh kalimat yang baru saja dihantarkannya. Biarlah, demi kelancaran perannya sebagai detektif swasta bagi dirinya sendiri, dia harus kuat!
Sejenak beralih dia ke browser Safari, dimana dia login ke fb dengan menggunakan akun pribadinya. Digunakannya kesempatan ini untuk juga chat dengan wanita itu. Berterima kasih karena telah berkenan menjadi temannya di facebook dan beberapa kalimat pembuka lainnya, layaknya teman baru. Kalimat-kalimatnya mengalir natural, membuat Ningsih membalas dengan ramah dan hangat. Sama sekali tak menyadari jika lawan chat nya ini adalah ‘polisi’ yang sedang mengintai, meng-investigasi dan pada saat yang tepat nanti akan bertindak menghakiminya. Lalu kembali dia ke akunnya Indra dan mendapati kalimat Ningsih yang sukses membuatnya seperti orang kesetrum.
 “Ih mas ini, emang mas sering menghayalkan aku? Hehe. Mas…! aku kangen suaramu!”
Memuncak emosi Annisa membaca kalimat genit Ningsih. Akal sehatnya menyimpulkan bahwa memang telah cukup akrab dan diluar normal hubungan Indra dan Ningsih. Feelingnya mulai membenarkan bahwa keduanya memang berselingkuh. Tapi sabar dulu, investigasi baru saja dimulai….
Ditinggalkannya Mozilla dan pindah ke Safari, menjadi dirinya sendiri dan melanjutkan chat dengan Ningsih. Percakapan hangatpun terjalin hingga kemudian Ningsih bercerita bahwa dia memiliki seorang kakak laki-laki yang sangat dia sayangi, dulu pernah bekerja di Aceh. Di tempat yang sama dimana Annisa dulu pernah bekerja. Ningsih dengan yakin mengatakan bahwa Annisa pasti mengenal kakak yang dimaksudnya itu, karena Ningsih melihat bahwa sang kakak, Indra, tertera nama dan fotonya di list pertemanan Annisa. Dan Annisa mengiyakan bahwa benar dia mengenal Indra, tapi hanya sebatas teman satu kantor, yang jarang ketemu karena Indra tugasnya di luar kota Banda Aceh.
Terkesan sekali betapa bersemangatnya Ningsih berbicara tentang Indra, bahkan semakin sumringah saat Annisa sengaja memancing seperti apa sebenarnya hubungan antara Indra dan Ningsih. Kakak atau kakak ketemu gede? Ningsih malah menanggapi dengan sumringah, bahkan langsung dengan excitednya melaporkan pembicaraan antara dirinya dengan Annisa pada Indra, yang sebenarnya akunnya sedang dijalankan oleh Annisa. Wanita yang sedang dimabuk kepayang itu sama sekali tak menyadari bahwa dirinya sedang masuk dalam perangkap. Perangkap seorang wanita cerdas, yang sedang mengintai dan mencari tau perselingkuhan suaminya, dengan seorang wanita lain yang adalah cinta pertama sang suami.
“Mas… aku sedang chat dengan salah satu rekanmu di BRR dulu lho. Perempuan asli Aceh bernama Annisa. Pasti mas kenal deh! Orangnya baik dan ramah lho” Lapor Ningsih ceria, dan Annisa pun mengarang bebas membalasnya. Menggunakan gaya bahasa sang suami agar penyamarannya sempurna.
“Oya? Annisa? Annisa yang mana tapi ya? kenal darimana kamu sayang?” sengaja diselipkannya kata sayang di ujung kalimat Indra.
“Ya kenal dari fesbuk lah honey. Annisa meng-add aku sebagai temannya, dan bertemanlah kami sekarang ini. Coba deh mas lihat di list pertemanan mas, aku melihat dia ada disitu. Pasti mas kenal. Cakep orangnya!” Kata honey jelas membakar api cemburu, namun Annisa mengalihkannya dengan meninggalkan akun suaminya sejenak, beralih dia ke akunnya sendiri, membaca percakapan yang ditinggalkan Ningsih untuknya.
 “Aku asli Madiun Nis… dah pernah belum main ke Madiun? Kamu cantik deh Nis, mirip orang Pakistan lho!” Tak urung jawaban Ningsih di Safari membuat hati wanita itu berbunga.
 “Ah masak sih mba? Jadi blushingdotcom nih dapat pujian dari mba Ningsih. Belum mba… ingin juga sih sekali-sekali nanti main ke Madiun, mba Ningsih juga cantik lho, J” balasnya seraya pindah ke Mozilla, menjadi INDRA dan membaca balasan Ningsih.
“Piye mas? Kenalkan dengan Anis?”
Dibalasnya segera.
“Wah kalo dia mah semua kenal. Dia kan Executive Assistantnya big boss. Dan semua staff juga kenal dia tuh… apalagi yang cowok… pasti senang banget jika harus ke tempat bigboss, bisa lewat mejanya mba Anis tuh. Orangnya cakep dan baik.”
“Mas juga dong kalo begitu….. ?? Mas akrab dong sama dia?” Kejar Ningsih.
“Mau akrab gimana? Mas tuh segan sama dia. Habis orangnya pendiam, baik sih, cuma berkelas gitu deh. Membuat anak-anak segan dan ga berani sembarangan.” Balas Annisa lancar dengan gaya bahasa Indra.
“Hm…, mas, kok Anis bisa nanya mas itu masku atau mas ketemu gede ya? Sepertinya dia bisa membaca sesuatu deh tentang hubungan kita mas!” Tanpa curiga Ningsih terus bercerita pada Indra, tak pernah terbayangkan dibenaknya bahwa adalah orang lain yang sedang menyamar sebagai kekasihnya itu. 
“Hm… masak sih? Jangan-jangan kamu yang cerita kali?” Balasnya sebagai Indra, lalu berpindah ke akunnya sendiri. Beberapa deretan pertanyaan dari Ningsih telah berjejer rapi disana.
 “Hehe… senang deh dipuji kamu, btw, aku ga pake embel-embel mba nih untuk kamu Nis, habis keliatannya kamu pasti lebih muda dariku, berapa umur kamu Nis?”
“Hm… kepala 4 pas nih mba… kalo mba berapa?” ketiknya cepat.
“Berarti aku lebih tua 5 tahun dong dari kamu. J Kerja dimana sekarang Nis?”
“Aku hanya pekerja kontrakan mba... Hehe”
“Ih kamu tuh ya… orang tanya serius lagi.., profile kamu cerita banyak itu lho.”
“He..he, aku pekerja kemanusiaan mba… kerjanya di NGO… LSM International gitu deh. Seperti yang tertulis di profile”
“Oya? Asyik donk, gajinya pasti gede ya? btw, suamimu kerja dimana Nis? Di Banda juga kah?”
“Ga mba… suamiku di Brunei, jauuuh… hiks…hiks…”
“Wah asyik dong, banyak duit tuh… kok Anis ga ikutan? Btw Mas Indra juga di Brunei lho!” Jelas Ningsih mulai membawa Indra kembali ke dalam percakapan.
“Asyik apanya mba? Ga enak lagi tinggal terpisah… emang sih duitnya lumayan…. Masku sebenarnya udah ga sabar agar aku ikutan pindah kesana, tapi aku juga masih terikat kontrak disini…, L.” Annisa menekan ENTER dengan perasaan exciting.
“Jadi Pak Indra di Brunei juga ya mba?” Lanjutnya.
“Iya…btw, kamu kok bisa beranggapan mas Indra itu punya hubungan khusus denganku sih?” Mulai deh, penasaran kelas tinggi nih pastinya jeng Ningsih, batinnya.
“Hehe, penasaran ya? aku kan psikolog mba…. Dan pernah di training khusus oleh counselor top dari Portland agar mampu membantu proses trauma healing para korban tsunami kemarin itu. Jadi untuk membaca pikiran atau makna kalimat yang diucapkan seseorang itu, gampang banget. Apalagi dalam menangkap rasa kasih yang terpancar dari kalimat-kalimat yang mba ketikkan. I know you have special feeling for Pak Indra kan?” Ketiknya panjang lebar.
Tak ada jawaban dari Ningsih dalam beberapa detik. Pasti lari ke Indra, pikirnya. Segera dia beralih ke akunnya Indra di Mozilla, dan benar saja,  beberapa kalimat dari Ningsih telah nangkring disana.
“Mas…..Annisa itu psikolog ya? Dia benar-benar bisa membaca feelingku terhadapmu. Mas, beneran ga pernah cerita apa-apa tentang kita sama dia kan?”
Annisa menyiapkan balasannya sebagai INDRA.
“Mau cerita gimana sayang… kan mas udah bilang kalo mas segan sama mba Anissa…”
“Dia memang psikolog, dan dengar-dengar sih di masa-masa emergency, mba Annis bergabung dalam program trauma healing untuk para korban tsunami…”
Dihentikannya ketikannya menanti response dari Ningsih. Sengaja dibubuhkannya kata-kata sayang dalam kalimat INDRA agar meyakinkan aktingnya.
“Hm…., hebat deh Anis ini, bisa mengetahui hubungan kita hanya dari membaca kalimat-kalimatku. Aku kok suka dengan wanita ini. Mas, suaminya Anissa juga kerja di Brunei lho.” Kalimat selanjutnya dari Ningsih.
“Oya? Dia sudah married lagi toh?” Balas Indra melalui jemari Annisa.
“Lho, emang dulu waktu mas disana dia masih single?” Penasaran Ningsih bertanya.
“Ngga, kabarnya sih dia cerai dari suami pertamanya… punya anak satu, kalo ga salah gitu deh”.
Sambil menanti jawaban Ningsih, Anis beralih ke akunnya sendiri, yang ternyata belum ada jawaban dari Ningsih. Diputuskannya untuk say goodbye pada Ningsih sebagai Annisa dan akan fokus menjadi INDRA.
“O gitu toh, jadi suaminya yang di Brunei itu adalah suami kedua.?” Kalimat Ningsih telah menantinya di akunnya Indra.
“Kabarnya sih begitu. Mas kan ga tau persis. Risa apa kabarnya? Ada pulang?” Sengaja dia (bertindak sebagai INDRA) mengalihkan topik, berharap agar pembicaraan berikutnya dapat menyingkap tabir hubungan Indra dan Ningsih sejauh ini. 
Ide brilliantnya melibatkan sepupunya, Lisa, untuk ikutan berteman dengan Ningsih benar-benar membuahkan hasil yang bagus. Dari Lisa dia dapat mengetahui lebih banyak tentang Ningsih. Yang adalah seorang guru SMP, hidup menjanda, memiliki satu-satunya anak perempuan yang saat ini sedang kuliah di Malang. Selain mengajar, wanita ini juga punya kegiatan sampingan yaitu berjualan aneka asesoris, dompet dan kerudung yang dikreditkan ke para guru di sekolahnya. Beberapa minggu sekali Risa anaknya mudik ke Malang atau sebaliknya. Informasi ini tentu lebih dari cukup dalam memuluskan investigasinya.
“Ada tuh kemarin mudik…, sekalian bawa asesoris dari malang untuk daganganku... sekarang sih udah balik lagi ke Malang. Mas… Risa merengek terus tuh minta dibelikan BB, bantuin dong…, J”.
What? Membuncah emosi Anis membaca kalimat itu. Berani-beraninya Ningsih minta dibelikan sesuatu pada suaminya. Tapi… tiada asap tanpa api. Kalo suaminya ga ngasih harapan, tentu Ningsih ga akan berani. Pasti hubungan mereka telah lebih dari akrab. Cinta lama telah bersemi kembali? Analisa di pikirannya mulai berjalan. Memang sih Indra pernah cerita jujur padanya, bahwa Ningsih, yang adalah anak dari paman Indra, pernah menjadi cinta pertamanya, bahkan hubungan mereka telah disetujui oleh kedua belah pihak, namun karena Indra kelamaan menyelesaikan studinya di Amerika, akhirnya Ningsih kepincut laki-laki lain. Walau tak mendapat restu kedua orang tuanya, Ningsih nekad kawin lari dengan laki-laki pujaan hatinya itu. Namun sayang, perkawinan itu tak berumur panjang, setelah memiliki satu putri yang berumur 7 tahun, merekapun bercerai. Indra memang bercerita apa adanya pada Anis, lupa bahwa informasi ini suatu saat nanti malah akan sangat berarti bagi istrinya.
“Nanti donk, sekarang mas sedang banyak keperluan nih, Edwin dan Rika sedang butuh banyak nih untuk keperluan kuliahnya.” Balasnya sebagai INDRA, Edwin dan Rika adalah putra putri Indra dari mantan istri pertamanya.
“Yaa mas… iya deh, aku manut mas wae… demi cintaku padamu….hehe.” Nah ini dia. Tak dapat dipungkiri, hati Annisa panas - membara. Sensitif sekali hatinya untuk kata-kata seperti ini. Cemburu tak terbendung.
“J” Hanya sebuah icon ‘tersenyum’ yang dikirim INDRA. Tak rela Annisa mengetikkan kata-kata mesra (selaku INDRA) untuk wanita itu.
“Kok cuma senyum sih? Ga seperti biasanya di ym…, mesra!” 
Nah, ketahuan lagi deh kalo mereka suka ym-an. Suasana hati Anis kian panas. Ingin rasanya diputuskan dengan segera percakapan ini dan menelphone serta memberondong suaminya, minta penjelasan. Tapi akal sehatnya masih mampu mengendalikan tindakannya. Dicobanya melanjutkan percakapan. Pasti akan lebih banyak lagi informasi yang diperolehnya nanti jika dia mampu mengontrol emosinya. Maka, lanjutnya…
“Sorry, mas sedang bikin presentasi nih.”
“Oh, okd sayang. Jadi presentasinya Selasa besok?”
Jadi? Sebegitu akrabnya hubungan mereka, hingga Ningsih juga dibagi informasi sedetil itu oleh Indra. Temperatur otaknya kian meninggi, namun Anis mencoba meredamnya.
“Iya, jadi donk… doakan sukses yaa….” Tulisnya as INDRA
“Pasti dong, untuk calon suami pasti lah doaku sepenuh hati…”
Dug!!! Meledak sudah emosinya. Anis menjauhi laptopnya sejenak. Meninggalkan Safari dan Mozilla dengan segera, karena jika masih berdekatan dengan kedua browser  itu, otomatis dia akan membalas penuh emosi dan terhentilah investigasinya, atau malah langsung men-dial nomor Indra, dan kacaulah jadinya.
Bangkit dia menuju dapur, membuka kulkas dan meneguk langsung air sedingin es itu dari botolnya. Hatinya dingin seketika, namun kepalanya masih panas. Diteguknya beberapa tegukan lagi, hingga menghabiskan setengah botol, kembali dia ke kamar, duduk di depan laptop dan membaca sebaris kalimat yang telah nangkring disana.
“Mas… kok malah diem? Sedang fokus dengan presentasi ya?”
“Iya!” balasnya, mulai pelit dalam mengumbar kata.
“Okd kalo begitu, mas lanjut dulu deh, aku juga mau siap-siap ke kursus. Mas… aku kangen banget sama mas. Berharap banget mas tugas ke Semarang lagi, jadi bisa mampir nengokin aku seperti kemarin….”
Tuh kan? Ketahuan lagi! Tercabik hati Annisa membaca kalimat ini. Dibalasnya dengan ketus.
“Kok bisa kangen sih? Mas aja ga kangen sama kamu!” Penasaran ditunggunya balasan dari Ningsih. Benar seperti dugaannya…kalimat kontradiktif ini tentu membuat Ningsih kaget, spontan.
“Ih mas kok ngomong gitu? Tega banget. Kejam!!”
“Beneran kok…. Mas ga kangen sama kamu. Mas sedang sibuk banget ini. Lagian mas kan cuma iseng aja kemarin itu…!”
“Apa? Iseng gimana? Teganya mas berbuat seperti itu! Ga mungkin deh, mas pasti bercandakan? Masku ga mungkin menyakiti hati. Tapi becandamu udah keterlaluan ini mas! Aku tersinggung!!.”
“Mas serius kok. Mas ga ada maksud istimewa sama kamu. Mas hanya ingin supaya kamu tau bagaimana rasanya sakit hati mas saat kamu tinggal kawin dulu itu. Sakit kan?”
“Masyaallah, mas, aku ga percaya mas tega lakukan ini padaku. Lalu apa artinya pertemuan kita di Semarang kemarin itu? Apa artinya candle light dinner dan lamaran mas disitu? Itu juga main-main?!!”
SATU LAGI INFORMASI hadir, sangat penting dan sukses menusuk jantung Annisa. Jadi Indra dan Ningsih sudah pernah ketemu lagi? Mengambil tempo di sela-sela kesibukan kunjungan tugas Indra ke Semarang dua bulan lalu itu? Hm… Kurang ajar. Dasar laki-laki. Buaya! Emosinya meluap, cukup sudah informasi yang diperlukannya hari ini. Dan saatnya memberitahukan Ningsih bahwa INDRA telah berumah tangga lagi dua tahun lalu, agar tak hanya hatinya yang disakiti Indra, namun Ningsih juga harus terpukul batinnya. Maka, menarilah jemarinya merangkai kata, lincah dan cepat sekali.
“Mas minta maaf sudah mempermainkan kamu, sebenarnya mas ga ingin berbuat seperti ini, tapi terkadang hati mas masih sakit oleh perbuatan mu dulu itu. Mas harus berterus terang sama kamu Ni… bahwa sebenarnya mas sudah berumah tangga lagi, mas menikah 2 tahun lalu, dengan Annisa Astrid, teman barumu itu. Dan suami yang dia maksud di Brunei adalah mas….Mas yakin Anis ga tau kalo kamu adalah mantan pacar mas...” Annisa menghentak tombol ENTER sepuas hati. Rasain loe!! Batinnya.
“Apa? Tega sekali kamu mas! Aku ga nyangka sebusuk itu hatimu! Dasar laki-laki buaya!”
Annisa memutuskan untuk tidak membalas lagi. Cukup sudah. Segera di copynya seluruh percakapan investigasinya ke Microsoft word, menyimpannya untuk dikirimkan ke Indra.Tanpa pamit pada Ningsih dia segera log out dari akunnya Indra. Tak membuang waktu, sign in dia ke gmail, compose a message untuk Indra lengkap dengan lampiran berupa Microsoft word hasil percakapannya dengan Ningsih tadi.

Dear mas,
Hari ini, sebuah bisikan menuntunku untuk melakukan investigasi akan anehnya sikapmu akhir-akhir ini terhadapku. Feelingku kuat berkata bahwa dirimu sedang bermain api dengan Ningsih, cinta pertamamu itu. Walau keras mas membantah bahwa dirimu tak mencintainya lagi, apalagi hendak menjalin hubungan dengannya, namun fakta berkata lain. Kepercayaanku terhadapmu luntur sudah, Ningsih tanpa sadar telah membantuku memberi informasi jujur tentang sejauh mana hubungan kalian.
Tak pernah kusangka jika mas tega berselingkuh di belakangku, dan ternyata sesuai yang kuperkirakan. Bahwa perselingkuhan itu telah bermula dua bulan lalu, saat sikap mas mulai berubah terhadapku. Tak perlu membantah sekuat tenaga apalagi bersitegang urat leher, silahkan baca percakapan terlampir, dan aku yakin saat ini Ningsih mu sedang menangis tersedu mendapati hatinya tersakiti.
Aku juga tak berharap mas kembali padaku, bujuklah cinta pertamamu itu, mungkin dia masih bersedia menerima mas dan berkenan menjadi istrimu setelah kita bercerai.
Nb: maaf terpaksa menyamar sebagai dirimu dalam melaksanakan investigasiku.
Wassalam,
Annisa Astrid

Tak terperi sakitnya hati Annisa, seperih luka hati yang dirasakan Ningsih di Madiun sana. Jika Annisa melarikan lara hatinya dengan mencorat coret selembar kertas manila, menekan dan menarik garis-garis itu dengan tekanan kuat, Ningsih malah memeluk guling dan menangis tersedu.
*****
Disaat yang sama, di sebuah mall di Brunei Darussalam, Indra mendengar notifikasi email masuk di BB nya. Dihentikannya kegiatan membolak balik buku yang hendak dibelinya, mengambil HPnya dari kantong celana dan membaca nama si pengirim. Dari istrinya. Tumben Anis kirim email, biasanya langsung lewat BBM saja. Heran hatinya. Segera dibacanya email itu dan kacau balaulah hatinya.
Gawat. Anis telah membongkar perselingkuhannya dengan Ningsih, dan dia harus bersiap kehilangan istrinya. Sanggupkah dia? Anis yang tegas, masih bisakah dia menjangkau hatinya? Tegas ancaman Anis di email, “Aku juga tak berharap mas kembali padaku, bujuklah cinta pertamamu itu, mungkin dia masih bersedia menerima mas dan berkenan menjadi istrimu setelah kita bercerai.”
Oh Tuhan, dia tak ingin kehilangan Annisa. Wanita itu begitu berarti dalam hidupnya. Keluasan pikirannya, ketegasannya, kehangatan dan kasih sayangnya begitu berarti baginya. Bersama Anis, dia bisa berdiskusi panjang lebar dan mendapat banyak masukan demi kemajuan pekerjaannya. Pada Anis, dia dapat melarikan segala kepenatan pikiran akibat pekerjaan yang mentok dan belum menemukan jalan keluar. Pada wanita itu, dia dapat mendapatkan kehangatan dan gairah cinta membara yang selalu membuatnya merasa tetap muda. Pada Anis, dia dapat meneduhkan kepalanya yang terasa panas akibat ragam persoalan hidup yang dihadapinya.
Sanggupkah dia kehilangan wanita ini? TIDAK. Dia TAK SANGGUP. Segera dia keluar dari toko buku, dicarinya tempat yang rada sepi dan langsung men-dial nomor istrinya, namun Annisa tak hendak menjawabnya. Dicobanya berulang kali namun tetap saja tak berjawab, malah kemudian terdengar the number you are calling is not active or out of coverage area.
Gelisah rasa hatinya. Tak guna menghubungi Nanda, putri tirinya yang masih di sekolah jam segini… diulangnya lagi menelphone Annisa tapi tetap tidak aktif. Ditulisnya pesan singkat di BBM untuk istrinya. Cha…. Mas minta maaf, mas mengaku salah. Mas khilaf, beri mas kesempatan untuk memperbaiki kesalahan mas…, mas ga sanggup kehilangan kamu dan Nanda, mas sayang kalian berdua”.
Sebuah sms masuk dari Ningsih. Tega sekali kamu mas! Disiapkannya sebuah jawaban singkat,
“Mas minta maaf atas semua ini, mas tau telah melukaimu terlalu dalam, maafkan mas, sejujurnya, setelah mas pikirkan, cinta kita hanya cinta pertama, mas ga sanggup kehilangan Anis. Maafkan mas….”
Dia sadar kalimatnya semakin melukai Ningsih, tapi mungkin itu akan lebih baik bagi Ningsih, kebencian yang timbul akibat sikap dan perkataannya mungkin akan lebih mudah bagi Ningsih melupakannya daripada kata-kata lembut mendayu.
Indra masih sangat kuatir dengan Anis yang sama sekali tak mengaktifkan HPnya sampai tengah malam. Dicobanya menghubungi Nanda, dan saat gadis remaja itu memberikan Hpnya ke ibunya, malah wanita itu langsung mematikannya.. Duuh… sebuah pesan dari Nanda di BBM nya membuat hatinya pedih.
“Pa, Papa berantem sama mama ya? Jangan sampai berpisah dong pa, Nanda sayang mama papa…”.
“Nanda sayang, Papa ga akan pisah dari mama, papa sayang kalian berdua, banget!, Nanda tenang aja ya sayang, Mama sedang marah sama papa dan jadi sensitif.” Balasnya menenangkan putri tirinya yang sudah duduk di kelas dua SMU itu.
Menjelang subuh waktu Indonesia dicobanya lagi, dia tau pasti, saat ini Annisa tentu sudah bangun dan sudah shalat subuh.  Ya Allah, luluhkan hati istri hamba ya Allah, lunakkan hatinya untuk memaafkan hamba dan menerima hamba kembali, pintanya. Dicobanya men-dial nomor Annisa, aktif, tapi wanita itu tak sudi mengangkatnya. Dikirimnya sebuah pesan di BBM.
“Cha… tolong jawab telephone mas, mas bisa mati kalo kamu biarkan begini terus. Mas sayang kamu. Mas sudah sms Ningsih dan tinggalkan dia. Ampuni mas… jangan tinggalkan mas, mas sayang kamu dan Nanda. Mas pulang hari ini dan kita bicara, kamu boleh apakan mas, tapi jangan minta pisah dari mas. Beri Mas kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahan Mas”


Suatu hari di bulan Ramadhan, dua hari lagi menjelang Idul Fithri
gambar dari sini
Cahaya mentari mulai redup ketika aku mengijinkan Intan menggelar tikar di bawah pohon rindang di depan rumah, untuk bermain rumah-rumahan bersama seorang putri tetangga sebelah. Kala itu, Intan masih berumur 4,5  tahun, sementara si putri tetangga berumur 3 tahun setengah.  Sesekali kuintip keduanya yang sedang bermain, damai tanpa berselisih paham. Seperti biasanya, sebagai anak yang lebih tua, Intan memimpin permainan. Kulihat mereka bermain boneka beruang. Aman-aman saja.
Aku melanjutkan pekerjaanku di dapur, menyiapkan penganan berbuka puasa sembari meneruskan menggoreng kacang tojin, selaku salah satu penganan wajib menyambut Idul Fithri.
Intan asyik sendiri dan akupun asyik sendiri. Hidup ini terasa begitu indah dan aku begitu menikmati suasana saat itu. Kulanjutkan pekerjaanku sambil bernyanyi-nyanyi kecil walau sebenarnya suaraku sama sekali tidak merdu. Tapi peduli amat, paling yang dengar juga Intan dan temannya, sementara Ayahnya Intan yang sering protes dan minta aku berhenti menyanyi sedang tidak di rumah. Asyik, aku lah sang penguasa. Hehe.
Aku terus asyik dengan pekerjaanku sambil melanjutkan dendangan, dunia terasa begitu menyenangkan…  hingga kemudian aku teringat belum melongok keluar untuk melihat Intan dan temannya. Kutinggalkan sejenak penggorengan, bergegas aku mengintip dari ruang tamu, dan keduanya tak lagi terlihat di bawah pohon rindang. Sementara si Mickey Mouse dan beruang Teddy kesayangan Intan masih tergeletak dalam damai di atas tikar.
“Lho, kemana tuh anak-anak?” pikirku seraya menajamkan telinga. Tak terdengar bunyi apapun selain music lembut dari tetangga sebelah. Ibunya Siska, si teman Intan bermain. Kuarahkan kakiku ke kamar, yang pintunya terbuka. Kusibak gorden pintu, perlahan agar tak mengganggu keasyikan mereka bermain atau malah jangan-jangan keduanya sudah tertidur pulas di tempat tidurku……
Tapi ya Allah…. Terbelalak aku menatap penampakan yang terpampang di depan mata….
Astaurgfirullahhalazim….. Masyaallah, mati kita…..
“Ya ampun sayang! Mati kita Nak!”
Kurebut perlahan gunting ditangan Intan yang sedang asyik menggunting rambut Siska, bak seorang tukang salon kawakan yang sedang menggunting rambut pelanggannya. Masyaallah, rambut Siska jadi cobel-cobel dibuat Intan. Bagian tengah kepalanya malah hanya tinggal 2 cm dari  kulit kepalanya. Mati aku, bagaimana harus menjelaskan pada ibunya Siska ini? Oh my God… Ampun deh anakku ini….
Sebenarnya ingin tertawa terpingkal-pingkal melihat hasil kreasi Intan di kepala Siska, namun mana mungkin rasa geli ini memenangkan rasa kuatir yang langsung bersemayam dan menguasai jiwaku, membayangkan amarah dan amukan ibunya Siska nanti…..?
Aku segera berlari mematikan api kompor, kacang tojinku ternyata telah sukses berwarna coklat tua. Biarin deh. Tak lagi kuangkat kacang itu, kubiarkan saja berenang dalam minyak panas dan aku kembali ke Intan dan Siska. Intan kecil masih belum menyadari perbuatannya. Dia malah masih tersenyum bangga akan kreasinya. Aku mengurut dada. Ya ampun nak… sebenarnya ini bukan kali pertama putri kecilku berakting sebagai seorang tukang salon. Pernah poniku jadi korban saat tidur siang dengannya. Entah bagaimana dia bisa mengambil gunting rambut (yang biasa aku pakai untuk menggunting rambut Intan), yang aku simpan di laci lemari, dan saat tertidur lelap, rambutku pun jadi korbannya.
Amarahku hampir tak teredam kala itu, mengetahui poniku telah terpangkas sempurna oleh tangan mungilnya Intan. Tapi mau apalagi, tak guna mengamuk pada anak kecil yang kala itu baru berumur 3 tahunan. Eh sekarang kejadian lagi, dan korbannya adalah anak tetangga sebelah. Oh my God. Help me….
Kugendong Siska yang masih senyum bangga dengan hasil guntingan Intan. Anak kecil ini tak menyadari betapa menurunnya penampilannya akibat rambutnya yang telah cobel-cobel dibuat Intan. Dasar anak-anak. Kutuntun Intan dan kami bertiga menuju rumah Siska.
Kuketuk pintu perlahan, dan pasti sobats bisa membayangkan betapa kaget dan marahnya ibunya Siska mendapati putri cantiknya telah berambut amburadul seperti itu?
Walau masih menjawab salamku dengan khidmat, wanita itu tak urung terlihat kaget, dan mulai marah. Yang tentu saja kuterima dengan lapang dada, tanpa sedikitpun kucoba membela diri. Apa yang mau dibela coba sobs, seutuhnya salahku, yang membiarkan mereka berdua bermain tanpa pengawasan.
Aku minta maaf sebesar-besarnya pada ibunya Siska, menyatakan bahwa semua ini adalah salahku yang terlalu asyik di dapur, dan terlalu yakin bahwa keduanya masih aman damai bermain di bawah pohon. Seperti keadaan yang aku dapati setiap aku ke depan untuk melihat dan memastikan bahwa mereka bermain dengan baik dan damai.
Tapi siapa sangka, di saat-saat terakhir, saat aku menunda untuk melihat mereka lagi, justru mereka telah pindah tempat. Masuk ke kamarku dan senyap. Aku kira malah sedang tidur, eh siapa sangka jika sedang main salon-salonan.
Aku minta maaf yang sebesar-besarnya dan Alhamdulillah ibunya Siska juga berjiwa besar. Memaklumi jika semua ini adalah karena mereka hanya anak kecil yang belum tau apa-apa. Dan aku juga berjanji tak akan membiarkan Intan main gunting-guntingan lagi. Untung hanya rambut yang dipangkas, oh Tuhan, aku jadi ngeri sendiri membayangkan hal-hal lainnya. Lindungi kami ya Allah, doaku kala itu.
Selanjutnya kuajak ibunya Siska membawa Siska ke salon dekat rumah, untuk menyempurnakan hasil guntingan Intan. Dan jadilah Siska seperti prajurit yang baru lulus ABRI, hehe. Dipangkas catam mengingat rambut terpendeknya di tengah kepala tak bisa diapa-apain lagi. Huft.
Pelajaran paling berharga bagiku hari itu, keep watching your child even though you think that she/he is okay and in good environment. Anak-anak bisa berbuat apasaja, belum tau pasti mana yang baik dan buruk. Tetap perhatikan, terlebih jika sedang bermain dalam keadaan senyap. Curigai itu, jangan-jangan sedang asyik dengan sesuatu yang membahayakan. J
Well sobs,
Begitulah kisah kekonyolan yang dilakukan Intanku, pernahkah putra putri sobats menghadiahkan ‘sesuatu’ yang bikin jantung sobats berdegup kencang? J
kembali ke paragraf awal....

Judul diatas terinspirasi dari sebuah artikel di blognya sahabat, mba Reni, yang berjudul Indahnya Kebersamaan (saya sengaja tidak mengubah judulnya karena sudah pas banget dengan artikel yang akan saya tulis).. ga pa-pa kan mba Reni jika judulnya sama? Hehe.

Well, terus ceritanya gimana? Akan sama juga dengan isi artikelnya mba Ren? Idih… kalo sama sih namanya nyontek donk? Artinya saya ga kreatif donk. Ogah ah dibilang ga kreatif…
Sesuai judulnya, Kebersamaan, apakah itu dengan orang-orang terkasih (suami, anak, ayah ibu, adik-kakak, atau anggota keluarga terdekat lainnya) atau hanya dengan sahabat lama yang sudah sekian lama tak bersua, tetap saja memberikan nuansa keindahan tersendiri. Benerkan ya?

Kali ini, saya ingin bercerita tentang kebahagiaan yang tercipta di keluarga utama kami, setelah enam bulan lalu dirundung mendung berkepanjangan. Mendung yang membawa badai bagi ibunda tercinta akibat putra kesayangannya (yang telah sekian lama berdomisili di Istambul, Turkey), nekad tetap melanjutkan niatnya menikahi seorang gadis asal Bella Rusia, tentunya setelah si gadis ikhlas menjadi seorang muslimah.

Berbagai upaya yang kami lakukan untuk meluluhkan hati ibunda tercinta agar berkenan merestui pernikahan putra terkasihnya ini sama sekali tidak membawa hasil.

Usia yang kian bertambah, tak juga mampu mengubah karakter keras kepala sang ibunda kami. Kisah saya kini terulang pada Fadjri, menikah tanpa restu orang tua. Beruntung Fajri masih mendapatkan dukungan dan restu dari kami semua (ayahanda, saya/kakaknya, Edo/abangnya dan Rizal/adiknya). Yang tetap berjuang keras melobby ibunda agar luluh merestui. Namun sayang, Allah belum berkenan membuka pintu baja ini.
Dana yang sedianya sudah dicadangkan untuk tiket perjalanan saya dan ayahanda ke Istambul terpaksa kembali duduk manis di rekening Fadjri, karena hanya Edo yang jadi berangkat ke Istambul menghadiri pernikahan adiknya ini.

Saya dan ayahanda terpaksa mengundurkan diri, demi menghargai perasaan ibunda. Juga karena kami tidak ingin diambekin oleh sang ibu berhati baja ini. Duh…Ibuku tercinta….whatever, you are the only mom I do admire!





Berbagai upaya yang kami lakukan jadi patah arang. Tak berarti apa-apa berhadapan dengan ibu yang perkasa. Beliau tetap pada titahnya. Tetap pada pendapatnya, bahwa orang lain boleh saja bermenantukan seorang bule’, seorang mualaf, tapi tidak dengan wanita bernama Fatimah ini. Fatimah orang kampung yang tidak akan menerima menantu non muslim. Padahal sudah berulang-ulang kita jelaskan bahwa si menantu ini telah menjadi saudara seiman, telah muslimah.

Tetap saja, tiada kata-kata pembenaran yang berhasil mengubah pendapatnya. Fadjri harus berlapang dada dan semakin meningkatkan frekuensi dan kualitas berdoanya, mengetuk pintu kasih Ilahi agar berkenan membuka pintu hati sang ibunda. Karena hanya keajaiban dari Allah sajalah yang akan mampu mengubah semua ini.

Kami semua telah menyerah, hanya saran agar Fadjri tetap memperkuat doanya saja yang mampu kami berikan untuk menghibur hatinya. Aku bahkan sempat meneteskan airmata membaca balasan email ayahandaku untuk Fadjri yang diforward Fadjri padaku. Agar Fadjri pantang menyerah, tetap berdoa dan berusaha, bahkan jika tak satupun sms ataupun telpnya yang dijawab oleh ibu.

Hari itu, Senin malam, di penghujung October 2011, Fadjri mengajakku masuk ke kamar hotel tempat dia dan istri cantiknya menginap. Ya, sesuai strategi yang telah kita atur, Fadjri memanfaatkan momen dinasnya ke Jakarta dengan mengubah rute penerbangan, diawali dengan cuti tahunan yang dia manfaatkan untuk usaha super ini. Ditugaskan ke Jakarta selama 5 hari, Fadjri berinisiatif untuk singgah terlebih dahulu di Banda Aceh mencoba meluluhkan hati sang ibu. Jadilah rute penerbangannya menjadi, Istambul – Dubai, Dubai – Kuala Lumpur (7 hari), Kuala Lumpur – Banda Aceh (selama 9 hari), baru kemudian Banda Aceh Jakarta (5 hari), Jakarta – Bali (5 hari), Bali – Kuala Lumpur, Kuala Lumpur – Dubai, Dubai – Istambul.

Masih teringat betapa harunya aku memeluk adikku itu saat pertama kali bertemu. Kangen, terenyuh. Apalagi melihat tubuhnya yang mengurus (aku yakin, batinnya tersiksa karena belum mendapat restu ibuku). Hiks..hiks.. Tak sabar saat itu aku untuk segera bertemu dengan sang adik ipar yang di foto aku lihat seperti boneka Barbie. Dan ya Allah….. Masyaallah… , benar… persis Barbie. Sehingga saat itu Intan langsung berbisik ke telingaku ‘Mi…. cantik banget, kayak Barbie!!, OMG.”

Tak lama setelah kedatanganku, kedua adikku yang lainnya (kami adalah 4 bersaudara, aku anak pertama dan satu-satunya perempuan) menyusul. Dalam keharuan, kami semua memutuskan untuk makan malam di luar sambil mengatur strategi untuk esok harinya. (Scenerio pertemuan Fadjri dengan ibunda).
Berbagai kemungkinan kami kaji. Dari yang terburuk (penolakan) hingga yang menggembirakan (diterima dan diampuni). Disepakati bahwa esok pagi, Fadjri akan ke kantor ayahanda terlebih dahulu demi menghargai hati sang ayah agar tidak merasa didahului, sebenarnya kami sudah sangat ingin mengundangnya untuk pertemuan malam ini, hanya kuatir nantinya beliau tidak sanggup menahan diri dan ujung-2nya malah membocorkan rencana ini pada ibunda, sehingga ‘serangan fajar’ ini jadi gagal sempurna.

Pagi itu, sekitar pukul 10.15 wib saat Fadjri menelphoneku dengan gugup, bahwa ibunda ngamuk, dan akhirnya menangis tersedu di dalam kamarnya tanpa mau mendengarkan Fadjri maupun Rizal. Memang pagi itu Rizal sengaja tinggal di rumah untuk berjaga-jaga, in case terjadi hal-hal seperti ini. Ibunda terus saja menangis histeris, menyesali nasibnya, memarahi Fadjri, dan tetap saja meracau.

Untung meeting pagi itu sudah selesai bagianku updating the progress, sehingga aku leluasa untuk menyelinap dan tega lari dari kantor sejenak. Dan hanya butuh 5 menit by car diriku sudah bergabung dengan Fadjri dan Rizal. Kudapati kini ibunda telungkup di atas spring bednya, dielus punggungnya oleh Fadjri dan Rizal. Terharu hati ini. Tetesan air mata tak mampu tertahan. Kuusap lembut rambut ibuku, sambil menciumnya perlahan.

“Mi…. ssst…. Minum air putih dulu ya…. Tuh udah pilek…” Bujukku.


Rizal menyodorkan segelas air putih yang memang sudah disiapkannya. Tak lama ayahandaku pun tiba. Wajah bijaksana itu tak mampu menahan airmata. Dipeluknya erat Fadjri yang bangkit menyambutnya. Ayahku menangis, tersedu. Aku apalagi? Tak tertahan airmata ini, mengalir sempurna.

Merapat ke tempat ibuku, ayah berkata 

‘Ayah mohon, ampuni Fadjri Mi…, jauh-jauh dia kembali, menjenguk dan memohon restumu…’.

Ibuku semakin menjerit, menangis tersedu. Kucium ibuku, kuusap airmatanya dengan tissue yang disodorkan Rizal.

‘Mi…. Fadjri tetap sayang sama Umi…. Umi satu-satunya ibunya. Memilih Oksana bukan berarti dia mengenyampingkan Umi…’. Lembut kucoba bersuara. Disambut Fadjri antusias.

‘Iya Mi…. ampuni Fadjri…. Fajri kesini untuk Umi, mau nengok Umi… Fadjri tetap sayang sama Umi, sangat.’

Diraihnya jemari ibunda, diciumnya. Ayahku juga sudah duduk di sisi ibundaku, membelai lembut kepalanya. Saat itu, Ibuku tak ubahnya seorang ratu yang sedang tertidur sakit, dan merajuk.. dikelilingi oleh orang-orang terdekatnya yang berusaha membujuk.

‘Kalo kamu sayang, kamu ga akan membantahku… menyesal kusekolahkan kamu jauh-jauh. Menyesal kuijinkan kamu merantau ke seberang sana jika seperti ini jadinya!’ masih juga meracau.

Berbagai kalimat bujukan tak henti silih berganti mengalir, membujuk sang ratu ini agar luluh. Terbayang situasi yang hampir sama, terjadi saat aku dibuang dari keluarga gara-gara menikah dengan ayahnya Intan. Sulitnya lagi, saat itu, diriku hanya berjuang seorang diri. Seluruh anggota keluarga tak satupun yang mendukung. Perih nian masa-masaku itu. Untung tsunami melanda (setelah 9 tahun diriku tercoret dari keanggotaan keluarga). Allah mengirimkan tsunami ke Aceh untuk membuka pintu baja di kalbu ayah bundaku.

Lelah meracau, dan mungkin termakan oleh serangan bujukan dari kami yang datang silih berganti, suara ibuku melunak, dan mulai mau menjawab obrolan kami. Pertanda baik yang tak kami sia-siakan donk. Aku sendiri lupa bagaimana asal usulnya, tiba-tiba obrolanku adalah tentang rencana mengajak ibunda facial lagi di salon langgananku, yang memuji wajah ibuku yang masih mulus di usia tuanya (60 tahun). Obrolan ini disambut dan dibumbui oleh Fadjri dan lainnya, yang juga secara terselubung memuji ibu, sehingga hatinya jadi berbunga. Hehe….

Ujung-ujungnya beliau bersedia diajak makan bersama di luar rumah, dan berkenan menerima Fadjri kembali. Deg-degan saat kami menanti jawabannya saat Fadjri meminta ijin untuk membawa juga istrinya pulang ke rumah, saat itu adik iparku, Oksana, tinggal di Hotel, sesuai skenerio yang kami susun.

Alhamdulillah, ibunda tak menolak, bahkan merelakan kamar tidurnya untuk sang putra kesayangan dan menantu baru… sungguh ajaib. Dan kuyakini, hanya Mukjizat Ilahi yang mampu merubah kekerasan hatinya itu dan menukarnya dengan situasi baru ini. Oh my God. Engkau sugguh Maha Pengasih dan Perkasa ya Allah.

Kebahagiaan menyelimuti Fadjri dan istrinya (yang tadi malam sudah setengah mati mempersiapkan mentalnya menghadapi kejadian terburuk), menyelimuti hati kami juga tentunya. Ibuku dengan heboh (seperti biasanya dalam menyambut tamu…), minta tolong si mba ku untuk beberes kamar. Demi menyambut sang menantu baru yang cantik jelita.

Detik-detik berikutnya adalah menjadi milik Fadjri dan sang istri, karena kulihat setelah kembali dari makan siang, ibuku sudah berfoto ria dengan Oksana di tengah taman bunga milik ibuku, di pekarangan rumah. Ampun dweh Umiku ini…..

Alhamdulillah atas anugerahmu ya Allah, sehingga seminggu kemudian, Idul Adha kami terasa sempurna oleh lengkapnya kehadiran seluruh keluarga. Berbagai masakan dimasak ibuku walau setiap hari Oksana hanya sanggup menyantap kentang rebus, wortel dan tomat sebagai makanan utamanya. Ampun deh.
Sebuah cincin emas bermotif pintu Aceh dilingkarkan ibuku di jari manis Oksana, plus beberapa helai gamis dan mukena cantik menyambut idul Adha dibelikan ibu untuk menantu cantiknya ini…

Kebahagiaan Oksana dan Fadjri adalah hadiah Allah bagi kami semua tahun ini. Alhamdulillah wa Syukurillah. Semoga kebahagiaan dan kedamaian ini abadi ya Allah. Amiin.

Semoga kebahagiaan ini senantiasa memayungi kami semuanya ya Allah... Amin Ya Rabbal Alamin.
Kisah sebelumnya.....

 

Seekor anak kerang menangis sendu, mengadu pada sang bunda.
“Ibu, badanku sakit sekali…. Perih dan ngilu….. bantu aku ibu… kuakkan kulitku dan keluarkan pasir yang menyusup ke dalam tubuhku….”

Sang bunda hanya dapat memandang ananda dengan tatapan pilu. Perih hatinya, dan penderitaan sang anakpun seakan lekat dirasakannya. Ucapnya..

“Nak…. Maafkan ibumu ini, tak mampu ibu membantumu sayang…. Kita diciptakan sang Maha Kuasa tanpa sepotong tanganpun…., sehingga ibu tak mampu menguak cangkangmu dan mengeluarkan pasir yang menyusup ke dalam tubuhmu itu nak….”

Sang anak semakin merintih, menangis sendu merasakan goresan butiran-butiran pasir yang menyayat tubuhnya.

“Ibu… ini sakit sekali, aku tak mampu bertahan bu…. Apa yang harus kulakukan? Mengapa kehidupan ini begitu kejam? Aku sakit bu….!” Rintihnya, membuat sang ibu ikut menitikkan airmata, merasakan perih yang sedang mendera sang ananda tercinta.

“Sayang…. Tabahkan hatimu…. Kuatkan semangatmu untuk bertahan. Percayalah, dirimu diberi kekuatan untuk bertahan atas cobaan yang sedang diberikanNya bagimu. Tetaplah semangat anakku. Balutlah pasir itu dengan carian perutmu. Percayalah, rasa sakit itu akan berkurang jika kamu menuruti nasehat ibu.”

Anak kerang pun menuruti nasehat sang bunda. Terkadang rasa nyeri itu dirasakan berkurang namun tak jarang rasa nyeri semakin mendera. Namun kekuatan semangat yang selalu disuntikkan sang bunda, adalah penyelamat dan pelipur lara dan deritanya.  Walau kadang kala, saat rasa sakit tiada tara mendera, nasehat sang bunda terpaksa diragukannya. Dengan air mata, dia berusaha bertahan. Bertahun lamanya hingga tanpa disadarinya butiran pasir yang mulai mengeras oleh cairan perutnya, kini semakin terbentuk, halus. Mulus. Makin lama makin halus, mengkilat dan kemilau. Rasa sakit pun mulai berkurang. Butiran pasir yang mengeras itu, ternyata membentuk sebutir mutiara yang kian membesar, indah dan mempesona.

Suatu hari, seorang penyelam menemukan si kerang kecil. Dijumputnya kerang mungil itu dan membawanya ke permukaan. Berserulah dia pada temannya di atas perahu.

“Hei… lihatlah, aku menemukan sebuah kerang dibalik karang, dan ini kerang mutiara!” 
Gembira sekali suara si penyelam. Temannya mendekat, memperhatikan dengan seksama. Sebilah pisau diambil sahabat si penyelam dari perahu, dan dicungkilnya salah satu cangkang si kerang kecil. Tampaklah saat cangkang terkuak…. Sebutir cahaya berkilau indah dari dalam kerang kecil. Sebutir mutiara, tampak menempel indah disana. Begitu menakjubkan, membuat kedua penyelam tersenyum bahagia.

“Terima kasih Tuhan atas berkah ini.” Penantian sang kerang kecil berakhir sudah. Pasir yang mulanya menyakitkan, menderanya tiada henti…kini berubah menjadi sebutir mutiara indah berkilauan.

Sobats….terkadang cobaan terasa memang begitu menyiksa… bahkan terkadang membuat kita putus asa dan bahkan ingin mengakhiri kehidupan. Namun berapa banyakkah diantara kita yang masih menyadari bahwa dibalik cobaan itu ada hikmah? Bahwa dibalik ujian akan ada kemenangan? Bahwa dibalik penderitaan ada kebahagiaan yang telah dipersiapkan?

Banyak dari kita yang langsung menuduh Tuhan tidak adil, saat kita merasa kehidupan kita begitu miris, sementara kehidupan teman kita yang lain begitu terlihat indah?
Berapa banyakkah dari kita yang langsung menuduh Tuhan tidak sayang kita, hanya karena cobaan yang diberiNya terlalu berlarut dan berkepanjangan? Sementara kita melihat teman kita begitu menikmati kehidupannya. Tahukah kita bahwa dibalik kegembiraan atau kebahagiaan yang terlihat dinikmati si teman, ternyata dia juga menanggung penderitaan dalam bentuk lain yang tiada tertahankan jua?

Penantian bagi sang kerang kecil, untuk mengubah pasir menjadi mutiara berharga tentu sangatlah menyiksa. Sang kerang mencoba bertahan tanpa pernah tahu kapan penderitaan itu akan berakhir.
Tidakkah ini mengajarkan kita satu hal? Bahwa untuk mencapai keagungan diperlukan waktu dan kesabaran prima? Untuk menjadi hiasan para ratu dan bangsawan, sang kerang perlu waktu bertahun untuk bertahan dalam penderitaannya? Butuh malam-malam yang penuh doa, rintihan dan tangisan?

Sobats,
Hidup adalah pilihan. Menjadi kerang dengan mutiara indah nan berharga atau hanya cukup menjadi tiram yang dijual murah di pasar ikan? Setiap pilihan tentu penuh resiko dan konsekuensi. Tinggal diri kita yang menentukan pilihan hidup mana yang akan kita tempuh. Iya toh?
Semoga kisah kerang mutiara ini dapat memberi kita hikmah berharga dalam menapaki jalanan kehidupan ya sobs….

Saleum,

Alaika


Kisah sebelumnya di Dongeng Kehidupan I

Sebenarnya Surya sudah familiar dengan kondisi kejiwaan wanita yang sedang hamil. Tiga kali sudah dia menghadapi kehamilan istrinya (kini sudah mantan), dan dia hapal benar sikap ngidam, temperamental dan berbagai perubahan psikis istrinya di masa-masa kehamilan. Sekuat tenaga dia mencoba mentoleransi dan memahami, bahkan mampu meningkatkan rasa kasihnya pada istrinya (dahulu).

Namun, dengan istrinya yang ini? Sungguh Wani membuatnya kewalahan. Sikap cemburunya semakin menjadi-jadi. Sedikit saja dia telat sampai di rumah, setelah mentoleransi durasi kemacetan lalu lintas, Wani pasti mengamuk dan mencerewetinya. Mencurigainya. Bahkan terang-terangan menuduhnya berselingkuh. Tak jarang dan semakin sering kata-kata kasar keluar dari bibir sexy istrinya ini, bahwa Surya sengaja pulang terlambat karena sudah tak suka lagi dengannya yang kini telah berperut besar, buncit dan bertubuh melar. Sudah tidak menarik lagi dan tak mampu lagi memberinya kenikmatan.

Kata-kata yang awalnya membuat Surya malah ingin tertawa, namun juga ingin memeluk mesra istrinya. Mencoba memahami sikap istrinya yang memang masih terlalu muda untuk usia masa kini. Jika di zaman ibunya dulu, mengandung di usia 20 dianggap sudah sangat-sangat pantas, maka mungkin di masa kini, menikah di usia 20 tahun masih termasuk sangat muda. So, he tries to understand her wife feeling lah.
Maka dia tak banyak melawan kata-kata itu, dicobanya untuk menjelaskan sebaik mungkin, searif mungkin, sesabar mungkin. Sambil dalam hati berfikir, itulah resiko menikah dengan wanita yang masih terlalu muda. L

Namun, kadang kala, sikap Wani membuat control emosi nya tak terkendali, ini sering terjadi saat Surya membawa ketiga anaknya dari perkawinan pertamanya, ke rumah ini. Sebagai ayah yang baik, tentu dia rindu donk dengan anak-anaknya, dan ingin mengundang mereka menginap di rumahnya. Ingin juga dirinya selaku ayah, ber-akrab ria dengan darah dagingnya sendiri. Namun, sikap Wani sungguh tidak terpuji. Tak pernah sekalipun istrinya ini mencoba beramah tamah dengan anak-anaknya. Sikap Wani benar-benar mencerminkan sikap ibu tiri zaman dahulu, walau tidak sekejam ibu tirinya Cinderalla sih. Namun sikap tak sukanya itu, jelas membuat anak-anaknya juga tak suka pada Wani.

Sering Bella, putri terkecilnya yang masih berumur 3 tahun, langsung mengajak pulang tak lama setelah mereka tiba di rumah papanya ini. Alasan Bella adalah kangen mama. Padahal jelas-jelas Bella baru saja bersama mamanya. Tentu Surya merasa sangat kecewa dengan sikap Wani. Dia sangat berharap agar Wani tidak menganggap anak-anak ini sebagai saingannya. Bahwa anak-anak hanya akan mengambil kasih sayang Surya sesuai porsinya. Dan Wani tetap akan memperoleh kasih sayang Surya sesuai porsinya pula. Namun Wani tetap saja dengan sikap kekanak-kanakannya itu. Surya hanya bisa mengelus dada, apalagi mengingat Wani sedang berbadan dua.

Pagi ini, Wani kembali mengamuk, sebabnya? Karena sebuah sms di HP Surya…

“Ardo sehat Oom, Alhamdulillah, udah baikan kok Oom, tapi oleh mama belum dibolehin sekolah”

Sms ini membuat Surya menjadi tawanan. Diinterogasi sedetil-detilnya oleh istrinya. Dia sungguh heran, bagaimana mungkin istrinya yang sedang hamil ini, punya kekuatan luar biasa, mencak-mencak tak karuan dan hilang sopan santun seperti ini ya? Ditengah perang batinnya melawan kemarahan oleh rentetan peluru kata-kata dari bibir indah sang istri, batinnya tersentak dan takjub oleh kata-kata pamungkas istrinya itu.

“Jangan-jangan Ardo ini anakmu dengan perempuan lain pula! Makanya begitu akrab!!”

Sadis benar kata-kata itu, diucapkan dengan kata-kata pedas melebihi cabe rawit. Namun kok mengena pula. Surya tak ingin membalas, tak hendak menjawab. Capek deh, pikirnya. Dia lanjutkan aktivitas paginya, menyiapkan pakaian kerjanya sendiri, karena kalo sudah mengamuk, istrinya ini tak akan lagi menyiapkan apapun untuknya.

Justru sikap diam tak melawannya ini, ternyata malah semakin memicu kemarahan Wani. Membentak dia, menghadang Surya yang hendak ke kamar mandi.

“Kenapa mas hanya diam? Ayo ngaku? Siapa dia? Ngomong mas, ngomong!!”

Surya merapatkan gerahamnya. Tuhan, bagaimana mungkin ada seorang wanita hamil yang begini temperamental. Jangan turunkan emosi tak terarah ini pada anakku ya Tuhan… batinnya.

“Dik… tolong jangan marah-marah begitu donk. Mas takut anak kita nanti jadi pemarah seperti ini, please…. !”

Ternyata kalimatnya ini malah semakin memancing si singa menambah amukannya.

“Apa? Bilang aja mas memang ga senang lagi denganku, mas ga cinta lagi denganku kan?” Dan istrinya ini kini menangis tersedu. Surya kewalahan. Oh my God, I need a counselor!

Diraihnya lembut sang istri. Dipeluk dan belai mesra.

“Sayang, mas menikahi kamu karena mas cinta sama kamu. Mas malah makin sayang dan cinta sama kamu sayang, dan ga sabar menanti kelahiran bayi kita. Kamu harus percaya sama mas, dan tolong, beri yang terbaik untuk baby kita… mas mohon. Jangan marah-marah… mas ingin baby kita jadi anak yang tenang, sabar dan cerdas. Be a good mom ya sayang…”

Diciumnya istrinya yang mulai tenang. Surya menghela napas diam-diam. Lelah sebenarnya batinnya, mengingat periodic kejadian seperti ini semakin singkat waktunya. Perulangannya semakin sering saja. Huft.

Tak sabar dia ingin segera barada di ruangan kantornya yang nyaman.
Pekerjaan kantor yang banyak, ditambah sikap Wani benar-benar membuatnya jenuh. Lelah. Maka hanya curhat pada sahabat serta chatting dengan Maya adalah pelariannya. Keakrabannya dengan Maya semakin terjalin sejak tabir itu tersingkap. Tak dapat dipungkiri, pada Maya, ada dua darah dagingnya yang merindukan kasih sayangnya. Yang membuatnya semakin sering berkomunikasi dengan mantan kekasihnya itu. Situasi Maya yang kini menjadi single parent sejak sang suami berpaling, membuatnya prihatin. Terlebih prihatin lagi, karena ayah si kembar sebenarnya adalah bukan si lelaki yang berpaling itu, tapi dirinya. Yang seharusnya bertanggung jawab meringankan beban Maya selaku single parent. Yang berjuang keras membiayai si kembar. Terlebih Ardo, yang lemah dan sering sekali sakit. Prihatin sekali hatinya memikirkan hal ini. Andai berita tentang si kembar lebih dahulu terungkap, dia tak perlu susah-susah mencari calon istri dan menikahinya (Wani). Tentu akan lebih ringkas dan bijaksana menikahi Maya, yang telah melahirkan darah dagingnya. Tapi siapa yang bisa menebak situasi seperti ini? Huft. Pusing kepalanya jadinya.

Apalagi ketika tadi Maya bercerita via telephone, bahwa Ardo kambuh lagi tadi malam, dan Maya berkeinginan untuk membawa putranya itu berobat ke Penang. Ingin rasanya dia menyertai mereka kesana, untuk memastikan semuanya akan baik-baik saja. Kasian Maya, pasti akan sangat sulit jika harus seorang diri disana. Ardi akan ditinggal di Medan karena juga harus terus bersekolah.

Surya sedang memutar otak mencari alasan yang akan diutarakan pada Wani, untuk bisa berangkat ke Penang, ketika matanya menangkap Alaika is online di layar laptopnya.
Ditangkapnya segera. Biasanya wanita yang satu ini selalu mampu melapangkan hatinya, mencerahkan pikirannya yang sedang mendung tingkat tinggi.

“Dik… can I catch u, please?” ditunggunya sejenak. Belum ada tanda-tanda Alaika is typing a message dari seberang. Ditunggunya dengan sabar. Mencoba mengingat-ingat kebiasaan sahabatnya yang satu ini. Walau belum pernah ketemu secara langsung, tapi banyak kebiasaan wanita yang satu ini diketahuinya. Semisal menghidupkan laptop, semua diset sign in automatic, dan yang punya laptop wara wiri ke tempat lain. Mengambil ini dan itu. Laptop ditinggal mengaktifkan diri sendiri…

Benar saja, beberapa menit kemudian,

“Hai mas….. maaf, aku baru sampe dari meeting di luar, nih baru nyalain laptop, seperti biasa, aku nyalain dan tinggal ke toilet. Kok mau tangkap aku? Emang aku salah apa mas? J”

Tak sanggup dia membalas canda ini. Sebuah icon murung ditampilkannya. L

“Ok mas, whats up? Semuanya baik-baik aja kan? Ardo sehat?”

“Ga dik… Ardo semakin sering sakit. Jantungnya sering kambuh… Maya berencana membawa Ardo ke Penang…”

Icon murung dikirim Alaika untuknya. Ditunggunya Alaika is typing a message itu selesai, tak sabar ingin membaca pesan apa yang terhantar begitu tombol enter di hit.

“Perawatan dan pengobatan disana memang lebih baik daripada disini mas… terus dengan siapa Maya akan kesana? Pasti mas risau ya? Ingin mendampingi tapi Wani juga sedang butuh mas?”

“Iyaaaa…”

“Aku bingung harus ngomong apa ke Wani dik.”

“Gimana kalo berterus terang?” Ide spontan yang membuat Surya melonjak.

“What? It sounds crazy dik. Mana mungkin. Bisa lahir sebelum waktunya nanti anak mas!”

Eh Alaika malah tertawa, icon ngakak pun dikirim, tak tanggung-tanggung, 6 icons. Surya ikutan geli. Dia tau Alaika hanya bercanda. Pikirannya jauh lebih waras darinya malah, dia yakin itu.

“Gila kamu dik. Ayo donk, kasih saran… mas nyesal ga ngawinin kamu. Kalo kamu terima mas waktu itu, tentu masalah ga serumit ini. Kamu pasti akan terima Deny, Alif dan Bella dengan suka cita, dan pasti akan menyayangi mereka….”

“Hush… ga baik ngomong begitu mas. Kita ga jodoh. Buktinya, aku malah kawin dengan masku kan? Ga denganmu, hehe….aku hanya sayang padamu, tidak cinta, ingat itu mas... Aku anggap mas sebagai sahabat, dan klien, cukup donk itu? Ayo mas, ga baik menyesali langkah yang telah diambil.”

“Kamu itu bijaksana banget dik. Harusnya aku mengawini kamu!” eh malah ngeyel. Emang laki-laki ya… sukanya begitu kali ya?

“Udah… yuk balik ke topic. Jadi mas ingin bagaimana? What will you do?”

“Dik, aku bingung banget nih. Aku ingin banget dampingi Ardo. Memberinya semangat agar bertahan dan kuat melawan penyakit yang menggerogotinya… tapi bagaimana caranya?”

“Mas, kalo mas memang ingin dampingi, aku rasa gampang saja. Dengan kapasitasmu sebagai kepala cabang, tentu mas wajar-wajar saja menghadiri rapat di Penang… atau kunjungan dinas kek…. Aku rasa justru Wani harus tau mas ke Penang, karena jika mas mengaku tugas hanya keluar kota, handphonemu ga bisa bohong lho. Menggunakan nomor Indo di sana, jelas akan kena roaming, dan mahal banget. Mending jujur aja tentang keberadaan mas, ya tentu ga perlu bilang menemani Ardo donk…., what do you think?”

Surya langsung setuju. Sebenarnya jalan keluarnya simple, so simple, tapi otaknya yang kalut tak mampu lagi melihat celah jalan keluar. Apalagi karena pertengkaran dengan Wani yang terjadi setiap pagi, sudah seperti kebiasaan dan kebutuhan bagi istrinya itu, sungguh membuat dirinya hampir gila.  Maka saran Alaika dilahapnya mentah-mentah. Segera dia hubungi Maya, membicarakan kemungkinan untuk terbang segera membawa Ardy ke Island Hospital, Penang.

Wani boleh saja marah dan mengamuk, tapi ini menyangkut kesehatan Ardo, darah dagingnya. Rasa berdosa telah menelantarkan kedua darah dagingnya itu tertanam begitu dalam, membuat rasa berdosa ini berhasil mengkontaminasi seluruh rasa lainnya, menghunjamnya, dan membalikkan rasa itu menjadi sebuah rasa ingin menebus kesalahan yang kian menjadi-jadi. Ya, tak ingin dilewatkannya kesempatan ini, memberikan kasih sayang bagi putranya yang lemah digerogoti penyakit. Yang kuat ya nak, batinnya.


~ BERSAMBUNG ~




Hujan masih terus mengguyur bumi. Deras, sejak pagi tadi. Angka digital di sudut kanan bawah monitor laptopnya sudah menunjukkan angka 12.05 wib. Lunch time 5 menit sudah berlalu. Dan only 55 minutes more left. Surya menatap sekeliling, tak satupun koleganya yang beranjak. Enggan menantang hujan yang garang menyirami dunia.
Iseng jemarinya men-double click salah satu teman yang akhir-akhir ini hampir setiap hari saling terkoneksi.

Antonie: alow sayang, gi ngapain? Dah lunch?

Ditatapnya layar menanti if there is a …. Maya is typing a message. Satu menit, tak juga tulisan itu muncul.
Di buzz nya, plus icon smile.
Yes. Maya is typing a message muncul di layar.

Maya: ni sapa? Teman mama ya? Mama lagi di toilet.

Wah, anaknya? Tapi Maya ga pernah cerita kalo dia punya anak…, tapi dia juga ga pernah nanya detailnya sih. Jadi bukan salah Maya lah.

Antonie: Nie anaknya mama ya? Kenalan donk… namanya siapa?"

Maya: "Iya…, anak mama. Om Antonie ya?"

Antonie: "lho kok tau nama Om Antonie? Nama kamu siapa?"

Maya: "ya tau lah, kan keliatan di ym nya…, nama aku ardyan. Om tinggal dimana? Kok Ardy ga kenal?"

Antonie: "Om di Jakarta, iya, Om teman lama mama kamu. Udah lama banget Om ga ketemu sama mama kamu. Umur kamu berapa? Punya adik? Kakak?"

Maya: "o, pantesan aku ga pernah ketemu Om, umur aku 8 tahun, aq punya adik kembar, namanya Ardo, kami cuma berdua, belum punya adik Om. Habis papa juga udah pergi sih… ninggalin kami untuk pacar barunya…"



Deg! Jantung Surya bagai tertohok. Anak umur 8 tahun sudah mulai mengenal dan tahu arti perpisahan dan perselingkuhan… Tuhan… kasihan. Tapi Maya tak pernah bercerita tentang dua makhluk mungil ini. Tak pernah cerita bahwa dia punya anak. Kembar pula…


Pertemuan terakhir dengan Maya via email kira-kira setahun yang lalu, saat dirinya masih menduda dan Maya masih dengan suaminya, kemudian keduanya terputus oleh kesibukan masing-masing hingga sebulan lalu situs pertemanan fesbuk mempertemukan mereka kembali. Dengan info terbaru dari Maya bahwa dirinya diselingkuhi. Setelah itu hampir setiap hari mereka terkoneksi, dan tak dapat dipungkiri masa-masa indah yang terkubur nun jauh di relung terdalam sisi hati, kini mulai terungkit kembali. Binar-binar indah terkadang lupa diredam hingga memendar dan memancarkan sumringah di keduanya. Namun Maya kini jauh lebih dewasa, tau diri dan tak ingin mengganggu kehidupan rumah tangga orang lain. Apalagi tau Surya baru saja menikah lagi dan sang istri sedang hamil muda.

Sebagai wanita masa lalu yang sempat punya arti dalam kehidupan Surya, tentu saja membuatnya sulit untuk dilenyapkan dari ingatan. Walau telah pernah kesepakatan keduanya untuk saling mengubur dalam-dalam indahnya pelangi kehidupan mereka, namun kini harus diakui, sulit sekali menekan bayangan keindahan masa lalu yang nakal menyeruak ke permukaan itu.

Hari ini, tak seperti biasanya BB Maya dipegang oleh orang lain, yang ternyata adalah anaknya. Dan sungguh diluar dugaan, sianak adalah kembar dan berumur 8 tahun. Wait..8 tahun? 8 tahun? Come on… Delapan tahun yang lalu, bukan delapan tahun, tapi sembilan tepatnya adalah kisah saat keduanya sepakat untuk mengakhiri hubungan cinta kasih mereka dan sepakat pula untuk mengakhiri denyut kehidupan seorang calon manusia yang sedang bertumbuh di dalam rahim Maya. Ya. Itu adalah sembilan tahun yang lalu. Sembilan tahun yang lalu dirinya berangkat ke Amerika, melanjutkan studi meraih S2, yang oleh karenanya membuat dirinya harus mengesampingkan rasa tanggung jawab terhadap buah dari apa yang telah mereka tanam.
Sampai pada analisa ini, Surya merasa degup jantungnya berpacu lebih kencang. Ada desir aneh mengalir di relung hatinya. Tuhan…. Tunjukkan kebenaranMU hari ini…, benarkah bisikan yang mengalir di hati ini? Bahwa si kembar ini adalah anakku?

Bunyi buzz di layar monitornya membuat perhatiannya tersita kembali ke layar.

Ditunggunya Maya is typing a message mengantarkan message untuknya. Dan ini dia,

Maya: Hai mas, masih disana? Ngobrol dengan anakku yach? :-) Ardy ga nakal kan?

Antonie: "Hai sayang, lama banget di toiletnya. Kamu baik-baik aja kan?"

Maya: "ah, ga pa2 kok mas, I m fine kok. Hanya sedang ga kerja nih, cuti, anakku Ardo sakit. Harus dirawat di rumah sakit.
Deg!! Jantung Surya berdetak kencang. Sejak analisa tadi, perasaan seorang ayah di dirinya bergema nyaring, seolah dia merasa yakin sekali bahwa si kembar itu adalah darah dagingnya. Sakit? Oh Tuhan, sakit apa sampai harus dirawat dirumah sakit?"


Antonie: "sakit apa May? Di rumah sakit mana?"

Maya: "Ardo memang sering sakit mas, daya tahannya tak sekuat Ardi, dokter sih mengatakan ada kelemahan di jantungnya, tadi pagi, tiba-tiba saja saat sedang upacara bendera, pingsan, untung segera dibawa ke rumah sakit."


Tuhan… selamatkan Ardo, iya atau bukan dia sebagai anak hamba, selamatkan dia ya Tuhan… pintanya penuh harap.
"Antonie: rumah sakit mana May?"

Maya: "RS. Gleni."

Antonie: "oke, mudah-2an cepat sembuh ya May, bagaimana keadaannya sekarang?"

Maya: "Thx mas. Udah jauh lebih baik kok. Ga pa2, mungkin dalam dua hari lagi udah boleh pulang kok. Thx for your attention. Mas, dokternya masuk nih, aq pamit dulu yach.."

Antonie: "Ok may, keep me inform ya, wishing him all the best. Salam untuk keduanya. Nanti aq boleh ngobrol lagi dengan kamu kan?"

Maya: "Pasti mas. Thx".


Setelahnya, Surya tenggelam dalam campuran aneka rasa. Resah, kuatir, melo dan bingung. Tak secuilpun rasa bahagia disana. Tuhan…. Tunjukkan kebenaranMu. Benarkah mereka darah dagingku? Tapi dia ingat sekali saat Maya memintanya uang untuk aborsi, dan dia memberikannya sejumlah dana untuk itu. Mungkinkah kemudian Maya malah mengubah keputusan itu dan melanjutkan kehamilannya? Tak ada berita tentang Maya lagi, bukan hanya karena dirinya jauh di negeri orang, tapi juga karena kemudian Maya memutuskan untuk pindah ke Sumatera Utara. Disanalah kini dia menjalani kehidupannya, tanpa seorangpun dari sahabat masa lalu mereka yang punya berita terkini tentangnya.

Surya tak sanggup terlalu lama dihinggapi rasa prihatin dan penasaran. Namun tak masuk akal bagi istrinya jika dia harus mengatakan bahwa dia ditugaskan kantornya untuk ke Medan sore itu juga. Langkah paling aman adalah berangkat besok pagi.
Bandara Polonia, penuh sesak bukan hanya oleh para penumpang, pengunjung, supir taksi, pedagang dan orang-orang terkait lainnya, tapi juga sesak oleh suara dan bahasa khas Medan (logat Batak) yang cukup dikenal orang.

Sebuah taksi mengantarkannya langsung ke RS. Gleni, dan setelah mendapatkan info dari pusat informasi, di sinilah kini dia berada. Di sebuah kamar dengan seorang bocah 8 tahun terbaring sebagai pasiennya. Di atas sprei putih khas rumah sakit. Maya sungguh terkaget dan setengah shock mendapati Surya telah berdiri tegak di depan pintu saat dia membukanya tadi. Sungguh diluar dugaan. Allah, inikah kontak batin antara ayah dan anaknya? Hatinya menangis…Haru, pilu.
Maya merasakan tenggorokannya perih, terluka, menahan isak tangis yang hendak pecah. Belum sepatahpun kata yang meluncur dari mulutnya sejak kedatangan Surya tadi, dan dia yakin, tak perlu penjelasan dari bibirnya, karena sepertinya Surya sudah dapat menemukan kebenaran yang telah delapan tahun dicobanya untuk selubungi.

Ardyan yang setia disamping tempat tidur adiknya, menatap Surya sopan. Ramah. Disalaminya tangan Surya santun. Airmata Maya jatuh menitik, menyaksikan kebenaran itu. Ya, hanya dia yang tau pasti kenyataan yang sebenar-benarnya. Bahwa laki-laki ini lah ayah biologis kedua putra kembarnya. Yang telah memberinya uang delapan tahun lalu untuk biaya aborsi janin yang sedang bertumbuh di rahimnya (yang ternyata adalah dua anak kembar ini). Yang oleh lidah lembut dokter yang didesaknya untuk menolongnya aborsi, malah mampu membuka mata hatinya, bahwa adalah lebih baik meneruskan kehamilan itu, memberikan mereka hak hakikinya untuk menghirup udara bumi. Apalagi mengingat usia kehamilan itu juga sudah riskan untuk diaborsi. Jadilah dirinya nekad melanjutkan kehamilan dan memutuskan untuk membuang diri jauh ke rantau orang.

Ardo masih terbaring lemah, tapi kondisinya sudah jauh lebih baik. Tak ada lagi alat bantu medis yang melekat di tubuh maupun pernapasannya, senyum sopan itu terpancar tulus menyambut Surya. Terlebih saat tangan kanan Surya membelai lembut kepala Ardo.

“Apa kabar nak?”, parau suara itu.

Lagi, Maya menitikkan airmata. Tak perlu penjelasan sama sekali, tapi semua sepertinya paham benar peranan yang harus mereka lakonkan. Tuhan, ini panggung sandiwaraMu. Harus seperti apa endingnya?

Suasana saat itu benar-benar hening, baik Maya maupun Surya sama-sama merasa tercekat tenggorokannya, sementara kedua bocah tampan itu tak menyadari cerita yang sesungguhnya. Hanya saja seperti ada nuansa lain, kedekatan yang begitu mengayomi, dari laki-laki yang baru hadir ini.

“Baik Om. Om siapa?”
“Ini teman mama sayang, udah lama banget ga ketemu, ya kan Om Surya?” Maya menjelaskan segera.
“Iya, Om Surya, teman mama waktu di Jakarta dulu, Ardy apa kabar? Ingatkan kita chat kemarin? Yang mama sedang ke toilet?”

Senyum ramah terkembang di bibir keduanya, mengangguk.

“Jadi Om baru dari Jakarta? Sedang tugas ya Om?” Ardy yang melanjutkan.

“Iya, Om langsung dari Jakarta, khusus menjenguk kalian kok.” Jujur jawabnya.

“Wah, teman mama baik banget ma, jauh-jauh mau nengokin kita. Makasih ya Om!”

Ardo yang berkomentar. Suaranya masih lemah, tapi jauh lebih bersemangat.

Maya hanya mengangguk-angguk, berusaha meredam rasa mello yang menyeruak, hatinya ingin sekali menangis, tapi putra kembarnya tak boleh melihat kepedihan itu. Surya menatapnya penuh simpati, meneduhkan. Ingin sebenarnya dia menyeret wanita itu keluar ruangan, sejenak saja, untuk sebuah kalimat yang jelas tergambar di bola matanya. ‘Mereka anak-anakku kan?’
Tapi tak mungkin melakukan itu melihat bocah-bocah manis itu masih diam-diam memperhatikannya. Hidup, betapa anehnya kehidupan ini. Oh Tuhan. Tak sabar hamba untuk menyingkap kebenaran ini. Tak sanggup lagi menahan rasa, sms menjadi media komunikasi.

‘Tell me dear, Ardy and Ardo are my sons, aren’t they?’
Muncul di layar BB Maya. Tak pelak lagi, Maya sudah tak ingin menghindar lagi, tak ingin menambah penat dan lelahnya memendam sebuah rahasia besar itu semakin lama lagi. Maka ‘Yes mas, they are yours, sorry to cancel the abortion, they have right to survive. Used ur money for their milk’ muncul di layar BB Surya.

Cukup sudah bagi Surya. Walau sudah berada dalam dugaan, dan 80 persen keyakinannya dugaannya benar, namun tetap saja kebenaran ini membuahkan rasa takjub luarbiasa dalam dirinya. Oh Tuhan, sungguh hidupku bagaikan cerita sinetron. Bagaikan kisah dongeng. Tapi kini cerita itu adalah milik hamba ya Tuhan. Milik ku dan Maya. Oh Tuhan. Tak mampu dia berkomentar. Tak ingin dia menjawab sms Maya. Ditatapnya kedua bocah itu penuh kasih. Kini, dihadapannya, adalah dua lagi darah dagingnya. Total dia memiliki 5 anak. 3 dari perkawinan terdahulu, dua dari Maya, dan beberapa bulan kedepan, satu lagi dari Wani, istrinya kini. But how to present them (the twins) to Wani? And Others? Will their accept them? Kalo dirinya, sudah jelas, dia merasakan kasih sayang besarnya menjelma sudah untuk keduanya. Tak akan dia bedakan mereka dengan anak-anaknya yang lain. Tapi masalahnya adalah, bagaimana caranya memperkenalkan/membawa mereka dalam kehidupannya.

Sebuah sms lagi muncul di layar hpnya. ‘saya mohon, mas tidak masuk dalam kehidupan mereka, setidaknya saat ini, sulit untuk menjelaskan siapa dirimu mas, mengapa baru sekarang muncul, dan sebagainya. Saya tidak ingin mereka menilai negative dirimu. How ever, u r their daddy. They have to pay respect on you. Makanya masuk ke kehidupan mereka tidak sebagai ayah, please. I promise that one day, I will tell them the truth.’

Tuhan…. Semua ini terasa bagai dongeng dalam kehidupan hamba. Tunjuki hamba jalan keluar yang baik ya Allah. Beri kami petunjukMu. Lindungi kami dan tuntunlah kami di jalanMU. Amien.
Hanya itu yang mampu dipanjatkan Surya, tak ada lagi kata yang mampu mewakili hiruk pikuk perasaannya, campur aduk rasa hati yang bergolak di dada, dan haru birunya kesedihan yang dirasakannya. Ada kebahagiaan menemukan kembali buah perbuatan masa lalu yang sempat diduganya telah sirna secara paksa, namun ternyata di hadapannya kini keduanya. Walau tak mungkin merengkuh ketiganya, karena Wani jelas telah menjadi pembatas keleluasaannya, namun dia bersyukur, Maya telah memberikannya sebuah kejutan diluar dugaan. Subhanallah.



BERSAMBUNG kesini (tamat)


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Kejutan Manis di Sabtu Pagi
  • Lusina 1
  • Tirai Yang Tersingkap
  • Senandung Cinta : The Power Of Love
  • Cukup Sudah
  • DONGENG KEHIDUPAN I
  • Tamparan itu, keras dan pedih
  • Kamu tetap anak mama sayang!
  • Pangeran dari negeri Maya
  • Lusina 3

Categories

  • cerbung 9
  • cerbung: Dongeng Kehidupan 2
  • cerbung: Kisah Sedih di Hari Minggu 2
  • cerita pendek 20
  • cerpen 1
  • edisi kangen Intan 1
  • Flash Fiction 1
  • Gaya Gay 1
  • gempa bumi 3
  • just a note 1
  • Kisah Hidup 6
  • lesson learnt 1
  • non fiksi 3
  • renungan 3
  • rupa-rupa 1
  • true story 1

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Arsip Blog

  • Desember 2017 (6)
  • Oktober 2017 (2)
  • Juli 2017 (1)
  • Juni 2016 (1)
  • April 2016 (3)
  • Maret 2015 (1)
  • Juni 2014 (1)
  • Juni 2013 (1)
  • Maret 2013 (3)
  • Februari 2013 (3)
  • Desember 2012 (1)
  • November 2012 (2)
  • Oktober 2012 (3)
  • Juli 2012 (1)
  • Juni 2012 (1)
  • Mei 2012 (1)
  • April 2012 (2)
  • Maret 2012 (2)
  • Januari 2012 (2)
  • Desember 2011 (4)
  • Oktober 2011 (2)
  • September 2011 (1)
  • Agustus 2011 (2)
  • Desember 2010 (1)
  • November 2009 (2)
Diberdayakan oleh Blogger.

Kisah yang tertuang di halaman ini terinspirasi dari cerita sahabats, imajinasi dan berbagai hal lain yang terjadi dalam kehidupan.

Happy Reading sobs!

Laporkan Penyalahgunaan

Home

  • Home
  • About
  • Cerpen
  • Cerbung
  • Virtual Corner
  • Zona Misteri

Mengenai Saya

Foto saya
Alaika Abdullah
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Popular Posts

  • Lusina 1
  • Kejutan Manis di Sabtu Pagi
  • Tirai Yang Tersingkap
  • DONGENG KEHIDUPAN I

Labels

Copyright © Kinsley Theme. Designed by OddThemes