Gempa dan Tsunami lagi? Oh No!! (part 1)

Paragraf sebelumnya...

Alaika, at Joint Secretariat
Rabu, 11 April 2012 ; 15.30 wib.

Alaika baru saja menjejakkan kakinya di ruangan Joint Secretariat, yang berkantor dilantai tiga salah satu gedung kompleks kantor Gubernur Aceh. Ada sekitar tiga minggu lebih dirinya tak berkunjung kesini, sejak dirinya harus mendapatkan perawatan intensive akibat demam berdarah yang menyerangnya beberapa waktu yang lalu. Jelas saja kunjungannya kali ini membuat anak-anak Joint Secretariat kangen dan bergembira hati dengan kedatangannya. Sambutan dan canda hangat juga dilontarkan oleh Pak Zaidan, the head of Joint Secretariat.
“Aduh, kayak bulan purnama deh ibu yang satu ini… munculnya jarang-jarang banget. Apa kabar Al… mudah-mudahan udah pulih benar ya?” sapanya akrab.
“Wah mbak Al tau aja kalo lagi ada rezeki ya? ayo mba… barengan kita makan rujak nih…” seru Ayu yang sedang rujakan di meja oval yang biasa dipakai meeting.

Tentu ajakan manis ini disambut hangat, siapa sih yang tak suka rujak? Apalagi setelah perut disi oleh menu makan siang yang berat, tentu rujak adalah pilihan segar untuk penutup mulut. Maka setelah menyalakan laptop dan konek ke internet, Alaika beranjak ke meja meeting dan bergabung dengan Ayu dan Tina yang sedang seru-serunya ngerujak. Hm… segar banget. Update berita diselingi canda tawa yang disampaikan pada dirinya membuat suasana semakin hangat, hingga tiba-tiba, tepat di jam 15.38. mereka merasakan lantai yang dipijak kok seperti berayun…, bunyi gemeretak bangunan yang disambung bunyi sirine alarm gempa yang melengking membuat otak mereka berputar cepat, sigap mereka berlari. Alaika sempat mampir ke mejanya, menyambar HP dan laptop mungilnya, seraya matanya mencari sandal jepit pengganti high heel yang dikenakannya. Tak berhasil menemukan sandal jepit cadangan, nekad dia melepaskan high heel dan menyusul kolega lainnya yang telah berlari menuruni anak tangga.
“Cepetan mba…. “ orang-orang sudah rame menuruni tangga. Sampai di lantai dua mereka melanjutkan anak tangga berikutnya menuju lantai satu di tengah ayunan gempa yang sungguh-sungguh kuat menggoyang bumi.
Di halaman gedung sudah rame orang-orang yang berkumpul dengan wajah panik. Ada yang sudah duduk di hamparan rumput karena tak kuasa menahan mual dan pusing akibat goncangan. Bahkan ada beberapa ibu PNS yang malah sudah menangis. Mungkin trauma tsunami tujuh tahun lalu masih membekas di ingatan mereka.
Tanpa sandal melindungi kakinya, Alaika menyadari dirinya sangat rentan bahaya jika menjejak tanah, ditambah seruan Tina yang menyuruhnya segera berpijak ke hamparan rumput, membuat wanita itu segera bergabung dengan para kolega yang telah duduk di hamparan rumput itu. Bumi terus berguncang… berayun. Hampir kebanyakan insan yang berkumpul di halaman gedung itu telah bertasbih… namun tak ayal, kekuatiran mereka akan orang-orang yang dicintai yang berada di rumah, di sekolah, di kantor atau tempat lainnya, membuat tangan yang satu yang dari tadi menggenggam HP, tetap berusaha men-dial nomor yang dituju, walau dari tadi hanya ‘nomor yang anda tuju sedang tidak dapat dihubungi’ yang terdengar, atau malah hanya memberi tandabunyi tulalit.
Alaika semakin panik ketika nomor ibunya tak berhasil terhubung. Kekuatirannya semakin menjadi mengingat Ibunya sendirian di rumah dan sedang sedikit tidak enak badan. Lebih kuatir lagi karena rumah mereka berada di area yang rentan terkena tsunami. Apalagi tujuh tahun lalu, rumah mereka sempat dihantam gelombang tsunami sampai ketinggian 4 meter. Benar-benar menenggelamkan lantai satu rumah ibunya itu. Duh Tuhan….lindungi ibu hamba ya Tuhan…
Sms dari Intan, putrinya masuk. “Mi… dimana? Gimana kondisi Umi?”
Dicobanya segera menghubungi putrinya itu namun hanya tulalit yang terdengar. Duh… dicobanya membalas ke nomor asing yang dipakai putrinya itu.
“Umi baik-2 aja nak, sedang di JS, Intan gmn? Keluar dari ruangan dan cari tempat yang jauh dari bangunan… Habis gempa Umi jemput. Stay in touch ya..ini nmr siapa?”
Kekuatirannya lebih ke Uminya dibanding Intan, mengingat lokasi sekolah Intan termasuk aman dari jangkauan gelombang tsunami tujuh tahun silam. Selain jauh dari pantai, juga daerahnya lebih tinggi dibanding rumah ibunya. Makanya kekuatirannya lebih tertumpu pada keberadaan Umi.
Gempa mulai mereda, dan hampir semua orang mulai beranjak. Ada yang segera menuju motor atau mobil mereka dan ada yang nekad kembali ke ruangan masing-masing untuk mengambil tas dan peralatan penting mereka sebelum beranjak pulang, mengecek keadaan keluarga dan rumah masing-masing.
Alaika dan kolega lainnya juga nekad balik ke lantai tiga… mengambil tas dan kembali ke halaman dalam waktu yang cukup singkat. Ternyata berlari menaiki tangga di dua lantai tak lagi membuat mereka lelah, rasa panik dan kuatir yang memenuhi rongga pikiran membuat rasa lelah itu tak terpikirkan sama sekali.
Mengambil arah ke kiri, Alaika memacu G-Liv dengan kecepatan yang teramat lambat, bagai merayap. Hatinya penuh kekuatiran, membaca informasi dari radio room bahwa prediksi akan terjadi tsunami di jam 16.31 wib nanti dan itu berarti tak lama lagi. Dengan kecepatan kendaraan yang seperti merayap ini, bisakah dia mencapai rumah ibunya? Duh Tuhan… lindungi ibu hamba ya Allah….
Notifikasi BBM membuat tangannya segera menyambar HP yang memang tak jauh darinya. Dari Edo dengan pesan singkat menghujam.
“Kak, selamatkan diri dan bawa Umi ke daerah bandara”.
Pergerakan lalu lintas yg teramat lambat memberinya kesempatan membalas pesan sang adik.

”Kakak ga bersama Umi. Ini sedang jalan pulang... Umi ga bisa di hub”.
Dering nada telephone yang masuk bersamaan replynya ke Edo done tak dibiarkannya lama, dijawabnya segera yang ternyata dari Fadjri, adiknya yang tinggal di Istanbul, Turkey.
“Halo” sapanya.
“Kak, kiban disinan (gimana disana?). Barusan terjadi gempa kakak dimana posisi? Umi dimana?” berondongnya dalam bahasa Aceh.
“Kakak sedang di jalan dari kantor gubernur. Mau jemput umi ke rumah, tapi jalanan macet total. Umi ga bisa dihubungi dari tadi. Rizal juga ga bisa dihubungi. Coba kamu yang call Umi dan Rizal. Ke Umi, minta Umi menunggu di mulut gang rumah kita, karena ga akan cukup waktu untuk mutar dari U turn dan masuk ke gang. Gempa ini berpotensi tsunami.”
“Ok kak, hold on, I will call mom. Meeting point dimana?”
“Depan gang aja, minta Umi nyebrang, kakak udah di Peurada nih….”
Telphone terputus dan Fadjri mencoba menghubungi ibunya. Namun gagal dan hanya tulalit yang terdengar dari sana. Hati Fadjri sepanik kakaknya. Duh…. Kemana ibuku….
Alaika menghentikan kendaraannya tepat di depan gang menuju rumahnya… tapi di seberang jalannya. Diputuskannya untuk meninggalkan sejenak G-Liv kesayangannya dan bergegas menerobos kemacetan, menyeberang jalan dan berlari memasuki gang menuju rumahnya. Berlari sekencang-kencang yang dia mampu. Waktunya tak banyak. Detik demi detik begitu berharga. Pintu pagar dan pintu depan rumahnya terkunci rapat. Menghambur dia secepat kilat ke dalam rumah begitu pintu dia buka dengan menggunakan kuncinya sendiri. Tak ada jawaban sama sekali terhadap teriakannya yang memanggil ibunya. Sunyi, sepi.No answer.  
Kunci kamar ibunya tergantung di lubang kunci tapi kamar itu sama sekali tidak terkunci.  Dipanggilnya ibunya seraya memeriksa kamar serta toiletnya. Kosong. Wanita itu berlari menaiki anak tangga, menuju lantai atas namun tetap taka da ibunya disana. Gugup dan kuatir memenuhi rongga batinnya namun Umi harus ditemukan. Targetnya setelah mengunci pintu depan adalah musholla yang terletak di ujung gang sebelah kanan.  Beberapa tetangga yang juga sedang berlari ke musholla membuat mereka seperti sedang berlomba lari.
Ihsan, anak tetangganya menyambutnya dengan kabar menyedihkan … Ibunya tak berada di musholla… menurut Ihsan, ibunya kemungkinan nebeng pada seorang tetangga yang menyelamatkan diri menggunakan motor. Tapi itu masih ‘mungkin’, belum pasti. Gugup, dia berbalik arah… 16.30 wib tinggal sebentar lagi…. Berharap dia agar uminya benar telah numpang pada tetangganya dan telah menjauh dari lokasi ini. Berlari dia menuju kendaraannya dan segera dia melajukan G-Liv mengikuti arus yang tetap semacet tadi. Kendaraan-kendaraan itu beriringan tertib melaju. Sepertinya semua satu tujuan, Darussalam atau Blang Bintang, yang areanya memang lebih tinggi dari daerah kota.
Intan telah menantinya di depan gerbang sekolah dan gadis itu langsung menghambur ke mobil ibunya begitu melihat Grand Livina ibunya berhenti tepat di depan sekolah. Wajah gadis belia itu begitu pucat dan kuatir. Tsunami tahun lalu dia dan Intan masih di Medan, sehingga putrinya belum pernah merasakan kepanikan seperti ini.
“Mi, let me hold you! I am so scared…” Kalimat pertama putrinya saat membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Pelukan Intan begitu erat dan gadis itu menangis. Diusapnya lembut kepala putrinya, mencoba menenangkan.
BBM yang masuk dari Edo ke BB nya memutuskan pelukan ibu dan anak itu. “Kak, dimana posisi? Ketemu Umi?”
Dibalasnya segera, “Kakak di depan skul Intan, Umi belum ketemu…. Gimana nih? Apa kakak balik ke rumah kita? Re-check?”
“NO, STAY THERE! BAHAYA… daerah rumah kita rentan tsunami, dan prediksi Banda berpotensi tsunami!” balas adiknya dengan capital letter, pertanda peringatan keras.
“Umi gimana?” sent to Edo.
“Kakak cari tempat aman, I will go home, looking for mom!”
Maka mereka pun Alaika melaju kembali, tujuannya seperti saran Edo. Blang Bintang seputaran bandara. Namun sebelum melanjutkan perjalanan, keduanya berhenti di sebuah toko ponsel, menurut Intan, saat ini hanya XL yang berfungsi. Maka salah satu HP mereka harus ganti kartu agar bisa menghubungi keluar. Dan benar saja, XL Berjaya. Koneksi tersambung ke ayahnya yang sedang di Jakarta, juga ke suaminya di Bandung. Kedua laki-laki yang dihubunginya itu kaget dan was-was mendengar info itu dan menyarankannya untuk segera bergerak ke Bandara. Meskipun Darussalam aman, tapi Bandara akan lebih baik. Begitu saran mereka.
Perjalanan ke bandara tak semulus dugaannya, karena banyak jalan yang telah di tutup petugas demi kelancaran arus lalu lintas. Sehingga para pengungsi harus menempuh jalur lain ke bandara. Termasuk dirinya yang terpaksa ikut arus. Namun perjalanan itu terpaksa harus dihentikan karena beberapa anak muda yang berbaris nun jauh di depannya, di pinggir jalan berteriak agar mereka menghentikan kendaraannya, sedang terjadi gempa susulan. Ya Allah….. dan benar saja, goncangan dasyat membuat keempat roda G-Liv nya tak mampu mencengkeram bumi dengan kuat. Alaika mengajak Intan untuk keluar mobil agar lebih safety. Dibawanya Intan duduk di atas tanah agar  mulas dan pusingnya berkurang. Intan menangis sambil berzikir. Suasana karena gempa susulan itu memang menimbulkan kepanikan. Namun masyarakat di sekitar sini terlihat lebih tenang karena daerah ini sudah termasuk zona pengungsian for tsunami. Tapi goyangan gempa sungguh membuat hati ketar ketir. Ya Allah… dimana Umiku, selamatkan Umiku ya Allah….

9 komentar

  1. Duh... ikut deg-degan membaca detil ceritanya, serasa ikut terlibat langsung dalam kejadian ini mba.... semoga semuanya dilindungi oleh yang diatas ya mba... semoga ga sampai tsunami deh...

    btw, cara mengemas cerita ini keren deh. mau lanjut dulu ke seri berikutnya...

    Yolanda

    BalasHapus
  2. Iya Yo, rasanya bukan deg-degan lagi, tapi gimanaaaa gitu... serem, seakan gelombang maut itu memang akan segera datang. huft.

    thanks atas pujiannya ya... ditunggu disebelah...

    BalasHapus
  3. pas kejadian itu aku dapat pemberitahuan lewat YM, entah kenapa aku merasa lebih sedih dibanding dengan perisie=wa tsunami dulu, mungkin aku skrg punya byk temen2 baru di Aceh dan sekitarnya, jd ikatan bathin makin kuat, selain itu gambaran masa lalu bener2 mengerikan, tp alhamdulillah semuanya baik2 aja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mba, saya kok gak nemu kolom komen ya, jadinya numpang di kolom reply ini hehehe....
      Saya ikut merasa berduka saat mendengar kejadian tersebut, mengingat banyak sekali teman saya disana juga warga Aceh adalah saudara saya.
      Sekarang sudah pulih kan mba kondisinya disana?

      Hapus
    2. Iya mas, memang sangat mengerikan, bikin sport jantung. ;(

      Hapus
  4. salam gan ...
    menghadiahkan Pujian kepada orang di sekitar adalah awal investasi Kebahagiaan Anda...
    di tunggu kunjungan balik.nya gan !

    BalasHapus
  5. Ini kejadian beberapa bulan lalu ya? Serem ya ... saya waktu itu pingin sekali online, cari kabar kak Al, Mutia, mbak Haya Nufus tapi waktu itu komputer lagi trouble ...

    Mudah2an tak terulang ..

    BalasHapus
  6. wah, kau past ketemu banyak berkah dari kejadian ini.........keren!

    BalasHapus
  7. maaf, untuk sementara saya tidak bisa memberikan komentar yang berkaitan dengan artikel di atas dikarenakan waktu yang telah menghimpit saya,, saya mohon izin untuk mem-bookmark halaman ini dan akan kembali lain waktu,, terima kasih saya suka blog ini dan artikelnya menarik-menarik..

    BalasHapus