paragraph sebelumnya ada
disini ya sobs..
Pagi itu, Fachry dan putra putri mungilnya sedang menikmati acara TV pagi hari, sembari menanti sang istri menyiapkan sarapan pagi yang baru mereka beli dari Blang Padang selesai mereka berolah raga.
Adalah kebiasaannya dan keluarga melakukan jogging di setiap Minggu pagi, dan rencananya selesai sarapan di Minggu itu, Fachry akan mengajak anak2nya mandi di laut yang hanya beberapa ratus meter dari rumahnya.
Fachry memang sangat mencintai pantai dengan segala pemandangan indahnya, bertolak belakang dengan sang istri yang sedikit trauma dengan pantai. Itu juga sebabnya sang istri merasa keberatan untuk pindah ke rumah baru yang lokasinya sungguh di bibir pantai. Namun mengikuti suami, sang istri patuh sambil membujuk hati nuraninya untuk mulai bersahabat dengan lingkungan barunya itu. No more complaint. Just follow.
Awalnya Minggu pagi cerah itu sungguh berjalan normal sampai kira-kira jam 8 kurang beberapa menit gempa mengguncang. Awalnya pelan, semakin kuat dan diiringin suara gemuruh dari dalam tanah.
Fachry segera mendekap kedua buah hatinya dan membawa mereka seraya memanggil istrinya untuk segera bergabung bersamanya diluar rumah. Tetangga mereka yang lain juga sudah berkumpul di luar rumah mereka masing-masing. Bahkan mereka tetap berkumpul di luaran hingga gempa telah berhenti, tak satupun dari mereka berani beranjak bahkan untuk men-cek keadaan di dalam rumah.
Gempa kali ini sungguh dasyat dan diluar dugaan. Pikiran resah yang hadir di benak mereka masing-masing benar-benar menimbulkan kecemasan. Mereka tetap bertahan, hingga sebagai penghuni bibir pantai, mereka menjadi saksi pertama sebuah gelombang hitam yang tampak dari kejauhan, yang dalam sekejab telah berdiri menyeramkan, suara menggemuruhnya sungguh menakutkan, dan dalam sekejap telah menyergap, menyeret dan menghempaskan mereka kearah yang tak beraturan. Sekuat tenaga Fachry menggenggam erat tangan istrinya di sebelah kiri dan tangan putra sulungnya di sebelah kanan, sementara putri kecilnya berada di gendongan sang istri, yang ketat dililit kain gendongan.
Sebuah gelombang maut, tak ayal menghantam dan menggulung tubuh mereka dan membuat pegangan tangan mereka saling berlepasan. Saat itulah mereka terpisahkan dan hanya Allah yang tahu kisah nyata mereka selanjutnya. Dirasakannya bahwa gelombang yang menghantamnya lebih dari satu kali hingga akhirnya membuatnya kehilangan kesadaran.
Perkiraannya gelombang pertama saat itu sekitar dua meter, namun gelombang kedua menghantam lebih dasyat lagi sebelum dirinya sempat menyadari segalanya. Dapat diperkirakan ketinggian air saat itu mencapai 30 meter apalagi itu adalah kawasan bibir pantai. Tak lagi kelihatan apapun saat itu selain air laut hitam kelam yang dipenuhi puing dan lumpur. Hanya dalam hitungan menit, gelombang itu merangsek ke arah kota dan membenamkan se¬mua manusia, rumah, toko, dan en¬tah apa lagi yang dilindasnya.
Cukup lama dirasakan dirinya terseret dalam gelombang maut yang arusnya luar biasa kuat, sembari beberapa kali dirinya termi¬num air laut yang penuh lumpur itu terombang ambing entah berapa lama hingga akhirnya terdampar dengan baju compang camping tanpa alas kaki di daerah Lamteumen yang jaraknya kurang lebih 3,5 km dari rumahnya di Ulee Lheu.
Dicobanya berjalan tertatih melewati air berlumpur yang telah mulai surut itu, yang penuh dengan puing dan tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan. Pedih hatinya, beberapa orang dari yang selamat adalah orang-orang yang dikenalnya dan secara bersama mereka mencoba melakukan pencarian terhadap anggota keluarga mereka yang berhilangan.
Dengan tubuh lelah dan penuh luka, berbekal semangat yang masih menyala untuk menemukan anak istrinya, dibalikkannya setiap mayat yang tertelungkup dengan doa bahwa si mayat adalah bukan orang yang dikenalnya, apalagi anak dan istrinya. Tak henti dipanjatkannya permohonan pada Ilahi agar disisi lain tanah ini, anak dan istrinya masih diberi kesempatan untuk melanjutkan kehidupan.
Pencarian demi pencarian tidak memberikan hasil yang memuaskan, apalagi saat dia mencapai lokasi rumahnya keesokan harinya, yang telah tak berbekas, tenggelam dalam lautan, perih hatinya.... hilang sudah harapannya, sekuat apa istri dan anaknya melawan gelombang maha dasyat itu? Dia sendiri hampir saja menghadap sang pencipta jika memang tidak diberikan kesempatan kedua oleh Ilahi...
Namun kata ‘kesempatan kedua’ ini menerbitkan harap di kalbunya. Semoga anak istrinya juga diberi second chance oleh sang Pencipta. Tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang kian lemah, dia mencoba menelusuri tumpukan demi tumpukan mayat, mencoba mendeteksi sambil berharap agar si mayat tetap bukan orang yang dikenalnya. Dikunjunginya camp pengungsi demi camp pengungsi, rumah sakit demi rumah sakit, namun yang dicarinya tidak juga kunjung bertemu.
Pencarian itu begitu melelahkan, terutama kelelahan batin yang menderanya tak mampu dilukiskan. Siang malam bayangan ketiga wajah manusia terkasihnya itu muncul di pelupuk mata dan menghiasi tidurnya yang tak lagi sempurna. Jeritan minta tolong anak dan istrinya seakan tak pernah sirna, selalu setia mengunjungi di setiap tidurnya.
Sekuat-kuatnya Fachry, dia tetap manusia biasa, sama seperti manusia senasib lainnya (wanita maupun pria), trauma kehilangan anak dan istri/suami menjadi penyakit utama yang setia mendampingi. Hampir saja dia menjadi gila jika tidak mendapatkan trauma healing dari sebuah NGO yang memang specialist dalam melakukan pengobatan psikis akibat trauma.
Pertemuan yang sangat kebetulan di sebuah mesjid antara Fachry dan salah satu staff NGO ini, membawanya berkenalan dengan seorang psikolog luar negeri yang pada masa itu sedang gencar-gencarnya membantu para korban tsunami. Perlahan Fachry berhasil memaafkan dirinya sendiri, dan bersedia untuk kembali memberi dirinya kesempatan melanjutkan kehidupannya, kembali pada pekerjaannya, mencoba menata kembali kehidupannya yang porak poranda.
Fachry dan keluarganya (ayah dan ibunya serta adik-adiknya) yang semuanya berdomisili di luar Aceh, sungguh bersyukur dengan pencapaian Fachry, yang kini telah mampu merajut kembali kehidupannya, kembali pada pekerjaannya, walau untuk membina kembali sebuah rumah tangga, Fachry belum berani.
Ingatannya pada anak dan istri yang telah dibawa gelombang tsunami, membuatnya ingin tetap setia pada mereka, dan tidak ingin membuka pintu hatinya bagi wanita lain dan calon buah hati lainnya.
Miris memang, dan rasanya mustahil ada kenyataan yang seperti ini. Biasanya para pria, yang bernasib seperti Fachry, banyak yang sudah memulai rumah tangga baru, dan telah ikhlas meninggalkan almarhum anak dan istri mereka. Namun Fachry masih terpaku pada masa lalu. Dan Fachry akan sangat marah jika hal ini diungkit dan diluruskan, karena dia merasa, dia cukup bahagia dengan keadaannya saat ini.
Dan hari ini, tepat pukul 3.25 dini hari, Fachry tersentak kaget, terbangun dari tidurnya, karena mimpi yang sama, yang telah mendatanginya secara berturut-turut setiap tahun setelah peristiwa tsunami, kini kembali hadir. Tak ada yang berubah pada mimpi itu. Persis. Sama persis. Oh Tuhan, apa artinya ini? Masih hidupkah mereka? Beri hamba petunjuk ya Allah....
Hampir gila rasanya Fachry menerjemahkan mimpi ini, apa artinya ya Allah? Beri hambaMu petunjuk ya Allah. Laki-laki itu bangkit dari tidurnya, berlari ke kamar mandi, berwudhu, dan shalat. Bacaan demi bacaan shalatnya dilakukan sambil menangis....
Sungguh menderita batinnya, mimpi itu datang lagi, sungguh jelas, tapi sulit sekali ditebak artinya. Semua yang terlihat di mimpinya persis seperti video recording sebuah kejadian. Kejadian saat gelombang maut itu menggulung mereka. Terlihat jelas dalam mimpi itu saat dia menggendong kedua anaknya dan memanggil istrinya untuk bergabung dengannya diluar rumah. Kemudian rentetan kejadian saat mereka diterjang gelombang hingga akhirnya genggaman tangan mereka saling berlepasan.
Kemudian dalam mimpinya itu terlihat jelas dirinya terseret arus dan terdampar di Lamteumen, sementara istri dan kedua anaknya terombang ambing, terseret ke tengah lautan. Ingin dia melihat lebih jauh, namun selalu saja detik berikutnya setelah istri dan anaknya menangis meminta tolong, dirinya pun terbangun dari mimpi itu.
Oh Tuhan, apa artinya ini? Kemana gerangan mereka ya Allah, masihkah mereka hidup? Jika iya, dimana? Mengapa tiada kabar untuknya? Kalaupun sampai terhempas ke negara lain, pasti istrinya akan mengabari. Atau mungkin terjadi amnesia? Mungkinkah? Oh Tuhan........
Fachry merasa akan menjadi gila setiap mimpi itu mendatanginya. Dan ini adalah kali yang ke ketujuh. Dan tetap tanpa tambahan informasi.
Laki-laki itu menangis tersedu di atas sajadah, tak sanggup berfikir jernih. Nina, adik perempuannya yang kebetulan sedang berkunjung mendengar tangisan itu, dan menyeruak masuk dan memeluk sang kakak.
Sebagai seorang psikolog, si adik sangat faham derita batin yang mendera kakaknya itu. Dibiarkannya sang kakak menangis dipelukannya, menumpahkan segala kepedihan hatinya, baru nanti dia akan mencoba untuk berdialog dengan sang kakak.
Benar saja, tanpa sungkan, Fachry bercerita tentang mimpi yang telah setiap tahun hadir di malam kejadian tsunami. Dan tercengang sang adik mendengarnya...
Sungguh aneh mimpi ini, pertanda apakah? Oh Tuhan... Hanya Engkau yang Maha Tau apa yang sebenarnya telah terjadi pada anak-anak dan istri Fachry. Nina tidak menemukan solusi pemecahan persoalan ini, belum pernah ada kasus yang seperti ini dan terlebih dia sendiri kurang begitu percaya dengan mimpi-mimpi, tapi mendengar cerita Fachry, sungguh membuat wanita ini terpengarah, ada apa dibalik semua ini?
Sangat dipahaminya jika sang kakak menjadi so blue, besok adalah hari kejadian itu, hari dimana kakak tercintanya ini kehilangan 3 orang penting dalam waktu yang bersamaan dari kehidupannya. Akan ditemaninya si kakak melaksanakan ritual tahunannya besok pagi. Mengunjungi kuburan massal di Blang Bintang dan Ulee Lheu, menaburkan bunga serta membacakan yasin disana.
Setiap tahun Fachry memang rutin melakukan hal ini, mengunjungi semua kuburan massal yang ada, karena dia tidak tau persis, di kuburan massal yang mana anak-anak dan istrinya bersemayam. Tapi terlebih dahulu, Fachry melakukan ritual pembacaan yasin nya di Mesjid Raya Baiturrahman, baru dilanjut dengan berkunjung ke kuburan massal.
Hari masih pagi, 6.25 Wib. Nina telah bersiap diri, takut ketinggalan oleh kakaknya yang ternyata sesuai dengan dugaannya memang menjadi lebih pendiam, tak banyak bicara. Wajah tampan itu sangat murung. Perih hatinya menyaksikan kemurungan itu. Tak akan percaya dia jika hal ini bukan menimpa kakaknya, bahwa masih ada seorang suami yang begitu setia walau telah tujuh tahun ditinggal mati oleh istrinya. Masih setia tidak ingin menikah lagi. Hari gini? Masih ada? Jika dia tidak menyaksikannya sendiri, dia akan jawab, hari gini? MANA ADA!
Kuburan massal Blang Bintang terlihat ramai dikunjungi para keluarga yang kehilangan anak istri, suami, orang tua, kakak, adik maupun saudara lainnya yang merupakan korban tsunami, yang tidak berhasil terdeteksi keberadaan mayatnya.
Nina mengikuti langkah Fachry, menuju ke sudut kanan pemakaman dan meletakkan untaian melati kesukaan almarhumah istri kakaknya itu disana. Fachry telah mempersiapkan dua untaian melati untuk dua pemakaman massal yang akan dikunjunginya. Nina tak mampu meredam rasa haru yang menyesakkan dadanya. Ini adalah kali pertama dirinya mengikuti ritual tahunan kakaknya sejak sang kakak menjadi seorang duda, duda tsunami....
Fachry bersimpuh, membuka yasin kecil yang tampaknya memang akrab ditangannya itu. Mulai membacanya. Nina hanya menemani sambil melayangkan pandangannya ke berbagai penjuru. Tampak olehnya disudut lain, seorang wanita cantik juga duduk bersimpuh seorang diri, kusyuk membaca sebuah buku kecil ditangannya. Nina yakin itu adalah yasin yang sama seperti yang dipegang kakaknya. Disudut lain lagi, terdapat beberapa keluarga yang juga dengan wajah sendu sedang kusyuk berdoa. Semakin sesak rasa di dada Nina menyaksikan pemandangan syahdu itu, haru yang membiru.......
Tuhan, tabahkan para keluarga yang telah ditinggalkan ini, beri mereka kekuatan untuk melanjutkan kehidupan di the second chance you gave them ya Allah, seperti juga tabahkan dan beri kekuatan pada kakak hamba agar dapat melanjutkan kehidupannya, bukakan pintu hatinya ya Allah agar dapat menemukan dan menerima wanita lain sebagai pengisi dan pendamping hidupnya.
Getar handphone di kantong Nina membuat doa dalam hati itu terhenti sejenak, diambilnya hp dan dibacanya pesan yang ternyata dari sang ibunda yang menanyakan kabar dan kondisi Fachry. Tentu saja bunda sangat kuatir dengan keadaan kakaknya, dan sebagai ibu, tentu bunda dapat merasakan kegelisahan kakaknya sejak tadi malam. Itu juga yang membuat bundanya sudah mengirimkan puluhan sms padanya sejak malam tadi, menanyakan kabar kakaknya itu.
Nina memberikan laporan pandangan mata tentang situasi di kuburan massal dan juga keadaan kakaknya pada sang bunda, dan kemudian melanjutkan perjalanan bersama sang kakak ke kuburan massal lainnya. Juga dengan ritual yang sama. Nina mengikutinya dengan ikhlas dan penuh kesabaran dan kasih sayang. Matanya tersentak saat menangkap bayangan wanita cantik yang tadi dilihatnya kusyuk berdoa di salah satu sudut kuburan massal Blang Bintang kini juga telah hadir di kuburan yang satu ini. Mungkinkah wanita cantik ini juga mengalami nasib yang sama seperti kakaknya?
Helaan nafas panjang Nina adalah ekspressi batin akan kepasrahannya akan garisan nasib yang telah ditakdirkan oleh Sang Pencipta. Siapa yang bisa meramalkan dengan pasti setiap langkah, rezeki, pertemuan dan maut untuk setiap individu? No one, Just Allah the Mighty! Subhanallah ya Allah.....
paragraf sebelumnya ada
disini ya sobats,
Seorang dokter yang sedang bergegas masuk ke dalam ruang operasi...
Ayah dr anak yg akan dioperasi menghampirinya:
"Kenapa lama sekali anda sampai ke sini? Apa anda tidak tau, nyawa anak saya terancam jika tidak segera di operasi?", Labrak si ayah.
Dokter itu tersenyum dan berkata,
"Maaf, saya sedang tidak di Rumah Sakit tadi, tapi saya secepatnya ke sini setelah ditelepon pihak Rumah Sskit."
Kemudian ia menuju ruang operasi, setelah beberapa jam ia keluar dg senyuman di wajahnya.
"Alhamdulillah...keadaan anak anda kini stabil." Tanpa menunggu jawaban sang ayah, dokter tersebut berkata:
"Suster akan membantu anda jika ada yang ingin anda tanyakan." Dokter tersebut berlalu.
"Kenapa dokter itu angkuh sekali? Dia kan sepatutnya memberikan penjelasan mengenai keadaan anak saya!" Sang ayah berkata pada suster.
Sambil meneteskan airmata suster menjawab:
"Anak dokter tsb meninggal dlm kecelakaan kemarin sore, ia sedang menguburkan anaknya saat kami meneleponnya untuk melakukan operasi pd anak anda. Skrg anak anda telah selamat, ia bisa kembali berkabung."
JANGAN PΕRNΑН TERBURU2 MENILAI SESEORANG...
Tapi maklumilah tiap jiwa di sekeliling kita yang menyimpan cerita kehidupan tak terbayangkan di benak kita...
Αdα air mata dibalik setiap senyuman...
Αdα kasih sayang dibalik setiap amarah...
Αdα pengorbanan dibalik setiap ketidak pedulian...
Αdα harapan dibalik setiap kesakitan...
Αdα kekecewaan dibalik setiap derai tawa...
Semoga bermanfaat! Semoga kita menjadi manusia dg rasa maklum yang semakin luas dan bersyukur dg apa yg telah miliki dlm hidup ini. Ingat, kita bukan satu2nya manusia dg segudang masalah...
paragraph sebelumnya ada disini sobs
Bener dugaanku, si mba tensinya rendah banget, 90/70. Dan asam lambungnya kumat, makanya pusing, dan mual2. Selidik punya selidik, ternyata sudah seminggu si mba ga sarapan dan makan siang, jadi dia hanya makan di malam hari saja, saat aku dan Intan pulang ke rumah. Barulah kami makan malam bareng. Dasar bandel. Alasannya malas keluar rumah. Sejak elpiji jadi barang langka tapi ga antik, dapurku gagal untuk berasap sobs. Setiap hari kutinggalkan sejumlah rupiah untuk si mba membeli sarapan dan makan siangnya. Sementara Intan, sarapan dan makan siang memang sudah disediakan di sekolah. Sementara diriku sendiri, gampang banget, kantin di kantor kami available sampe sore. Aman lah.
Nah si mba? bisa-bisanya ga makan. Efeknya ya begini? lemes, lesu, pusing dan mual. Komplit deh. Kalo ga kupaksa ke dokter tadi pagi, tetap aja dia tahan-tahankan sakitnya itu.
Well, selesai diperiksa dan mendapatkan obat, aku dan si mba ga langsung pulang, masih harus cari sarapan dulu, biar si mba bisa minum obat setelah itu. Barulah kemudian, saat telah di rumah, aku langsung buka laptop, dan mulai lanjut utak-atik sambil chatting dengan sang misua yang ternyata udah ga sabar mau lihat istrinya yang cantik dan seksi. HALAH..... GR banget ih Alaika.
Nah sobats, aku yakin pasti sobats semua juga merasakan hal ini. Bahwa rasanya sulit banget berpindah dari layar monitor jika kita sedang ngulik2 blog kita kan? saking asyiknya, ga terasa matahari telah meninggi. Jarum jam juga telah berpindah beberapa angka ke arah yang lebih besar. Ampun deh. Ini juga yang aku alami sobs.
Dari tadi malam, mata dan pikiranku tersedot habis oleh blog Sea of Life ku ini, yang tanpa angin tanpa hujan, kemarin siang aku tilik, kok tampilannya ringsek, Blog kumpulan fiksi dan kumpulan kisah kehidupan ini, yang tadinya bertemplate seorang wanita yang berdiri dibawah pohon, kok bisa2nya terputus pinggangnya. Siapa yang berani2nya memenggal pinggangnya??? Oh may...
Akhirnya, mau tak mau, aku harus merepair template itu, sebelum merusak penglihatan para sobats maya yang berkunjung.
Dan... jadilah aku tenggelam dalam utak atik template itu sepanjang malam tadi. Tenggelam bukan saking ahlinya sih sobats. tapi justru karena diriku bukahlah seorang maestro dalam utak atik berbagai kode html, CSS or opo meneh lah iku. Melainkan karena aku hanya seorang blogger awam, yang tidak begitu mengerti akan hal itu.
Akhirnya, terpaksa minta bantuan maha guru, sopo meneh sobs, yo mbah Google dunk. Hehe.
Terinspirasi oleh header template 'My Virtual Corner' yang murni menampilkan foto diri. Aku terpancing untuk designing another header for my Sea of Life.
Maka setelah utak atik sekian lama, bekerja di dua laptop, (terpaksa sobs, ternyata untuk bikin header menggunakan Xheader software, harus balik lagi ke laptop lama, HP kantorku, karena XHeader software ternyata belum compatible di mac). Akhirnya, beginilah template Sea of Life ku kini.
Ga bikin sakit mata kan sobs? cukup menarikkah?
Tentang cara membuat Header template seperti yang kita inginkan, akan aku posting di artikel berikutnya ya... itu juga jika sobats berminat lho....
Klik disini untuk paragraf sebelumnya yaa..,
Jadilah Kania ikut aku sejak saat itu, dan Alhamdulillah tak lama setelah kedatangannya dan sering kubawa ke kantorku, terbuka juga sebuah peluang baginya untuk bisa bergabung menjadi salah satu pekerja kemanusiaan di tempatku bekerja. Mendapatkan gaji yang sangat lumayan, sehingga dia bisa mulai membantu ayah ibunya. Perjalanan hidupnya semakin baik dan cerah, berbanding terbalik dengan kehidupan rumah tanggaku yang akhirnya berhasil aku patahkan setelah berjuang cukup lama di pengadilan, membebaskan diri dari prahara rumah tangga yang tak lagi mampu terselamatkan.
Aku menyayangi Kania setulus hatiku. Bagiku, dia tetap keponakanku walau hubunganku dengan Oom nya, adik kandung ibunya telah resmi putus. Kania masih kubawa kemanapun aku tinggal hingga kemudian dia menikah. Menikah dengan Raja yang juga bekerja di lembaga yang sama.
Aku adalah orang pertama yang diinterogasi oleh ayah ibunya saat Kania memberitahu mereka bahwa kini dia pacaran dengan Raja. Aku adalah orang pertama yang diserahi tanggung jawab untuk menjaga Kania. Karena akulah yang membawanya kemari.
Dan aku adalah orang pertama yang berbahagia mengetahui Raja meminang Kania, dan merencanakan untuk menikah ditahun berikutnya. Aku tulus mencintai keduanya, bahkan hubunganku dengan Kania terasa lebih akrab dibandingkan hubunganku dengan adik2ku sendiri.
Kedekatan hubunganku dengan Kania, dan keakrabanku dengan mantan kakak-2 iparku, justru membuat ayah Intan marah dan memusuhi mereka. Hingga tak mau hadir saat pernikahan Kania dan Raja dilangsungkan.
Kuhantar mereka ke pelaminan. Kusaksikan bahagianya sorot mata keduanya saat aku meng-capture foto2 perkawinan mereka di kamar tidur.
Kepindahan Kania ke rumah suaminya, telak membuatku kesepian, karena Intan masih tinggal di Medan kala itu. Aku otomatis tinggal seorang diri di rumah yang kami sewa. Kania juga terasa jauh sejak itu, namun kucoba memaklumi karena pasti dia sedang menikmati rumah tangganya yang baru saja dia masuki.
Tentu keindahan dan kebahagiaan yang mewarnai kehidupan mereka membuat pikiran tak sempat lagi terbagi. Ada sebuncah kesedihan ditinggalkan, tapi aku tentu tak boleh cemburu. Kebahagiaan mereka adalah hal utama, apalagi kemudian Kania diterima bekerja di sebuah perusahaan Negara terkemuka di negeri ini. Kantor kami selesai masa baktinya. Aceh dan Nias selesai direcovery. Maka kamipun harus pindah haluan. Mencari pekerjaan baru untuk melanjutkan kehidupan.
Kania kemudian pindah ke Palembang, sementara Raja menjadi dosen di sebuah Universitas terkemuka di Banda Aceh ini. Kesibukan semakin membuat kami tidak pernah lagi saling menyapa. Bahkan di yahoo messenger pun aku jarang mendapatkan sapaan hangat dari keponakanku itu. Mungkin dia sibuk.
Hingga kemudian kudengar berita, bahwa Raja sakit. Leukemia. Berita itupun kudapat dari Sonya, mantan adik iparku (yang sampai kini masih seperti adik kandungku sendiri), dan sayangnya juga telah lama dilupakan oleh Kania. Padahal setauku Sonya juga sangat sayang pada Kania.
Tak satupun dari kami, juga teman2nya yang pernah menyangka bahwa Raja mengidap penyakit maut ini. Sewaktu di lembaga kami yang dulu, Raja terlihat begitu sehat, gagah, ceria dan sigap. Sungguh diluar dugaan jika Leukemia ini ternyata telah mencengkramnya diam-diam. Pilu hatiku mendengarnya. Apalagi saat Sonya menginfokan padaku bahwa ibunya Kania sudah menangis tersedu karena dokter telah memvonis bahwa Raja tak akan mampu bertahan lama lagi.
Perjalalan hidup seorang anak manusia memang telah diatur sedemikian rupa. Raja mampu bertahan, pasang surut dalam penderitaannya. Sayangnya aku hanya berkesempatan bertemu dengannya sekali dua kali saja, karena walaupun Kania telah kembali pindah ke Banda Aceh, tapi hubungan kami tetap sejauh dulu, saat dia di Palembang.
Aku berusaha untuk tidak berkecil hati, walau sebenarnya hatiku pilu. Bukan. Bukan aku ingin mengungkit budi baikku terhadapnya. Bukan. Hanya sedih saja, karena aku menyayanginya setulus hati. Namun aku tetap berusaha menyakinkan dan membujuk hatiku bahwa Kania sedang sibuk. Banyak hal yang harus dihadapinya. Jadi aku harus maklum. Apalagi suaminya sedang sakit.
Bisa dihitung dengan jari pertemuan kami, walau sebenarnya jarak tempat tinggal kami sangat dekat. Bahkan di hari raya Idul Fithri maupun Idul Adha pun, keduanya tidak lagi mengunjungiku atau setidaknya Umiku, orang yang telah menerimanya saat pertama kali masuk kota Banda Aceh ini. Orang yang telah merawatnya kala asam lambungnya kumat. Ya sudahlah, mungkin dia sibuk. Mungkin Raja sakit, makanya Kania ga bisa bergerak kemana-mana.
Hari ini, kali ketiga aku kembali ke rumah ini. Rumah Kania yang indah.
Kali pertama aku hadir disini adalah untuk mengantar dirinya yang saat itu jadi pengantin. Aku sebagai ‘tante’nya tentu harus hadir.
Kemarin adalah kali kedua rumah ini aku kunjungi. Untuk melayat setelah mendapatkan kabar duka, bahwa Raja telah berpulang ke rahmatullah.
Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun.
Bahkan kabar duka ini tidak aku dapat dari Kania, melainkan dari Sonya di Medan. Aku maklum, mungkin Kania kalut, panic. Tak perlu aku berkecil hati, apalagi ini masalah dukacita. Segera kujemput Umiku untuk mengunjungi rumah duka kemarin.
Barulah aku dapat info lengkap, bahwa Raja telah sepuluh hari di Penang sana, untuk Kemoterapi. Kali ini kepergian Raja ditemani oleh ibundanya, karena bulan lalu sudah ditemani oleh Kania. Tentu Kania tidak bisa sembarangan meninggalkan pekerjaannya, sehingga haruslah bergantian dengan sang ibu mertua dalam menemani Raja berobat ke Penang sana.
Dan dua hari lalu, setelah Kemo, Raja merasakan dadanya sesak, sehingga segeralah ibundanya membawanya ke rumah sakit yang butuh waktu 1 jam an untuk mencapainya. Sayangnya di tengah perjalanan, Raja tak mampu lagi bertahan. Menghembuskan napas terakhirnya dan menghadap sang Pencipta.
Hari ini, kali ketiga aku kembali ke rumah ini.
Menetes airmataku menatap ketabahan Kania. I still love you dear. I do care for you….
Tak tahan rasanya membendung airmata ini, apalagi saat mba Ira, tantenya Kania, mantan kakak iparku membisikkan bahwa tadi siang Kania sempat pingsan, saat BB Raja diserahkan ibu mertuanya pada Kania. Membuka dan membaca beberapa sms2 terakhirnya yang sudah terkirim padanya, langsung dari sumbernya.
Merinding rasanya mendengarkan isi sms2 itu yang diantaranya Raja meminta agara Kania nanti dandan yang cantik saat dia kembali. Agar Kania tersenyum manis menyambut kedatangannya.
Oh My God, sepertinya dia telah tau bahwa dia akan segera pergi. Pantas saja Kania pingsan.
Penunjuk waktu di BBku telah menunjukkan angka 6.25 pm saat bunyi sirine ambulance di luar rumah. Kami menanti dengan perasaan tak menentu. Aku duduk disamping kedua mantan kakak iparku (mba Ira dan Mba Silvi, mamanya Kania), sementara Kania duduk di samping mamanya diapit oleh ibu mertuanya di sebelah kirinya.
Di hadapan kami telah terbentang sebuah kasur yang dipersiapkan untuk menerima peti jenazah yang sebentar lagi akan masuk.
Kuyakin Kania telah bersiap untuk memberikan senyum terindahnya bagi suami tercinta, sebagaimana juga dia telah berdandan cantik sesuai permintaannya.
Salut dengan kekuatan dan ketabahan yang dimiliki oleh Kania. Tak kulihat lagi setetespun air mata di pipinya. Justru airmata itu kini pindah ke mataku. Merebak dan berjatuhan tak terbendung. Intan menggenggam jemariku, juga tak mampu menahan airmatanya. Segera kuhapus airmataku, takut tertular pada Kania. Sementara airmata yang lebih deras mengalir dari pipi ibunda Raja dan kakak perempuannya yang duduk di sebelah kiri.
Peti jenazah diusung perlahan, dan kini tepat dibaringkan disamping kasur, sedianya nanti, tubuh Raja akan diangkat dan dibaringkan sejenak di atas kasur di hadapan kami.
Kutatap peti yang terbungkus rapi oleh kain putih itu. Seseorang yang tak kukenal kemudian menyerahkan passport dan beberapa berkas lainnya milik Raja pada Kania. Wanita itu menyambutnya sementara tangan kirinya tak lepas memindahkan biji tasbih dari satu ke yang lainnya. Berzikir menguatkan hati agar tangisnya tak tumpah.
Tutup peti jenazah kemudian dibuka, dan serta merta menyeruak bau yang agak menyengat. Aku sama sekali tak menutup hidungku. Beginilah akhir perjalanan kita, pada saatnya nanti. Bau menyengat tentu saja, mengingat Raja baru berhasil sampai di rumahnya ini setelah tiga hari menghembuskan napas terakhirnya.
Perjalanannya cukup panjang. Setelah ditinggalkan oleh ruhnya sekitar jam 5 sore waktu Malaysia, jasadnya harus menjalani berbagai proses prosedural untuk bisa kembali ke tanah air. Jasad ini harus menempuh perjalanan panjang dari Penang ke Kuala Lumpur, urusan prosedural di KBRI Kuala Lumpur, lalu harus menunggu pesawat yang available membawanya ke Medan. Tak ada pesawat airbus yang available membawanya langsung ke Banda, sehingga harus via Medan. Dari Medan harus pindah pesawat lagi, ke Banda Aceh. Hingga baru di hari ketiga inilah, jasad Raja berhasil sampai di rumahnya, untuk disemayamkan sejenak di rumah duka, lalu lanjut ke masjid untuk dishalatkan, baru kemudian dibawa ke peristirahatannya yang terakhir.
Pilu hatiku menyaksikan ini semua. Apalagi saat pihak keluarga memutuskan untuk tidak jadi mengeluarkan jasad Raja dari dalam peti untuk dibaringkan di atas kasur, mengingat ini sudah hari ketiga, kasian jika harus diangkat2 berulang kali. Maka akhirnya, peti jenazahnya lah yang akhirnya ditempatkan di atas kasur, untuk kemudian dibuka kain kafan bagian wajahnya, agar Kania, ibunda Raja dan keluarga dekat lainnya dapat melihat dan mencium untuk terakhir kalinya.
Tak mampu kutahan airmataku saat Kania, dengan tabah tanpa setetes airmata pun mencium kening dan wajah suaminya yang terlihat membiru.
Justru aku yang tersedu sedan. Kutahan isak tangis sekuat tenagaku. Ingatanku melesat jauh. Aku yang membawa Kania kesini, dan mempertemukannya dengan Raja, kini Raja telah pergi, dan Kania tinggal seorang diri. Oh Tuhan….
Dulu kuhadir di pesta meriah perkawinan mereka, kini ku hadir lagi setelah sekian lama tak pernah saling bersua, untuk menghantar kepergian Raja, selamanya.
Pedih hatiku. Sesak dan sakit tenggorokanku menahan isak tangis yang menyiksa ini.
Kania masih mampu bertahan, dengan tabah ikut serta mengikuti jenazah yang diangkat oleh beberapa pemuda, menuju masjid. Aku yang sedang tidak boleh Shalat), Intan, mba Ira dan mamanya Kania memutuskan untuk tinggal di rumah, bersama beberapa sanak keluarga Raja yang lainya.
Sungguh kami salut dengan ketabahan Kania menghadapi musibah ini, dan mempersembahkan senyum termanisnya untuk sang kekasih hati. Mba Silvi dan mba Ira bilang bahwa mereka memang menguatkan Kania sejak dia siuman tadi dengan beberapa sugesti. Bahwa Kania harus kuat, karena sayang banget jika sampai pingsan, artinya Kania ga akan punya kesempatan untuk melihat Raja terakhir kalinya. Apalagi Raja berpesan agar Kania memberinya senyum manis saat dia kembali, artinya Kania harus mampu meluluskan permintaan terakhir Raja…
Aku setuju dengan semua itu, dengan kebanggaan itu. Karena aku sendiri juga bangga dengan ketabahan Kania. Tapi aku kuatir, dibalik itu semua, dibalik keteguhan dan ketegarannya, Kania justru sedang menghadapi reruntuhan hatinya yang porak poranda. Ilmu trauma healing yang diajarkan oleh atasanku di Medical Team International dulu cukup membekas di hati. Bahwa seseorang bisa saja bersikap tegar, menunjukkan sikap kokoh, tapi seorang manusia, sekuat apapun dia, sehebat apapun dia, pasti akan hancur hatinya jika harus kehilangan seseorang yang dikasihinya.
Jadi adalah sangat lumrah, jika ekpressi kehilangan itu disalurkan keluar, baik melalui tangisan, tulisan, atau media lainnya. Yang penting disalurkan keluar. Tidak dipendam di dalam hati, karena itu akan menjadi bibit penyakit yang siap untuk menghantam dan menghancurkan dirinya.
Itu juga sebabnya, kenapa kami menggelar kegiatan trauma healing bagi para korban tsunami kala itu. Karena para korban tsunami yang telah mengalami bencana dan kehilangan satu, dua, tiga atau bahkan seluruh anggota keluarganya itu, perlu difacilitasi untuk bisa menyembuhkan trauma batin itu. Ya itu tadi, dengan memancing, memfasilitasi agar deraan batin ini bisa disalurkan keluar.
Kuutarakan hal itu pada kedua mantan kakak iparku, bahwa, sebaiknya, besok lusa, atau bahkan nanti malam, jika Kania mengutarakan rasa hatinya, kegalauannya, kesedihannya, jangan dilarang untuk menangis, biarkan dia mengeluarkan kepiluan batinnya. Agar rasa sakit kehilangan itu bisa keluar dan tidak mengendap menjadi penyakit batin yang justru dapat membahayakan jiwanya. Kalo perlu pancing dia untuk bisa menangis, tapi tentu jangan sampai keterlaluan donk.
Kucontohkan sebuah kisah yang pernah kubaca, bagaimana seorang istri yang begitu tabah mengantar kepergian sang suami selamanya, dengan sebuah senyum ikhlas, ketegaran yang membuat siapapun berdecak kagum, tak pernah menangis. Wanita itu berubah menjadi seorang yang pendiam, kosong pandangannya, dan akhirnya menjadi sakit jiwa.
Mba Silvi sangat kuatir mendengar kisahku itu, dan berjanji akan menjaga Kania dengan baik dan akan memancingnya untuk mengeluarkan segala kepahitan dan kepedihan yang dirasakannya.
Penunjuk waktu di BB ku telah menunjukkan angka 8.45 malam, saatnya aku mengantar mba Ira ke terminal bus, karena beliau harus kembali ke Medan, besok harus kembali bekerja. Dan ternyata mba Silvi, malah minta ikut segala karena takut sendirian berada di kamar Kania dan Raja. Para pengantar jenazah tentu masih lama kembali,
Aku geleng-2 kepala, Intan tertawa geli sampai aku cubit lembut tangannya agar berhenti tertawa. Gak enak kan di lihat keluarga Raja, orang musibah kok ketawa2. Gimana ga coba sobs, masak mba Silvi, sama menantunya kok takut. Emang mba yang satu ini terkenal penakut. Apalagi sama hantu. Masalahnya ini kan menantunya gitu lho. Masak takut sih.
Well sobats, setiap kita memang telah punya kisah perjalanan tersendiri, yang bahkan kita sendiripun tak mampu menebaknya. Kehidupan kita adalah sebuah lakon kehidupan, yang hanya diketahui persis oleh sang penulis skenerionya, sang Maha Kuasa, Allahu Rabbi. Semoga goresan kisah kehidupan kita hendaknya dapat berakhir indah ya sobats… dapat meninggalkan manfaat bagi sanak keluarga, handai tolan, agama dan bangsa ini. Amin.
Kepada keponakanku Raja, semoga amal ibadahmu diterima Allah SWT, lapangkanlah kuburnya ya Allah, tempatkan dia di tempat yang layak disisiMu ya Rabbi. Berikan juga ketabahan dan kekuatan bagi Kania dan keluarga keduanya dalam menghadapi cobaan ini. Amin Ya Rabbal Alamin.
Rest in peace my dear nephew...
Klik disini untuk paragraf sebelumnya,
Seperti yang sudah dijanjikan
dalam kisah sebelumnya, kami bertemu di Mesjid Raya Baiturrahman tepat sebelum azan Maghrib, jadi bisa shalat Maghrib berjamaah dulu di Mesjid yang indah kebanggaan masyarakat Aceh ini.
Saya sendiri suka sekali berlama-lama di Mesjid Raya ini sobs, adem gimanaaa gitu. Yang paling saya suka adalah bersujud diatas batu marmernya yang sebesar sajadah ukuran large, yang begitu sejuk.
Jarang saya melihat jamaah yang mempergunakan sajadahnya melapisi marmer ini, sepertinya semua sependapat dengan saya bahwa ada aliran udara menyejukkan mengalir ke dahi kita saat kita bersujud, menempelkan dahi dan hidung kita di marmer yang begitu mengkilat ini.
Halah kok malah jadi review tentang marmer sajadah sih. Emanglah ya… saya tuh kalo udah nulis suka ngalor ngidul dan ga fokus ih.
Well sobats maya tercinta,
Back to Safira’s topic, setelah maghrib-an, dan saat jamaah2 lain satu persatu meninggalkan Mesjid, kamipun menyingkir dan mengambil tempat di sisi kiri Mesjid, disamping pilar kokoh yang menjulang menyangga rumah Allah yang tak habis-habisnya saya kagumi ini. Indah banget sobs.
Ok, mari focus ke Safira. Sungguh kaget saya saat pertama kali bertemu dengannya tadi, setelah lebih dari 2 tahunan tidak pernah lagi bertemu. Safira yang dulu begitu seksi, kini terlihat kurus dan kuyu. Beban hidup yang begitu mendera batinnya benar2 telah menyedot secara perlahan berat tubuhnya, membuat kulitnya yang putih cerah juga jadi kusam dan tidak sekencang dulu lagi. Duh, wanita… begitu sering kita ini menjadi korban kesewenang-wenangan….
Tak banyak bicara ini itu lagi, kami langsung fokus ke permasalahan. Safira membuka laptopnya, dan menunjukkan beberapa table yang telah dibuatnya sesuai permintaan saya via telephone tadi siang.
Tabel pertama menggambarkan tentang problem assessment yang point-pointnya cukup jelas. Saya cukup puas dengan hasil kerja sang dokter ini. Terlihat jelas the current situation of her marriage life. Juga sebuah table tentang kebaikan dan keburukan Rendi juga sudah terisi lengkap.
Kami memulai pembahasan dengan serius. Safira berhasil menepiskan segala kesedihannya dan tampil dengan penuh semangat saat saya memintanya untuk ‘mempresentasikan’ situasi terkini rumah tangganya itu. Dan saya menangkap semangatnya yang menggebu untuk bangkit dan menata kembali rumah tangga dan kehidupannya saat saya mencoba meresponse setiap point dan mendiskusikannya bersama.
Saya bisa melihat, goal yang saya targetkan tadi siang dengan memintanya membuat problem assessment ini telah tercapai. Saya ingin Safira sendiri yang melakukannya, bukan saya, sehingga dia dapat merasakan semangat baru yang mengalir ke dalam tubuhnya, yang sekian lama terpuruk dalam kesedihan dan ketidakpastian.
Inilah point-point yang telah dibuat Fira (dalam huruf hitam) dan response/masukan saya in blue;
Awalnya rumah tangga kami berjalan baik2 saja, manis dan harmonis layaknya rumah tangga baru lainnya. --> ok, no more comment
Kejadian ini (perselingkuhan Rendi) mulai tercium oleh saya saat saya harus meninggalkannya 1,5 bulan, guna melahirkan anak kami. Saya harus pulang ke Jakarta untuk ini, karena di Banda Aceh kami tidak punya siapa2 yang dapat menjaga dan merawat saya paska melahirkan.
--> Baru tercium? Ada kemungkinan gelagat ini juga sudah dimulai lama sebelumnya donk? Harusnya disinilah Rendi membuktikan bahwa dirinya adalah seorang suami yang baik, yang bertanggung jawab dan setia. Walaupun tidak dapat turut serta menemani sang istri saat mengeluarkan sang bayi dari rahimnya (selaku seorang Polis Militer dia tetap harus menjalankan tugasnya), setidaknya Rendi harus bersikap setia. Bukannya malah membiarkan dirinya kecantol dengan wanita lain.
Alih-alih menjadi suami yang baik, dan berusaha setia, apalagi disaat melahirkan, Rendi malah berani main gila dengan seorang perempuan penjaga sebuah café. Bahkan demi perempuan itu, saya akhirnya mengetahui bahwa harta benda kami (mobil dan barang-barang lainnya) kini telah terjual.
--> Komen awal hampir sama dengan di atas. Jatuh cinta kok dengan wanita yang tidak jelas kredibilitasnya? Itu sih namanya penghinaan tingkat tinggi. Masak Safira disejajarkan dengan seorang wanita murahan seperti itu? Sampai harus merelakan harta benda demi wanita itu adalah suatu kebodohan yang tidak dapat ditolerir lagi.
Rendi bukan hanya tergila-gila pada perempuan itu, tapi juga terjerumus pada kecanduan narkoba (shabu2) dimana perempuan itu juga menggunakannya. --> info dari teman-2nya Rendi.
-->; Ini adalah kelakuan yang sudah keterlaluan, kecanduan narkoba mengindikasikan suatu prilaku yang sesat. Apalagi sebagai seorang polisi militer, Rendi sudah tidak dapat berfikir waras, sudah tidak sayang dan tidak peduli lagi dengan keselamatan pekerjaannya, juga sudah tidak peduli pada keluarga dan lingkungan. Kecanduan Narkoba, adalah suatu hal yang sulit sekali disembuhkan, apakah dengan tambahan prilaku ini, Rendi masih punya nilai dimata Safira?
Saya sudah berusaha melaporkan hal ini pada ayah bunda Rendi (mertua saya), tapi mereka akhirnya lepas tangan karena Rendi malah memutuskan hubungan silaturrahmi dengan mereka, dan balik marah-marah pada saya, sebelum akhirnya dia kabur dari rumah.
-->; Hampir sama dengan komen diatas, bahwa Rendi sudah tidak peduli pada keluarga dan lingkungannya, bahkan pada diri sendiripun mungkin sudah tidak peduli. Jika ayah bundanya saja sudah lepas tangan, lantas apakah Fira yang harus membenahi ini semua? Sementara persentase keberhasilannya jelas tidak sampai 15% pun? Masih mau buang waktu untuk ini?
Saya juga mencoba melaporkan pada komandannya Rendi tentang hal ini, dan sang komandan mencoba untuk memberinya teguran tapi juga tidak membawa hasil. Saat dia menghilang pertama kalinya, komandan memerintahkan untuk mencari, menangkap dan akhirnya men-sel-kan Rendi, tapi setelah itu tetap saja semuanya kembali seperti semula. Rendi kembali pada perempuan itu, menghilang dari pekerjaan.
--> Masih mau mencoba mencarinya dan mengembalikannya ke kondisi semula? Sementara sudah terlihat jelas kelakuannya yang semakin memburuk. Pada kariernya pun sudah tak peduli. Masihkah ingin mengharapkan seorang suami yang seperti ini? Untuk apa? Untuk menjadi beban hidup?
Saya melapor lagi pada komandannya, tapi kali ini komandan meminta saya untuk sabar, dan ternyata, ini bukan yang kedua kalinya, bahwa jauh sebelumnya, sebelum menikah dengan saya dulu, Rendi juga sudah berulang kali kena skorsing. (oh My God).
--> Nah Loe, lalu nilai lebih apa yang masih bisa dibanggakan pada diri Rendi?
Saya, karena malu pada tetangga, dan sayang pada Ragil anak saya, mencoba mencari Rendi dengan bantuan info keberadaannya dari teman-teman Rendi. Saya mencoba mengalah pada suami saya dengan harapan dia mau kembali pada kami, saya meminta maaf padanya walau saya yakin saya sama sekali tidak punya kesalahan padanya. Namun Rendi malah marah-marah dan menghina saya habis-habisan ketika berhasil menemukannya. Dihadapan perempuan itu. Rasa malu yang menghantui saya sungguh tak dapat saya lukiskan.
--> See? Bahkan dengan mengalah untuk kebaikanpun tidak membuat hati Rendi bergeming, malah membalasnya dengan suatu penghinaan, dihadapan perempuan itu pula. Masih ingin mengalah lagi? Menyembah laki-laki yang sudah tidak waras itu? Setelah dipermalukan didepan sang rival? Kalo saya, jelas, saya akan dengan rela hati menyerahkan Rendi untuk perempuan nakal itu. Toh ga akan lama lagi dia akan jadi gembel, dan si perempuan itu pun akan berlalu meninggalkannya.
Sejak itu, saya terpuruk dalam kesedihan, merasa sangat terhina, malu pada tetangga, merasa kalah oleh seorang perempuan nakal seperti itu. Saya benar-benar kehilangan semangat dan ujung-ujungnya kuliah saya benar-benar terganggu.
--> Mindset seperti ini merugikan diri sendiri Fir. Harus diubah total. Sugestikan dirimu bahwa para tetangga itu berempati padamu, mereka prihatin pada nasibmu. Tak satupun dari mereka yang memandang rendah dirimu, justru mendoakanmu agar dirimu tabah dan bisa bangkit menyelamatkan hidupmu. Percayalah, justru Rendi yang dipandang sebelah mata oleh mereka. Kamu harus semangat, selamatkan hidupmu, panggil semangatmu. Jangan biarkan rasa rendah diri, rasa malu dan terhina itu menggerogotimu, dan mematikan logika berfikirmu.
Saya benar-benar tidak tau harus berbuat apa sampai pada titik ini.
--> Banyak yang harus kamu lakukan untuk mulai membenahi keruwetan ini. Mari kita bahas satu persatu secara rinci. Dari point-point itu, yuk kita bikin SWOTnya. Kita lihat Kekuatan yang ada, Kelemahannya apa, Peluang untuk memperbaiki keadaan ini seberapa besar dan ancaman (threat)nya seperti apa.
Saya tidak sedang ikut campur urusan rumah tangga orang lain sih, dan juga tidak sedang berusaha mengarahkan Fira pada keputusan menggugat cerai Rendi, tapi saya hanya membantu Fira melihat permasalahan ini dengan hati yang bersih dan pikiran yang sehat.
Saya bukanlah orang yang senang melihat teman-teman saya bercerai, walau saya juga bukan orang yang tabu untuk itu. Jika segala upaya untuk menghindari perceraian sudah tidak dapat ditempuh lagi, haruskan kita berpura-pura dan terus melanjutkan perkawinan kita dalam kebahagiaan semu?
Saya sendiri sudah pernah mengalaminya kok, sudah pernah berupaya menghindari perceraian dan akhirnya terpaksa menempuh jalan itu untuk menyelamatkan hidup saya dan Intan, putri saya.
Segalanya harus dipandang dengan hati bersih dan penuh perhitungan.
Well, back to Fira, sahabat saya ini berhasil memandang bahwa tidak perlu lagi dia merasa malu pada tetangga, atas kelakuan Rendi itu.
Justru dia harus menanamkan bahwa para tetangga kompleks asrama itu berada dipihaknya (hal ini sengaja saya tanamkan agar Fira dapat bangkit penuh semangat, jika sudah didahului rasa minder dan malu terhadap sekitar, maka jangan harap Fira mampu menegakkan wajah menghadapi kehidupan…).
Langkah selanjutnya yang saya lakukan adalah menyadarkan Fira dan menanamkan sugesti kuat ke alam pikirannya bahwa Dokter Safira Suryani adalah TIDAK pantas disetarakan dengan seorang perempuan nakal penjaga café. Itu adalah PENGHINAAN TINGKAT TINGGI yang telah dilakukan Rendi terhadapnya.
Pemikiran ini tentu akan mengarahkan Fira untuk bisa berhenti menangisi nasibnya yang ditinggal pergi dan dicampakkan oleh Rendi.
Jadi saya mengharapkan sugesti tadi mampu menyadarkan Fira untuk tidak meratapi kepergian Rendi, tapi menggantikan ratapan ini dengan sikap bahwa Rendi sudah TIDAK LAYAK lagi untuk ditangisi. Tidak Layak lagi untuk diharapkan kembali. Untuk apa? Untuk menyakiti hatinya lagi? Penghinaan yang dia lakukan saat Fira meminta maaf dan memohonnya kembali ke rumah sudah lebih dari cukup. Untuk mengoyak harga diri seorang dokter Safira.
Saya takjub juga dengan terapi ini, Fira menemukan kembali semangat hidupnya. Dan menyadari, bahwa sudah saatnya dia menghentikan airmatanya yang sudah begitu kerap tumpah sejak Ragil berusia 2 bulan, saat dia dan putranya itu kembali dari Jakarta ke rumah asrama mereka. Dan mendapati sang suami ternyata telah berpaling ke perempuan lain.
Selanjutnya Fira bertekad untuk membereskan kuliahnya (Fira sedang mengambil specialisasi) secepatnya, kemudian ingin kembali ke Jakarta, atau daerah lain selain Aceh.
Namun, disatu saat, airmata itu tiba-tiba mengalir,
‘Mba… tapi aq takut menghadapi semua ini. Terkadang aq merasa begitu malang, aq begitu sedih menyadari suamiku diambil orang. Sampai kapan kesedihan ini akan bersamaku?’
Saya maklum sekali dengan situasi ini. Saya sudah lebih dahulu mengalaminya.
‘Fir, percayalah, pasti kamu akan mampu mengatasi ini. Yang paling harus kamu ingat setiap perasaan sedih ini muncul adalah, ingat penghinaan-penghinaan yang dilakukan Rendi terhadapmu. Bangkitkan ingatan kamu terhadap keburukan2 Rendi, sehingga rasa benci dihatimu akan membantumu mengikhlaskannya pergi. Tapi sebelum itu, jawab saya dengan jujur, apa kamu masih cinta sama dia? Masih mengharapkan dia kembali pada kalian?’
Kalo saya dulu ditanya begitu oleh adik saya, saat saya kalut, jawaban saya adalah TIDAK.
Saya penasaran dengan jawaban yang akan keluar dari bibir Fira.
‘Ga mba, kita sudah bahas tadi, begitu banyak hal menyakitkan yang dilakukannya terhadapku 2 tahun terakhir ini. Dan juga sudah kita bahas tadi, sepertinya memang mustahil mengharapkan Rendi lepas dari narkoba, juga sikapnya sendiri memang tak peduli lagi sama kami. Untuk apa aq mengharapkan orang yang memang tidak lagi mencintaiku. Lagipula, suatu saat jika dia kembali padaku, aq akan siapkan diri untuk menendangnya jauh jauh mba.’
Saya tersenyum dan sependapat dengannya. Orang luar mungkin akan berpendapat, pernikahan harus setengah mati diupayakan untuk diselamatkan.
Tapi kalo saya sih bilang begini sobs, sebuah perkawinan memang harus diselamatkan, dengan syarat kedua belah pihak akan jujur dan bersungguh-sungguh untuk memperbaiki diri masing-masing demi kebaikan perkawinan mereka selanjutnya.
Tapi jika kemudian, mereka hanya berpura-pura saja, bertahan hanya karena sayang anak, tapi keduanya malah hidup dalam kebahagiaan semu, untuk apa? Bukan hanya diri sendiri yang tersiksa, tapi anak juga akan tersiksa. Tidak akan ada anak yang bahagia jika mengetahui ayah ibunya ternyata hanya bersandiwara di hadapannya.
Safira terlihat jauh lebih bersemangat. Pembicaraan kami yang panjang lebar menghasilkan kesimpulan seperti berikut ini (halah, seperti laporan apa gituuuu…. Hehe).
Bahwa Safira akan menunggu sampai Rendi dikeluarkan dari korps (komandan Rendi bilang bahwa dalam masa 1 bulan lagi jika Rendi tak juga kembali, maka dia akan dicopot dari korps nya), menjadi masyarakat sipil biasa, dan kemudian saat sudah ga punya apa-apa lagi, pasti perempuan itu juga tidak akan mau lagi sama Rendi. Barulah Fira akan menuntut cerai.
Saya setuju dengan pendapat Fira, dan juga tidak menganjurkan Fira untuk buru-2 sampai pada tahap cerai itu. Toh Fira tidak akan kemana2, juga tidak akan menikah dengan laki-laki lain (setidaknya untuk tahun ini?), jadi biarkan saja dulu mengalir apa adanya. Yang paling penting adalah, Fira harus menata kembali semangat hidupnya.
Fokus ke kuliah, beri perhatian pada Ragil walau hanya via telephone karena jarak yang memisahkan mereka, tetap jalin silaturrahmi dengan ibunya, yang telah bersedia menjaga Ragil, dan hadapi kehidupan dengan penuh semangat. Untuk sementara, Rendi’s issues singkirkan dulu. Anggap aja Rendi sudah tiada. Untuk amannya juga, saya sarankan agar Fira jangan pindah dari asrama (rencana Fira mau ngekost di dekat kampus kedokteran), sayangkan harus ngeluarin uang lagi buat kost. Juga agar Komandan juga bisa melihat bahwa Fira tidak bersalah, dan masih istri yang baik.
Fira setuju. Satu lagi wejangan (ya ampuuuuun… wejangan bo’) yang membangkitkan Fira dari keterpurukannya, adalah tentang formula kehidupan. Ada yang tau belum nih tentang Formula Kehidupan?
Formula Kehidupan ini saya dapatkan dari adik saya, yang waktu itu langsung menghentakkan kesadaran saya saat galau tidak tau mengambil langkah selanjutnya setelah masalah perkawinan saya berlarut-larut tak tentu arah saat itu.
Ok, jadi formula kehidupan itu adalah begini, (kata adik saya waktu itu),
‘Andaikan total usia kakak adalah 60 tahun, dan sekarang usiamu adalah anggaplah 35 tahun. Berarti kakak masih punya sisa 25 tahun lagi untuk melanjutkan kehidupanmu. Nah, dalam masa 25 tahun kedepan itu, kakak punya beberapa opsi:
1. Melanjutkan kehidupan yang terus terombang ambing seperti ini, karena kakak ga berani mengambil keputusan.
2. Tetap bersama abang, dan berusaha membinanya sekuat tenaga untuk menjadi suami yang baik, dimana tingkat keberhasilan itu dapat kita lihat paling hanya 40%, mengingat upaya2 itu sudah kita lakukan sebelumnya dan sama sekali tidak membawa hasil.
3. Tinggalkan dia dan masa lalu yang kelam itu, melangkah kedepan dengan penuh semangat, mulai hidup baru dengan peluang emas yang terbuka lebar untuk 25 tahun kedepan. Jangan lupa membawa Intan bersamamu kak. (Tutup adik saya sambil berseloroh pada ujung kalimatnya, saya ingat benar intonasi suaranya dan senyum jenakanya mengakhiri kalimat itu).
Saya, jujur waktu itu langsung tersentak mendengar wejangan adik saya ini, dan bagai mendapat suntikan energy baru, mata saya terbuka dan langsung pilih opsi no. 3. Hehehe.
Dan inilah saya kini, Alhamdulillah, bisa melanjutkan hidup saya dengan aman dan damai. Dan beberapa tahun setelah itu berhasil memberikan seorang papa baru bagi Intan.
Hanya sayang, sepertinya kehadiran papa baru ini membuat saya kalah pamor jadinya dimata Intan.
Intan akan selalu membela papanya ini setiap saya marah atau kesal pada sang papa. Hiks..hiks…
Suami saya ini begitu lihai menaklukkan hati putri saya. Tapi saya bahagia melihat keakraban mereka, sementara ayah kandungnya Intan sampai sekarang tak pernah peduli pada putrinya. Biarinlah..
Well, kembali ke Safira, bahagia rasanya melihat wanita ini kembali menemukan semangatnya, senyum manis menghias bibirnya saat berpamitan denganku.
‘Mba, makasih banget, dan jangan bosan kalo aq telp ya, aq butuh banget dukunganmu’.
Saya mengangguk, ‘no worries, call me anytime, tapi juga jangan kecewa kalo ga bisa langsung response in case I am in a meeting or a deadline chasing me, ok?’
Ya Allah, hanya Engkau yang Maha Tau yang terbaik untuk hambaMU, berikan Safira jalan keluar yang terbaik ya Rabbi. Amiin.
paragraf sebelumnya,
Suara Fira yang begitu sendu langsung menuntun akal fikiran saya bahwa dirinya sedang tidak dalam bahagia. Apalagi awal kalimat pembukanya yang tidak seperti biasanya. Tinggal satu mess dengannya selama lebih dari 1,5 tahun membuat saya cukup mengenal teman/kolega masa BRR dulu yang tentunya serumah dengan saya.
‘Mba Alia, ini Fira, Safira yang di BRR dulu’ kalimat pembuka yang awalnya cukup membuatku bahagia. Mendengar kembali suaranya tentu saja memberikan kesenangan tersendiri toh? Namun nada suaranya yang getir membuat feeling saya berkata lain. Saya jawab segera suara getir itu.
“Eh Fira, apa kabarmu? Kemana aja? Sehatkan?’
‘Mba, aq ga baik, aq ingin curhat. Rendi udah 2 bulan ga pulang, ga ingat pun lagi sama anaknya. Aq butuh bantuanmu mendengarkanku, dan juga nasehatmu mba..’
Aq tentu saja kaget, tapi berusaha mengontrol keterkejutanku dengan berusaha balik bicara setenang mungkin.
‘Lho, kok bisa begitu? Gimana ceritanya? Ok, boleh, tapi saya ga bisa ketemu sekarang Fir, masih ada janji yang harus saya penuhi nih….’
‘Mba, aq ingin banget ketemu mba, tapi please, dengarkan aq via telp aja dulu mba, aq benar2 butuh pendapat dan dukunganmu. Mba dulu berobat dimana saat berantem dengan ayahnya Intan? Bantu aq mba!’ suaranya memelas.
Tapi dua kalimat terakhirnya cukup membuatku kaget dan shock. Berobat? Berobat apa maksudnya? Aq sungguh ga paham.
‘Fir, apa maksudnya berobat? Kami tidak sakit. Saya tidak ditinggal tapi saya yang memutuskan meninggalkannya Fir. Berobat apa maksudnya?’
Fira mungkin menyadari telah salah bertanya, dan suaranya terdengar sedikit gundah,
‘maaf mba, kata mba Vina, waktu itu mba ada berobat ke paranormal untuk ngobatin papa Intan.’
Nah loe!
Sembarangan aja, untung ga ada yang mendengarkan, kalo ga saya bisa malu kan ya? Hari gini main dukun? Ya ampuuun. Ini Vina harus diketok nih kepalanya. Fitnah. Huft, awas aja deh.
“Fir, saya itu ga ada ke dukun2an, untuk apa? Wong saya yang memutuskan untuk meninggalkan papanya Intan kok, jadi ngapain saya obatin dia untuk kembali ke saya? Justru untuk memisahkan diri darinya aja saya butuh waktu proses sampai 8 bulan begitu kok.’
Tak ada sambutan dari seberang sana. Fira mendengarkan. Saya lanjutkan kalimat saya,
'Fir, sekarang gini deh, ceritakan masalahmu, mungkin saya bisa bantu berikan pendapat, tapi kalo ingin menanyakan dukun mana yang bisa membantumu, saya ga punya jawaban untuk itu lho.’
Fira mengiyakan dan mulai bercerita. Saya mendengarkan dengan khusyuk. Satu pelajaran yang terpatri kuat di otak saya adalah bahwa inti utama dari konseling adalah kesediaan kita mendengarkan. Mendengarkan dengan baik dan seksama. Itu yang kini saya lakukan.
Bahwa Rendi telah kepincut wanita lain yang sayangnya wanita lain itu adalah seorang wanita panggilan. (sungguh tidak setara dengan istrinya, alias Fira, yang seorang dokter). Hubungan gelap ini berlangsung pada saat Fira pulang ke rumah ibunya di Jakarta untuk melahirkan anak pertama mereka. Rendi tidak bisa ikut serta karena bertugas sebagai seorang Polisi Militer di Banda Aceh. Bahwa Rendi tak bisa lagi terlepaskan dari wanita itu, bahkan disaat Fira dan putra mereka telah kembali ke Banda Aceh dan tinggal kembali bersamanya.
Para tetangga membisikkan padanya bahwa Rendi memang sering terlihat bersama wanita itu, yang adalah seorang pekerja di sebuah café remang2. Berbagai upaya dilakukan Fira untuk membuka mata dan mengembalikan suaminya ke pangkuan dirinya. Tapi tetap saja tidak membawa hasil, malahan pertengkaran demi pertengkaran semakin penuh menghiasi rumah mereka. Tak sedikitpun Rendi malu jika pertengkaran ini didengar oleh tetangga mereka di asrama itu.
Tindakan Fira yang mencoba minta bantuan ayah ibu Rendi malah membuat Rendi semakin kalap. Juga saat Fira sudah tak sanggup lagi menahan amarah dan melaporkan kelakuan Rendi ke komandannya, Rendi semakin tidak terkendali. Beberapa tindakan scorsing yang dilakukan oleh sang komandan malah bukan menyurutkan sepak terjang Rendi merengkuh si wanita simpanan, melainkan membuatnya semakin jauh dari orbit.
Kali pertama laporan, sang komandan masih menugaskan untuk mencari, menangkap dan menempatkannya di sel, tapi setelah itu kelakuan Rendi tidak juga berubah. Malah disinyalir bahwa pengaruh narkoba (shabu-2) telah merasukinya hingga membuatnya semakin gila. Bahkan laki-laki itu sama sekali tak tersentuh hatinya saat putra mereka (saat itu berumur 9 bulan ) terkena DBD. 3 hari putranya di rumah sakit, Rendi tak pernah menjenguknya sekalipun, konon lagi menemani Fira di rumah sakit. Untung mamanya Fira datang dari Jakarta untuk menemani kepedihan hidup sang putri.
Semakin miris hati Fira saat tau bahwa mobil mereka pun telah terjual oleh Rendi untuk kebutuhannya bayar hutang dan kalah judi, ditambah lagi dengan kebutuhannya akan narkoba. Lengkap sudah penderitaan Fira. Apalagi kini Rendi memang tak diketahui dimana rimbanya. Lelah sudah dia mencari namun tak satu temannya pun yang tau keberadaannya. Fira menangis diseberang sana sambil mengakhiri ceritanya.
‘Beginilah mba nasibku, aq ingin banget bicara denganmu, aq tau mba pernah mengalami hal yang hampir sama, mungkin bisa bantu aq mencari jalan keluarnya, please.’
Saya sungguh terenyuh dengan ceritanya ini, apalagi suaranya begitu mengiris batin. Saya tau persis betapa sulit situasi seperti ini. Saya tidak sedang mencoba bersimpati dengan berkata seperti ini, tapi saya memang tau persis bagaimana rasanya penderitaan Fira. Saya pernah mengalami ini 5 tahun lalu. Mungkin kisah saya tidak lah sama persis dengan kisah Fira, tapi bisa dikatakan hampir ada miripnya.
Judulnya adalah tentang pengkhianatan, ketidaksetiaan dan rasa cinta yang terkikis.
Hm…. Kok hari saya jadi terasa mendung ya? Jadi ikutan sedih. Jadi ingat saat mereka pacaran dulu… Rasanya siang tak akan malam dan malam tak akan siang. Sulit banget terpisahkan. Bahkan sampai2 kami harus memberikan warning pada Safira yang kami pandang sudah melalui batas pacarannya untuk kaca mata Aceh. Yang saya maksud disini adalah karena sudah sulit dipisahkan, jam kunjungan sudah ga jelas, dan kami jadi ga enak dengan tetangga sekitar.
Eh kok sekarang, baru 3 tahun menikah kok iya cinta itu sudah memudar, malah berhasil dicaplok oleh wanita lain??
Saya masih belum tau harus bicara apa saat Fira telah mengakhiri kalimatnya diujung sana, hanya desah napas sedih yang berhasil saya dengarkan.
‘Fir, saya benar-benar prihatin dengan apa yang kamu alami ini. Ingin banget saya membantu kamu. Saya tau persis bagaimana sakitnya rasa ini Fir. Honestly I knew how you feel. Satu hal yang saya ingin tau, apa yang kamu harapkan dari Rendi sekarang ini? Masih cintakah kamu padanya?’
Tidak ada suara dari ujung sana. Sejenak, dua jenak… (emang ada dua jenak? Hush!!) hening.
‘Ga taulah mba… aq benar2 hancur sekarang ini. Malu banget aq sama tetangga mba? Taulah kami tinggal di asrama. Malu sama ibu-ibu itu. Suamiku ga pulang-pulang. Mau mati aja aq rasanya mba…’
‘Fir…. Saya ingin tanya satu hal, dan jawab dengan jujur. Kamu seorang dokter, apa kamu rela disetarakan dengan seorang pelacur? Wanita murahan? Kamu masih mau menerima Rendi kembali setelah penghinaannya terhadapmu. Memacari dan meniduri pelacur adalah suatu penghinaan kelas tinggi tuh Fir.’
‘Ya aq sakit hati banget mba, masak sainganku seorang pelacur. Dan tau ga mba, aq dengar perempuan itu juga pemakai shabu mba.’
‘Nah, apa kamu masih mengharapkan Rendi untuk kembali padamu? Setelah tau persis kelakuannya? Satu pertanyaanku yang belum kamu jawab Fir, masih cintakah kamu padanya?’
‘Mba, aq tuh udah sakit hati banget sama dia, aq terhina, aq malu, tapi aq kasian Ragil kalo sampai ga punya bapak….’ Suara tangisan dari seberang sana.
‘Fir…. Jangan pernah membawa-bawa anak dalam urusan seperti ini Fir. Saya sudah pernah mengalami hal ini. Saya juga punya anak. Tapi jangan jadikan anak sebagai penghalang kamu mengambil langkah ke depan untuk menyelamatkan dirimu dan anakmu.’
Saya sengaja diam, membiarkan dia berfikir dan saya yakin dia pasti bingung dengan kalimat saya.
‘Maksudmu mba?’
‘Maksudku begini. Keadaanmu masih jauh lebih mujur dari saya dulu. Kamu masih ada ibu yang siap memberi kasih sayangnya dan menjaga anakmu. Nah, berarti Ragil aman. Sekarang saatnya kamu bereskan dulu urusanmu. Tapi jangan tergesa-gesa. Makanya tadi saya tanya, sebesar apa sisa cintamu pada Rendi. Jawab pertanyaan ini dengan jujur, agar kamu bisa tentukan langkah selanjutnya.’
Masih terdiam, mendengarkan.
‘Kalo kamu ga bisa jawab sekarang, nanti malam coba kamu renungkan baik-baik Fir, tanya hatimu yang paling dalam. Minta jawaban paling jujur. Jika hatimu bingung untuk menjawab, bantu dia dengan membuat sebuah table dua kolom. Kolom kiri berisi list kebaikan Rendi dan kanannya tentang list keburukan. Masih ingat analisa SWOT kan? Nah, analisa SWOT tidak hanya untuk project, tapi juga untuk kehidupan. Karena kehidupan juga sebuah project sebenarnya.’ (gilee juga kalo dipikir2 ceramah saya, hehe).
‘Bener juga ya mba? Terus gmn mba?’
‘Nah nanti berdasarkan list itu, kamu akan menemukan arah. Kamu coba lihat, lebih banyak mana, mana yang unggul antara dua list itu. Jika ternyata kebaikannya lebih besar, kamu masih boleh memaafkannya, peluang untuk berobah ke arah kebaikannya masih terbuka. Tapi jika keburukannya ternyata unggul, maka, kamu sudah bisa membujuk hatimu untuk meninggalkannya.‘
Saya hentikan sementara pembicaraan saya menanti sahabat saya diseberang sana mencerna pembicaraan kami.
‘Iya mba… aq ingin mendengar lebih jauh lagi pandanganmu..’
‘Ok, tentang rasa malumu pada tetangga, coba singkirkan dulu. Tanamkan dalam jiwamu bahwa ibu-ibu itu tidak mencemoohmu, bahwa sebenarnya mereka bersimpati atas apa yang kamu alami, bahwa justru yang mereka pandang buruk adalah suamimu. Bukan kamu. Sejauh kamu sendiri tidak macam2 means you are still a good wife, maka yakinlah bahwa mereka tidak memandang negative terhadapmu. Saya yakin kok, mereka itu kasian padamu."
"So kamu itu HARUS membangun dan mempertahankan positive thinking di dalam jiwa kamu Fir. Jangan berikan sedikitpun celah bagi sisi lain hati kamu untuk menjatuhkan mentalmu. Hanya kamu sendiri yang bisa menolong membenahi mental mu yang down, yang terpuruk ini Fir. Saya bisa bilang begini karena sudah mengalaminya beberapa tahun yang lalu. Sulit sekali untuk tetap bersemangat, untuk tetap positive thinking Fir. Tapi HARUS bisa dan Yakinlah pasti BISA.’
Saya rasakan pembicaraan saya begitu berapi-api, ibarat sedang memberi ceramah motivasi dimana gituu… hehe. Saya lanjutkan karena Safira mendengarkan dengan khusyuk di seberang sana.
‘Jadi Fir, hanya kamu sendiri yang harus segera mengambil tindakan. Jangan buang waktumu untuk terus menangisinya. Jangan sedihkan hatimu dengan berfikir anakmu akan kehilangan bapak. Itu urusan nanti. Apa anakmu akan bangga dengan seorang ayah yang sama sekali tidak peduli padanya? Apa anakmu akan senang dan bahagia mengetahui ayahnya seorang pecandu narkoba, tukang main perempuan dan penjudi?"
"Dia tidak akan kehilangan ayahnya kok, selagi masih hidup di dunia, suatu saat nanti dia akan bertemu dengannya kok, terlepas bagaimana kondisi ayahnya. Ayah tetap ayah, dan tugas kita ibunya adalah menceritakan apa adanya dan siapa ayahnya, nanti jika saatnya. Jadi jangan buang waktumu untuk berfikir hal2 seperti itu. Sebenarnya sebelum membuat table dua kolom itu, yang pertama harus kamu lakukan adalah membuat list of priority. Atau gini Fir, coba buat dulu analisa SWOT kehidupanmu. Kebayang ga?’
Safira menjawab dengan antusias.
‘Mba, kapan aq bisa ketemu denganmu, bantu aq membuat analisa SWOT ini, aq ga bisa sendirian, aq hanya seorang sekretaris, ga paham benar langkah-langkahnya, kapan bisa ketemu mba? Please…’
Oops…. Waktu untuk ketemu ini yang sulit. Senin besok saya masih punya deadline untuk interview dan recruitment consultant untuk project qanun development, terus juga masih harus berkutat dengan beberapa perjanjian kerjasama yang masih belum juga kelar.
Safira masih menunggu penuh harap.
‘Ok say, gimana kalo nanti malam saja kita ketemu. Dimana enaknya ya? Yang tenang dan kita bisa corat coret, kita harus bikin problem assessmentnya dulu, biar gampang. Nah gini, tugasmu sebelum kita ketemu, coba tolong kamu rumuskan dulu point-point persoalan yang kini kalian hadapi, terus juga bikin table dua kolom tentang kebaikan dan keburukan Rendi ya… jadi nanti waktu kita ketemu, kita ga habiskan waktu untuk merumuskan hal itu lagi, tinggal kita review aja, dan lanjut ke SWOT.’
‘Baik mba, aq akan kerjakan sekarang, ntar aq kirim ke emailmu ya mba, in case you have time to read first before we meet.’
Pembicaraan via telephone ini pun kami akhiri setelah janjian akan ketemu di Mesjid Raya nanti malam. Hehe, akhirnya milih Mesjid Raya deh, lebih adem dan menginspirasi, juga saya berharap jika pertemuannya di Mesjid Raya Baiturrahman, Allah akan member saya hidayah agar input-input yang saya berikan nantinya bisa menjadi berkah. Amiin.
Duuuh, kok kayaknya saya ini seorang counselor ya? Padahalkan saya seorang tukang sampah, yang mengurusi masalah persampahan. Hehhe. Ga nyambung deh ih.
BERSAMBUNG
Paragraf sebelumnya klik disini yaaaa
Fadjri,
Bapak sedih, terharu dan bangga terhadapkamu nak….
Sedih karena kamu jauh sangat dengan bapak secara fisik, dari fotomu tertangkap kegundahan diwajahmu walau kamu nampak tersenyum dan tertawa.
Disaat seharusnya kamu senang bergembira ria dengan sang istri, justru hal ini tak sepenuhnya dapat kamu nikmati, ini tercermin dengan keadaan wajah dan posturmu yang kian kurus.
Bapak harus berterus terang, bahwa dulu kamu adalah anak yang paling di banggakan oleh ibumu, namun kita malah sebaliknya nak. Ibumu begitu ingin menghilangkan nama dan keberadaan dirimu dari kami semua.
Fadjri,
Saran bapak, lanjutkan shalat Tahajjud dan berdo'a semoga Allah SWT yang maha Kuasa berkenan membuka hati ibumu, dan semoga menjelmakan rasa rindunya untuk ingin melihatmu dan menerimamu kembali.
Bapak yakin do'a yang ikhlas di sulus akhir, dimana manusia lain tidur kamu sedang bermunajad kepada sang Chaliq memohon do'a, mudah-mudahan Allah akan mendengar dan akan mengabulkannya, Insya Allah, Amin.
Anakku, jangan bosan-bosan kamu mengirimkan sms kepadanya, walaupun diwaktu sms masuk muncul namamu dan secepat kilat sms itu dihapuskan dan tidak dibaca. Usahakan untuk mengirimkan sms dengan tidak muncul nama kamu.
Isi sms harus ada unsur mohon maaf dan mohon dikasihani, dan ucapan terima kasih atas usahanyamengasuh, menjaga,memberi pendidikan dan kasih sayangnya sejak dalam kandungan,balita sampai kini.
Terharu dan bangga, kamu masih bisa kosenterasi terhadap tugas dan prilakumu. Bapak juga turut berdo'a, semoga doa'kamu di dengar dan dikabulakan oleh Allah SWT. Amin.
Fadjri anakku, this is all for now, I can’t continue more karena hati Bapak gundah memikirkanmu nak. Be a good boy nak and good husband, doa Bapak selalu menyertaimu. Amin.
.
Ayahandamu
Abdullah Hanafi
Ya Allah, Kabulkan doa tulus kami, kabulkanlah doa2 yang beruntun dipanjatkan adikku dan juga ayahandaku ini, bukakan pintu hati ibundaku yang memang begitu membaja. Hanya dengan ijinMu ya Allah semua ini bisa terlaksana. Amin ya Allah, Amin ya Rabbal Alamin.
Readers,
Tadinya aku fikir hanya diriku dan kehidupanku yang unik dan sangat lain dari yang lain, penuh onak berduri yang memang aq ciptakan sendiri, namun ternyata, kini adikku mengikuti langkah yang hampir sama. Terbuang dari keluarga hanya karena pasangan hidup yang dipilih tidaklah sesuai dengan harapan ibunda.
Banyak hal yang sebenarnya ingin aku bagi, namun waktu dan kesempatan yang masih belum dapat aku temukan sehingga kisah yang sudah begitu menggelitik hati dan lama bersemayam di sanubari harus menunggu dan menunggu untuk dibukukan.
Well readers,
Will back to you for next paragraph yaa…….