Tamu Istimewa

gambar dikirim oleh seorang teman ke wall fb penulis
Dua orang itu terpana menatapku. Aku juga tak kalah heran. Ini orang, udah ngebunyiin bel dan dibukain pintu kok malah bengong ya?

"Maaf Pak, mencari siapa ya?" Akhirnya kuputuskan untuk memecah situasi vakum yang membingungkan itu. Si bapak sambil masih meletakkan tangan kanannya di atas bahu anak perempuan usia ABG itu, menyunggingkan senyuman.

"Assalammualaikum nak. Maaf jika kami mengganggu... hm.... apa ibu pemilik rumah ini masih tinggal disini?"
Sungguh sebuah pertanyaan yang aneh, yang diucapkan dalam bahasa Indonesia berlogat Aceh yang begitu kental.

"Hm... maksud bapak? Ibu yang mana ya?"
Jawabku balik bertanya, menggunakan bahasa Aceh agar si Bapak gampang berkomunikasi. Namun aku meningkatkan status kesiagaan. Siaga I. Secara akhir-akhir ini kan banyak sekali penipuan. Aku mulai menjaga jarak, jangan-jangan tukang gendam or hipnotis deh ini. Hiii, serem. Tapi menatap wajahnya yang terkesan ndeso itu, gaya bahasanya serta putrinya yang lugu itu, keping hatiku meredam prasangka buruk itu berkembang jauh.

"Maaf nak, bapak tidak tau persis siapa nama ibu itu, karena juga belum pernah ketemu, anak bapak ini... delapan tahun yang lalu, selamat di teras rumah ini dari hempasan gelombang tsunami. Dan dirawat dengan baik oleh ibu pemilik rumah ini sampai akhirnya dijemput oleh tim penyelamat."

Penjelasan itu serta merta membuat aku sungguh merasa bersalah atas prasangka jelek yang telah terlanjur tercipta tadi. Oalah, Astargfirullah ya Allah..., aku langsung teringat cerita ibuku, bahwa di teras lantai dua rumah kami ini, dulu sempat selamat 10 orang yang terbawa oleh gelombang tsunami.

"Sebentar ya Pak, mari masuk dulu... saya panggil ibu saya."

Kupersilahkan keduanya masuk, dengan hormat seraya menyalahkan hatiku yang syakwasangka tadi.

"Ma, mama... ada tamu nih ma..." Aku berseru, masih enggan meninggalkan kedua tamu yang kini telah duduk di sofa ruang tamu. Bukan apa-apa, di jaman sekarang ini, waspada kan harus ya?

"Iya, sebentar." Suara ibuku terdengar lembut, seperti biasanya. Ga lama, wanita enam puluhan tahun itu pun muncul.

"Ayah... benar ini neneknya...!"

Si anak perempuan itu berseru kegirangan, seraya bangkit menyerbu ibuku. Disalaminya ibuku seraya memeluk beliau erat. Kesan kaget terlihat nyata di wajah ibuku, apalagi dia belum bisa melihat wajah si anak perempuan itu, yang terus saja memeluknya erat.

Si bapak tua bangkit, menyalami ibuku yang masih saja dipeluk erat oleh anak perempuan tadi. Barulah kemudian si anak melepaskan pelukannya ketika tangan ayahnya menggapainya lembut. Ibuku masih terlihat kaget, juga sepertinya daya ingatnya belum mampu untuk mengingat si anak perempuan yang memanggilnya nenek itu.

"Ibu, saya ayahnya Siti, dan Siti adalah anak yang sempat diselamatkan tiang teras rumah ibu waktu tsunami dahalu. Kami tinggal di Tibang bu, dan waktu itu saya sedang melaut, Siti dan ibunya di rumah ketika tsunami datang. Siti hanyut hingga kesini dan menggapai tiang teras rumah ibu untuk menyelamatkan diri."

Kini wajah ibuku terlihat sangat mengerti. Dengan sempurna kini memorynya memaparkan tentang Siti. Anak yang kala itu usia delapan tahunan, ditemukannya sedang menggigil, terbaring di lantai teras atas rumah ini. Tak hanya menggigil, tapi anak itu terkena diare hingga pakaian dalamnya terkena kotorannya sendiri. Mengigau memanggil ibu dan ayahnya.

Suasana memang sangat mencekam kala itu. Tsunami baru saja melanda, merampas nyawa-nyawa manusia dan hewan ternak, serta meremukkan apa saja yang menghadang di hadapannya. Ibuku sendiri, kala itu malah memutuskan untuk lari meninggalkan rumah, bersama ayahku, yang memilih untuk menyelamatkan diri di Musholla berlantai dua, tak jauh dari rumah. Dan disanalah mereka berdua serta warga lainnya selamat dari hantaman gelombang.

Dan saat mereka telah aman dan kembali ke rumah yang telah porak poranda lantai bawahnya, penuh lumpur dan banyak ikan yang terkapar tewas, ayah dan ibuku menemukan ada 10 survivor di lantai atas rumah kami. Kesepuluh orang yang selamat itu, dalam deritanya masing-masing. Ada seorang ibu yang sedang hamil tua, terbaring lemah sama sekali tak mampu bergerak. Ada anak balita umur 2 tahun yang sedang menangis dan ditenangkan oleh seorang pemuda yang adalah bukan kerabatnya. Ada bapak tua yang kakinya patah. Ada juga si anak ini, Siti, yang dibaringkan di lantai teras, karena masih mengucurkan kotoran akibat diare.

Kedatangan ibu dan ayahku selaku pemilik rumah, menambah perasaan senasib sepenanggungan dengan kesepuluh survivor itu. Dari semua yang ada disitu, hanya ibuku yang staminanya masih prima, karena hanya beliau yang tak tersentuh gelombang, sementara ayahku sendiri, sempat terombang ambing dihanyutkan gelombang, hingga kemudian beliau tersangkut di atas sebatang pohon kuda-kuda sebagai tangan Tuhan, penyelamat hidupnya.

Jadilah malam itu, yang gelap gulita dan hanya diterangi cahaya lilin yang memang tersedia di lantai atas itu, ibuku bertindak sebagai perawat. Terutama bagi Siti yang menggigil dan terus diare, juga bagi si ibu yang hamil tua, yang juga mulai demam, juga bagi si bocah kecil dua tahun yang menangis minta susu. Malam yang menyentuh kalbu, menyayat hati dan menimbulkan kenangan tak terlupakan.

Dan kini? Siti, salah satu survivor itu, hadir di hadapan ibuku, setelah delapan tahun tragedi itu berlalu. Berlinang air mata ibuku menatapnya.

"Apa kabar kamu nak? Sehatkan? Sudah kelas berapa?" Tanya ibuku, Siti memilih duduk disampingnya.

"Alhamdulillah sehat nek. Siti udah kelas 2 SMU." Senyum hormat tersinggung di bibirnya, menjawab pertanyaan ibuku.

"Bu, kami datang untuk berterima kasih pada ibu. Allah menyelamatkan anak saya melalui rumah ibu, dan terima kasih banyak, ibu sudah merawat Siti malam itu dengan sangat baik. Sebenarnya kami sudah lama ingin kesini, tapi karena kami tidak lagi tinggal di Banda, dan saya selalu melaut, jadi ga sempat turun kesini bu."

Si ayah yang berbicara. Aku sungguh terharu mendengarnya. Kuyakin ibuku pun memiliki perasaan serupa. Sungguh kehadiran mereka sama sekali tak pernah kami duga. Bahkan tak pernah kami kira jika kemudian salah satu dari the survivor akan kembali ke rumah ini, untuk berterima kasih pada ibuku. Subhanallah.

"Subhanallah... Alhamdulillah pak, saya sungguh gembira bisa bertemu lagi dengan Siti. Sungguh sama sekali tidak menyangka akan bertemu kamu lagi nak. Nenek senang sekali mendapat kunjungan kamu dan Bapak. Oh ya, bagaimana halnya dengan ibu Siti pak?" Tanya ibuku kemudian.

"Hm.... sayangnya, Ibunya Siti tidak selamat Bu, kami menemukan jenazahnya di kampung sebelah. Gelombang membawanya hanyut sampai kesana." Lirih suara itu.

"Innalillahi Wa Innailaihi Rajiun." Aku dan ibuku serempak melafazdkan kalimat itu.

"Dan sekarang Bapak dan Siti tinggal dimana Pak?" Tanya ibuku lagi.

"Kami di Aceh Selatan sekarang Bu, makanya jarang sekali turun ke Banda Aceh. Dan ini juga karena Siti telah menabung sekian lama, katanya uang tabungannya ingin dipakai untuk mengunjungi Ibu dan melihat rumah ini."

Masyaallah. Sungguh tersentak dan terharu hatiku. Juga aku yakin ibuku merasakan hal serupa. Seorang anak muda, anak seorang nelayan, yang mungkin untuk mencukupi kehidupan mereka sendiri pun sulit, tapi bertekad kuat untuk kembali ke rumah ini, untuk bertemu dengan pemilik rumah yang telah merawatnya kala itu. Subhanallah ya Allah, masih ada anak muda yang seperti ini, yang selalu mengingat jasa orang lain.

Ibuku terlihat begitu terharu dan sulit untuk berkomentar. Hingga kemudian suara lembutnya berujar,

"Aduh Siti, kenapa harus repot-repot kesini nak... Asal Siti dan Bapak sehat, kami sudah cukup bahagia. Terus di Banda tinggal dimana pak? Kapan datang?"

"Kami baru sampai bu, langsung kesini, itu pun meraba-raba dulu, karena Siti ga begitu ingat lagi. Yang dia ingat adalah dekat kantor Brimob, jadi bayangan saya, adalah disini. Cuma Siti juga ga ingat sama sekali nomor rumah ini, jadi hanya mengandalkan daya ingatnya saja."

"Iya nek, Siti ingatnya tiang rumah ini. Masih sama seperti dulu." Imbuh Siti riang.

"Kami berencana untuk langsung pulang malam ini bu, karena besok saya harus melaut lagi. Hari ini sengaja prei, untuk mengantar Siti. Sudah lama sekali dia ingin kesini."

Sungguh sebuah penjelasan yang semakin membuat kami terharu.

"Pak, apa ga bisa tinggal disini barang semalam? Jangan buru-buru kembali, kan capek di dalam perjalanan tadi malam pak? Menginaplah di tempat kami nanti malam, besok baru pulang kembali..." Bujuk ibuku tulus.

"Iya pak, lagian Siti kan juga ingin jalan-jalan di Banda kan? Wong udah sampe sini kok pak, masak secepat itu kembali?" Tambahku.

"Maaf bu, nak, inginnya begitu, tapi maklum lah, saya hanya nelayan, yang mengandalkan penghidupan dari hasil melaut. Kalo banyak prei nya, nanti kami ga makan, hehe."

Jawaban yang membuat kami bungkam. Tertohok rasanya hati ini mendengar perjuangan mereka. Aku sungguh terharu.

"Iya nek, kami pulang nanti malam saja. Ayah harus melaut, dan Siti kan harus sekolah besok. Juga Siti jualan kue-kue lho nek, dititipkan di kantin sekolah." Penjelasan yang bernada riang itu, semakin membuatku terenyuh. Betapa mereka menghadapi hidup ini dengan penuh perjuangan dan ikhlas.

Dan pertemuan yang sungguh tak pernah diduga oleh ibuku, apalagi olehku itu, berakhir setelah keduanya makan siang, istirahat sejenak dan kemudian mereka pamitan, ingin mengunjungi bekas kampung halaman mereka, baru malam harinya, singgah sebentar di rumah kami, dan kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke kampung mereka yang baru.

Subhanallah... sungguh Tamu istimewa telah Engkau kirimkan kepada kami ya Allah. Bagaimanakah nasib ke 9 survivor lainnya? Wallahu Alam.




3 komentar