credit |
Mata keduanya terbelalak, bukan saja oleh perlakuan aneh dan nekad si pemuda, tapi karena tubuh dan wajah si pemuda itu terasa begitu familiar di hati dan mata mereka.
"Mas! Itu Indra! Indra itu mas!" Seru Dian, kaget, kendaraan yang sedang melaju kencang itu serta merta diperlambat Fachry, seraya memutar kepalanya untuk meyakinkan pemandangan yang baru saja disaksikan oleh matanya.
"Ya Allah, bener Di, itu Indra! Masyaallah, kenapa dia jadi seperti itu?"
Secepat kilat dipinggirkannya kendaraan, dan sigap keduanya turun. Mengejar si lelaki yang telah telanjang bulat dan berjalan cepat bak anak panah yang dilepas dari busur itu. Kencang sekali Indra berjalan, hingga mata Fachry dan Dian kehilangan jejak. Fachry mencoba menelefon kantor mereka, yang diterima oleh security unit, dan langsung menerima laporannya dan akan segera mengirimkan bantuan.
"Mas, kita naik mobil aja, balik arah, kencang banget si Indra jalannya, kayak dikejar setan!" Usul Dian ngos-ngosan. Selain sudah lama tak berjalan dengan cepat, jarak Indra juga sudah terentang jauh, sehingga akan mudah bagi mereka mengejarnya dengan mobil saja.
Kerumunan orang di dekat pos polisi itu memberi sinyal keberadaaan Indra. Pasti Indra yang sedang dikerumuni orang-orang itu, batin keduanya. Dan benar saja, terlihat Indra dengan wajah aneh, sedang berdiri, meronta minta dilepaskan. Dua orang polisi sedang membujuknya untuk duduk, dan mengajaknya bicara. Namun Indra berkeras minta dilepas, katanya dia ada janji dengan seorang wanita di mesjid raya, padahal dirinya adalah seorang non muslim. Ya ampun, kesurupan apa dia?
"Maaf Pak, ini teman kami, kalo boleh biar kami antar pulang saja." Ucap Dian, mendekati kedua polisi yang langsung menarik napas lega.
"Oh, mba mengenalnya? Orang mana ini mba?"
"Namanya Indra pak, salah satu kolega kami di PT. Anugerah Alam Perkasa, di jalan M. Thamrin 26 Pak, kami sudah laporkan juga pada security unit, tentang hal ini pak, dan kebetulan kami yang paling dekat dengan lokasi, maka biar kami saja yang membawanya pulang."
Dian memperlihatkan name tag dirinya selaku staf di perusahaan yang disebutkan olehnya tadi, juga Fachry turut memperlihatkan name tagnya, membuat kedua polisi itu yakin dan dengan senang hati menyerahkan Indra pada mereka. Tak lama, sebuah Toyota Innova Silver berhenti, yang ternyata adalah dua orang security guard yang dikirim oleh kantor mereka untuk menjemput Indra.
Indra masih meronta, tak ingin masuk ke mobil dan inginnya jalan kaki saja. Katanya dia telah ditunggu di Mesjid Raya oleh seorang gadis.
"Ndra, coba lihat diri kamu, masak mau ketemu seorang gadis kamu pake sarung seperti ini? Malu donk... ayo kita pulang dulu ke rumah kamu, ganti pakaian, baru kamu ke Mesjid Raya.. yuk!" Bujuk Dian. Saat itu Indra telah dibekali selembar kain sarung oleh pemilik warung yang berada dekat pos polisi tadi.
"Tapi saya sudah ditunggu jeng!" Aneh sekali nada suara Indra. Dan panggilan Jeng itu, sungguh aneh. Indra belum pernah memanggilnya Jeng, biasanya cuma manggil Di saja. Dian menatap Fachry yang juga tak kalah herannya. Bergidik bulu kuduk Fachry menyadari pemikirannya sendiri. Jangan-jangan Indra dirasuki makhluk halus. Hiiii.
Selain itu, tubuh Indra mengeluarkan bau tak sedap yang aneh. Membuat Dian dan yang lainnya harus mengernyitkan hidung mereka berkali-kali. Akhirnya, setengah paksa, berhasil juga mereka menaikkan Indra ke dalam mobil. Di dalam mobil dia masih meronta dan meracau. Katanya gadis yang akan ditemuinya telah lama menunggu di pintu mesjid raya. Hiii.... Aneh.
Mereka tak membawa Indra pulang ke kost, melainkan melarikan Indra ke rumah sakit jiwa. Ya, Indra, yang suhu tubuhnya begitu panas dan berkeringat yang baunya sungguh tak sedap itu, terus saja meracau, hingga satu-satunya jalan keluar adalah membawanya ke rumah yang satu itu. Pada Indra sendiri, mereka tak menyebutkan akan ke rumah sakit jiwa, melainkan ke rumah pak Eddy, salah satu guard yang ikut di dalam mobil mereka. Untuk mengambil baju bagi Indra biar cepat bisa ke Mesjid Raya. Indra patuh tapi terus meracau.
"Ayo Pak Indra, masak udah sampai ke rumah saya Pak Indra ga mau mampir... ayo masuk dulu atuh pak!" Bujuk Pak Eddy berlagak sebagai tuan rumah. Akhirnya Indra menurut dan ikut berjalan ke pelataran rumah sakit dan masuk ke dalam. Yang telah ditunggu oleh beberapa petugas, yang telah diberitahu via sms saat mereka masih dalam perjalanan tadi.
"Ndra, kamu capek banget deh, ayo sambil menunggu pak Eddy ke dalam ambil berkas, kamu istirahat dulu deh disini... tuh bisa tiduran disitu tuh Ndra... kan kamu capek, tuh lihat, tubuh kamu aja keringatan begitu... " Dian begitu piawai membujuk dan mensugesti. Anehnya, Indra patuh, berjalan ke tempat tidur beroda yang telah disiapkan oleh petugas. Dan begitu lelaki itu membaringkan tubuhnya, petugas pun membawanya ke sebuah ruangan untuk diperiksa secara medis.
Ternyata, Indra tak hanya mengalami kondisi psikis yang memprihatinkan, tapi juga fisiknya sangat lemah. Hasil pemeriksaan darah yang dilakukan menunjukkan lelaki yang begitu down staminanya itu terkena typus, dan harus dipulihkan terlebih dahulu sebelum kemudian dilakukan pengobatan terhadap jiwanya yang sedikit terganggu. Penjelasan psikiater, bahwa kondisi seperti ini bisa menimpa seseorang yang sedang mengalami stress berat atau depresi, membuat Fachry mencabut dugaannya bahwa Indra kesurupan atau diganggu makhluk halus. Penjelasan medis, membuka wawasannya, bahwa banyak fikiran, stress, depresi dan kegagalan mengelola emosi dan kejiwaan bisa berakibat seseorang menjadi seperti orang gila. Ih, jangan sampai deh, batinnya.
"Mas Fachry, Mba Dian, makasih banget lho mba, mas, atas bantuan dan perhatiannya terhadap Indra. Kalo tidak mas temukan waktu itu, mungkin kami akan kehilangan Indra untuk entah sampai kapan. Kan sering tuh kita dengar, ada orang yang menjadi sakit jiwa, dan menghilang dari rumah dan hilang jejaknya karena tidak membawa identitas... Ih, ga terbayang deh gimana jadinya jika Mas Fachry dan mba Dian ga melihat Indra waktu itu." Kakak perempuan Indra, yang terbang hari itu juga ke Palangkaraya, dimana Indra berada, tak henti berterima kasih pada Dian dan Fachry, dan membuat keduanya sedikit jengah. Bukankah itu gunanya sahabat, jadi tidak perlu lah berterima kasih sampai berulang kali...
"Sama-sama mba, jangan terlalu banyak makasihnya... hehe. Itu sudah kewajiban setiap orang, setiap sahabat. Kebetulan Tuhan menuntun Indra melalui kami. Jadi mari kita berdoa semoga Indra bisa kembali sehat seperti semula ya mba... ." Fachry menjawab dengan santun.
Indra masih terkulai di atas tempat tidur rumah sakit, dengan tangan yang berinfus dan pandangan setengah kosong. Masih perlu waktu dan penanganan baik secara fisik [medis] maupun psikis [jiwa] untuk mengembalikan lelaki ini ke Indra yang dulu. Yang penuh semangat dan ceria.
"Ngeri juga ya mas, kalo stress yang berlebihan seperti itu. Kayaknya Indra stress oleh masalah uang yang kebobolan itu deh." Dian mengutarakan pemikirannya, saat mereka kembali dari menjenguk Indra di suatu hari.
"He eh, awalnya mas kira, Indra kesambet atau kesurupan gitu deh. Ternyata karena terlalu banyak beban jiwa ya... Makanya kamu tuh jangan terlalu banyak pikiran.... jangan terlalu dipaksa, harus banyak rileks...dan harus sering-sering sama mas!"
Ujung kalimat Fachry langsung menimbulkan protes dari wanita cantik itu.
"Yeee.. apa hubungannya dengan sering-sering sama mas? Malah sering-sering sama mas bikin kita sering berantem. Emang mas senang bersamaku?"
"Ya senang banget donk... Di, can I say something?" Nada Fachry mulai serius. Dian mulai curiga dan deg-degan. Tatapannya mengiyakan dan menanti kelanjutan kalimat lelaki itu.
"Will you be mine, please? I love You."
Dian terpana. Apa? Fachry baru saja mengatakan cinta, di sebuah perjalanan pulang dari rumah sakit, di dalam mobil dan sungguh bukan dalam suasana romantis? Ooooh!
Namun, debar hati itu, semakin terasa, dan binar indah itu membuat wajahnya sumringah dan bibirnya tersenyum merekah. Fachry menggenggam jemari Dian dengan tangan kirinya, lembut. Dibawanya ke mulutnya dan dikecupnya dengan mesra.
"Will you babe?" Anehnya, kalimat itu jadi terdengar begitu romantis, tempat pernyataan yang hanyalah di dalam sebuah mobil, tak lagi terasa penting. Yang dirasakannya, hatinya begitu indah berbunga.
Anggukan dan tatapan lembut itu adalah jawaban IYA atas pertanyaan Fachry.
written by Alaika Abdullah
Bandung, 2 Maret 2013
2 komentar
ihirrr.. pasti dian nyesel, kenapa baru sekarang bilangnya, :))
BalasHapus2 cerita dalam 1 kisah....nggak nyangka ada adegan tembak menembak stelah ada adegan si indra..aw aw aw...co cuwitttttt,tsahhhhh!!!!
BalasHapusHahaha.....