Sedari pagi wanita enam puluhan tahun itu telah sibuk. Didesaknya suaminya untuk mengantarkannya ke pasar. Hari ini, dia akan membuatkan penganan khas Aceh, Timphan asoe kaya, kesukaan putra tercinta. Mimpinya tengah malam tadi begitu jelas. Seorang kakek tua berjanggut putih, mampir di beranda. Menyapanya kala dia sedang menyulam. Obrolan singkat yang misterius terjadi dalam sekejap, dan si kakek menghilang kala pesan yang disampaikannya tertangkap jelas.
"Mama.... itu kan hanya mimpi ma... bunga tidur!"
"Ga pa, ini pertanda...mama yakin Arman akan kembali. Mimpi itu begitu jelas. Ayo donk pa, antar mama ke pasar!" Tak guna membantah, istrinya tak akan berhenti sebelum iya mengiyakan.
Penuh cinta wanita itu mengadon tepung, menggilas pisang dan mengurut daun. Membuat Timphan kesukaan ananda. Peluh yang menitik di dahi tak membuatnya lelah. Komat kamit bibirnya mengalirkan zikir, bermohon agar impian itu mewujud nyata. Suaminya berharap-harap cemas. Sungguh kuatir hatinya akan kekecewaan yang akan melanda, jika ternyata impian itu hanya sebuah bunga tidur belaka. Ditelefonnya putrinya yang tinggal di kota lain, diam-diam.
"Masak sampai segitunya pa?" Modulasi Meta terdengar heran, kaget dan setengah tak percaya. Dibayangkannya ibunya yang sedang mengadon tepung. Perih hatinya. Bagaimana jika Arman tak datang? Ibunya akan kecewa dan semakin terluka..
"Iya Met, ibumu begitu yakin akan mimpinya. Kakek yang berpakaian serba putih itu mengatakan Arman akan datang sehabis azan Isya nanti, dan ibu mu begitu percaya. Papa jadi sedih Met..,, takut ibumu kecewa nanti.."
Meta merasakan kekuatiran yang dalam di suara ayahnya. Semakin miris hatinya. Duh Arman, kemana kamu yang dulu dik? Mengapa jadi sekacau ini? Tidakkah kamu kasihan pada papa dan mama? Pulanglah adikku. Pulang sayang.... kembalilah jadi Arman kami yang dulu...
Waktu terus berlalu. Kumandang azan Isya terdengar syahdu. Suami istri enam puluhan tahun itu telah begitu rapi. Sang suami sebenarnya tak begitu yakin, namun menghargai dan menjaga hati sang istri, diturutinya permintaannya. Duduk berdua mereka di kursi teras. Sengaja lampu teras dimatikan agar cahaya tak terlalu terang. Tiga puluh menit setelah azan usai, tak juga ada pertanda. Lelaki tua itu mulai resah. Was-was membayangkan air bening akan luruh dan menelaga di mata istrinya. Kuatir membayangkan keping hati tua mereka semakin berlumur duka....
Benar saja, dua jam mereka bersabar menanti. Namun pertanda satu pun tiada. Meta tak sabar menanti berita, ditelefonnya nomor ibunya.
"Assalammualaikum mama... gimana ma? Mama baik-baik saja kan?" Tak tau harus berkata apa. Pedih hatinya.
"Waalaikumsalam Meta... iya nak, mama baik-baik saja. Kenapa sayang? Arman belum datang. Mungkin sebentar lagi nak, nanti mama kabari ya.." Lembut tapi gusar suara itu.
Meta menitikkan air mata. Tuhan, jangan tambah duka lara mama, ringankan beban ini ya Allah. Bolehkah kami minta Arman kembali? Please...
"Mama.... itu kan hanya mimpi ma... bunga tidur!"
"Ga pa, ini pertanda...mama yakin Arman akan kembali. Mimpi itu begitu jelas. Ayo donk pa, antar mama ke pasar!" Tak guna membantah, istrinya tak akan berhenti sebelum iya mengiyakan.
Penuh cinta wanita itu mengadon tepung, menggilas pisang dan mengurut daun. Membuat Timphan kesukaan ananda. Peluh yang menitik di dahi tak membuatnya lelah. Komat kamit bibirnya mengalirkan zikir, bermohon agar impian itu mewujud nyata. Suaminya berharap-harap cemas. Sungguh kuatir hatinya akan kekecewaan yang akan melanda, jika ternyata impian itu hanya sebuah bunga tidur belaka. Ditelefonnya putrinya yang tinggal di kota lain, diam-diam.
"Masak sampai segitunya pa?" Modulasi Meta terdengar heran, kaget dan setengah tak percaya. Dibayangkannya ibunya yang sedang mengadon tepung. Perih hatinya. Bagaimana jika Arman tak datang? Ibunya akan kecewa dan semakin terluka..
"Iya Met, ibumu begitu yakin akan mimpinya. Kakek yang berpakaian serba putih itu mengatakan Arman akan datang sehabis azan Isya nanti, dan ibu mu begitu percaya. Papa jadi sedih Met..,, takut ibumu kecewa nanti.."
Meta merasakan kekuatiran yang dalam di suara ayahnya. Semakin miris hatinya. Duh Arman, kemana kamu yang dulu dik? Mengapa jadi sekacau ini? Tidakkah kamu kasihan pada papa dan mama? Pulanglah adikku. Pulang sayang.... kembalilah jadi Arman kami yang dulu...
*****
Waktu terus berlalu. Kumandang azan Isya terdengar syahdu. Suami istri enam puluhan tahun itu telah begitu rapi. Sang suami sebenarnya tak begitu yakin, namun menghargai dan menjaga hati sang istri, diturutinya permintaannya. Duduk berdua mereka di kursi teras. Sengaja lampu teras dimatikan agar cahaya tak terlalu terang. Tiga puluh menit setelah azan usai, tak juga ada pertanda. Lelaki tua itu mulai resah. Was-was membayangkan air bening akan luruh dan menelaga di mata istrinya. Kuatir membayangkan keping hati tua mereka semakin berlumur duka....
Benar saja, dua jam mereka bersabar menanti. Namun pertanda satu pun tiada. Meta tak sabar menanti berita, ditelefonnya nomor ibunya.
"Assalammualaikum mama... gimana ma? Mama baik-baik saja kan?" Tak tau harus berkata apa. Pedih hatinya.
"Waalaikumsalam Meta... iya nak, mama baik-baik saja. Kenapa sayang? Arman belum datang. Mungkin sebentar lagi nak, nanti mama kabari ya.." Lembut tapi gusar suara itu.
Meta menitikkan air mata. Tuhan, jangan tambah duka lara mama, ringankan beban ini ya Allah. Bolehkah kami minta Arman kembali? Please...
0 komentar